Translate

Kamis, 16 Februari 2017

Hakikat Kesucian

Hakikat Kesucian
Allah telah mentitahkan para utusanNya untuk membimbing umat menuju hidup yang sesuai dengan tuntunan agama. Diantara syariat yang tidak boleh diabaikan oleh seorang muslim adalah syariat bersuci. Pembahasan ini umum disebut sebagai bab Taharah dan diletakkan di awal persoalan fiqh. Taharah berasal dari kata thahara yang artinya Suci, adapun arti secara istilah adalah mensucikan diri dari kotoran baik yang nampak yaitu najis seperti kencing atau lainnya maupun yang tidak nampak dengan menggunakan alat yang mensucikan (air, debu atau batu) menurut cara yang disyariatkan oleh agama.

Terkecuali dari pada itu, pemahaman masyarakat terkait dengan suci ini rancu dengan istilah bersih, padahal suci belum tentu bersih, begitu juga halnya bersih belum tentu suci. Persoalan ini disebabkan karena ukuran suci dan bersih itu berbeda. Standar suci berasal dari keketapan syariat yang tertuang dalam wahyu dan kemudian di explorasi oleh para ulama’ fikih. Adapun tolok ukur kebersihan/ bersih berasal dari manusia yang tentu saja memungkinkan berbeda-beda sesuai dengan sosial dan budaya dimana ia hidup. Dus, sesuatu yang dianggap bersih oleh orang maupun kelompok tertentu belum tentu sudah dianggap bersih oleh orang atau kelompok lainnya.
Contoh sederhana terkait pernyataan bahwa tidak setiap bersih pasti dihukumi suci dan tidak setiap suci pasti dihukumi bersih adalah sebagai berikut di bawah ini:

Seseorang yang sudah telah mandi dengan sempurna dan berdandan dengan baik, maka ia sudah bisa dihukumi sebagai orang yang bersih, tetapi ia tidak bisa serta merta dinamakan suci manakala belum melakukan ibadah bersuci, baik wudlu, mandi besar maupun tayamum. Adapun orang yang mengenakan pakaian kesayangannya selama berhari-hari dan tidak mencucinya sehingga barang tersebut bau, maka pakaian yang dipakainya tersebut sudah dianggap kotor (tidak bersih lagi), hanya saja ia masih dihukumi suci selama pakaian tersebut tidak terkena najis. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang indonesia terbiasa nyaman memakai peci/ songkoknya dalam beribadah meskipun sudah lusuh, bahkan apek karena sudah bertahun-tahun dipakai, mereka berpendapat bahwa songkok tersebut masih suci.

Namun demikian, meski suci dan bersih adalah sesuatu yang berbeda, tetapi tidak menutup kemungkinan keduanya bisa bertemu dalam satu hal, yaitu suci sekaligus bersihnya sesuatu, contohnya adalah orang yang mandi dan berwudlu, maka ia bukan hanya dinamakan orang bersih melainkan juga orang yang suci. Begitu halnya dengan tidak suci dan tidak bersih, kedua hal tersebut bisa saja bertemu dalam sebuah hal, bahwa orang yang tidak mandi sehingga bau, lalu kemudian ia buang angin (kentut), maka disaaat yang sama orang tersebut selain disebut tidak bersih juga tidak bisa dihukumi tidak suci.
Pembahasan sederhana di atas menguatkan kenyataan bahwa para ulama fiqh tidak mencantumkan bahasan Nadhofah dalam kaitannya hukum fiqh. Mereka lazim menggunakan kata Taharah yang berarti suci, bukan Nadhafah yang artinya bersih/ kebersihan. Hal ini dikarenakan karena standar suci berasal dari syariat dan standar bersih berasal dari manusia. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Nabi bahwa at tahuru syathru al iman ( kesucian sebagian dari pada iman), adapun kalimat an nadhafatu min al iman (kebersihan sebagian daripada iman) yang terbiasa termpampang di tempat-tempat umum bukan hadis nabi melainkan buatan manusia.
Allah A’lam


0 komentar:

Posting Komentar