Hakikat Kesucian
Allah telah mentitahkan para utusanNya untuk membimbing
umat menuju hidup yang sesuai dengan tuntunan agama. Diantara syariat yang
tidak boleh diabaikan oleh seorang muslim adalah syariat bersuci. Pembahasan
ini umum disebut sebagai bab Taharah dan diletakkan di awal persoalan
fiqh. Taharah berasal dari kata thahara yang artinya Suci, adapun
arti secara istilah adalah mensucikan diri dari kotoran baik yang nampak yaitu najis seperti
kencing atau lainnya maupun yang tidak nampak dengan menggunakan alat yang
mensucikan (air, debu atau batu) menurut cara yang disyariatkan oleh agama.
Terkecuali dari pada itu, pemahaman masyarakat terkait dengan suci ini
rancu dengan istilah bersih, padahal suci belum tentu bersih, begitu juga halnya bersih belum tentu suci. Persoalan ini disebabkan
karena ukuran suci dan bersih itu berbeda. Standar suci berasal dari keketapan syariat
yang tertuang dalam wahyu dan kemudian di explorasi oleh para ulama’ fikih. Adapun
tolok ukur kebersihan/ bersih berasal dari manusia yang tentu saja memungkinkan
berbeda-beda sesuai dengan sosial dan budaya dimana ia hidup. Dus, sesuatu yang
dianggap bersih oleh orang maupun kelompok tertentu belum tentu sudah dianggap
bersih oleh orang atau kelompok lainnya.
Contoh sederhana terkait pernyataan bahwa tidak setiap bersih
pasti dihukumi suci dan tidak setiap suci pasti dihukumi bersih adalah sebagai
berikut di bawah ini:
Seseorang yang sudah telah mandi dengan sempurna dan
berdandan dengan baik, maka ia sudah bisa dihukumi sebagai orang yang bersih,
tetapi ia tidak bisa serta merta dinamakan suci manakala belum melakukan ibadah
bersuci, baik wudlu, mandi besar maupun tayamum. Adapun orang yang mengenakan
pakaian kesayangannya selama berhari-hari dan tidak mencucinya sehingga barang
tersebut bau, maka pakaian yang dipakainya tersebut sudah dianggap kotor (tidak
bersih lagi), hanya saja ia masih dihukumi suci selama pakaian tersebut tidak
terkena najis. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang indonesia terbiasa
nyaman memakai peci/ songkoknya dalam beribadah meskipun sudah lusuh, bahkan
apek karena sudah bertahun-tahun dipakai, mereka berpendapat bahwa songkok
tersebut masih suci.
Namun demikian, meski suci dan bersih adalah sesuatu yang
berbeda, tetapi tidak menutup kemungkinan keduanya bisa bertemu dalam satu hal,
yaitu suci sekaligus bersihnya sesuatu, contohnya adalah orang yang mandi dan
berwudlu, maka ia bukan hanya dinamakan orang bersih melainkan juga orang yang
suci. Begitu halnya dengan tidak suci dan tidak bersih, kedua hal tersebut bisa
saja bertemu dalam sebuah hal, bahwa orang yang tidak mandi sehingga bau, lalu kemudian
ia buang angin (kentut), maka disaaat yang sama orang tersebut selain disebut
tidak bersih juga tidak bisa dihukumi tidak suci.
Pembahasan sederhana di atas menguatkan kenyataan bahwa
para ulama fiqh tidak mencantumkan bahasan Nadhofah dalam kaitannya
hukum fiqh. Mereka lazim menggunakan kata Taharah yang berarti suci,
bukan Nadhafah yang artinya bersih/ kebersihan. Hal ini dikarenakan
karena standar suci berasal dari syariat dan standar bersih berasal dari
manusia. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Nabi bahwa at tahuru syathru al
iman ( kesucian sebagian dari pada iman), adapun kalimat an nadhafatu
min al iman (kebersihan sebagian daripada iman) yang terbiasa termpampang
di tempat-tempat umum bukan hadis nabi melainkan buatan manusia.
Allah A’lam






0 komentar:
Posting Komentar