Translate

KI TOPO JOYO BINANGUN

HIDUPLAH DALAM GERAKAN KEBENARAN AGAR ENGKAU DIMASUKKAN DALAM GOLONGAN ORANG-ORANG YANG BENAR, MESKI SAAT INI KAMU BUKANLAH ORANG YANG BENAR.

Pantai Alexanderia Egypt

Demi masa, Manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

Masa Laloe

Anda tidak mungkin lagi merubah masa lalu, yang mungkin anda lakukan adalah meratapinya atau mensyukurinya untuk pijakan menatap masa depan.

Benteng Sholahuddin Al Ayyubi Alexanderia

Bersama KH. Fathullah Amin LC.

Al Azhar Conference Center (ACC)

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 26 April 2017

TOLERANSI

INTOLERAN berkedok TOLERAN

Gajah dipelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak
, agaknya peribahasa inilah yang cocok untuk disematkan kepada sebagian besar penyeru toleransi di dunia ini pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya. Diantaranya adalah seorang kolega saya, dosen di salah satu IAIN (Institut Agama Islam Negeri) di Jawa Timur, sebut saja namanya Mr.John. 

John adalah salah satu orang yang ingin menyuarakan toleransi, terutama terkait tentang agama, hanya saja disaat yang sama ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan apa yang ia perjuangkan. Tepat, ia sedang melakukan aktifitas yang justru “intoleran”, pasalnya Jhon mereduksi makna toleransi sesuai dengan kehendak udhel e dewe (keinginan sendiri). Baginya, toleransi itu adalah semisal kalau orang islam merayakan agamanya, maka non muslimpun harus ikut merayakan juga, dan begitu pula ketika non muslim merayakan keagamaannya, maka umat islam pun harus ikut merayakan juga. 

Ah.. memang Jhon wa ahwatuhu (dan orang-orang se pemikiran) lupa bahwa kata “toleransi” dan “harus” adalah dua kutub yang saling berlawanan, ia ibarat langit dan bumi, siang dan malam, gelap dan terang, tidak bisa disatukan, bilamana satunya datang,  maka yang lainnya pergi dan begitu juga sebaliknya. Kata yang tepat sebagai sandingan “toleran” adalah “jangan” dan “biarkan”. Artinya, jangan ganggu keyakinannya, jangan ganggu aktifitasnya, jangan usik keberadaannya, selama mereka tidak mengganggu dan mengusik keyakinan dan aktifitasmu, maka biarkanlah…sing penting seger waras.

Pemaknaan “toleransi” yang masih ada embel-embel kata “harus” sangat tidak benar, sebab bagaimana mungkin anda sudi menyebut sahabat anda sebagai sahabat toleran kalau anda dipaksa harus mengikuti pemikirannya dan begitu juga sebaliknya. Anda juga tidak bisa memaksa orang satu kampung atas dasar toleransi untuk meyakini dan mengimani serta meng ikrar kan bahwa istri andalah orang yang sangat cantik di wilayah itu, sebab itu adalah kebodohan yang sempurna. Kemungkinan yang bisa anda yakinkan adalah bahwa mereka tidak mengatakan atau memaksa anda untuk yakin bahwa istri anda jelek, itu saja, sebab menjelekkan orang lain itu sudah mengganggu, dan mengganggu adalah tindakan intoleran sebagaimana anda mengganggu keyakinan laki-laki lain bahwa istrinya mereka lah yang sangat cantik di tempat itu. Ya benar, anda mengganggu keyakinan mereka dengan memaksanya untuk meyakini bahwa istri anda adalah yang sangat cantik.

Well, di penutup catatan sederhana ini, atas dasar toleransi, saya juga tidak akan memaksa para pembaca untuk membenarkan/ bahkan menyalahkan tulisan ini semata-mata karena berasal dari saya pribadi, namun saya mengajak para pembaca yang budiman untuk merenung dan berfikir secara objektif sehingga penghakiman “benar/salah” anda terhadap saya benar-benar berasal dari analisa yang tepat. Selamat bertoleransi!!!..

Rabu, 12 April 2017

DEMONSTRASI


Manusia telah menjadi saksi, dan terus akan menjadi saksi bahwa di negeri demokrasi, demonstrasi adalah sebuah konsekuensi, akan terus ada sampai demokrasi itu sendiri lelah dan dicampakkan oleh para penyanjungnya.
Orang-orang baik akan mendemo pemimpin-pemimpin yang zalim, dan orang-orang jahat akan mendemo pemimpin-pemimpin yang baik. Mereka akan terus menerus saling melakukannya sampai sifat jahat dan baik itu melebur bersama watak sang pemimpin, menjadi satu kesatuan sebagai bangsa yang baik atau sebaliknya, bangsa para  penjahat. Namun demikian, bukan berarti ke dua kelompok dipandang sama, sebab orang-orang baik hanya akan berdemo manakala aspirasi tidak didengar dan nasehat tidak dianggap, pun demikian, tuntutan mereka rata-rata sederhana, yaitu  pada penegakan keadilan dengan segala bentuk pengertiannya.
Adapun orang-orang jahat, demonstrasi bukan sekedar wahana untuk bersuara, melainkan menggeser dan kalau perlu merebut kuasa.  Logis… kejahatan tidak pernah mau bertemu dengan kebaikan sebagaimana minyak tidak akan pernah mau membaur dengan air.


Allah A’lam.

Senin, 10 April 2017

Muhammad SAW dalam Dimensi Manusia dan kerasulan

TEOLOGI. Keimanan terhadap kenabian Muhammad SAW bagi orang islam sudah final. Artinya, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa sosoknya adalah utusan Allah SWT bagi umat akhir zaman. Terkecuali daripada itu, pemaknaan gelar “nabi” dan “rasul” tidak semata-mata sebagai perantara antara Allah SWT dengan umat manusia, dimana diantara fungsinya adalah menafsirkan wahyuNya, menjelaskan, menerangkan dan seterusnya. Tetapi terutusnya seseorang menjadi Nabi bisa dimaknai bahwa itu merupakan pengejawantahan daripada wahyu yang “menjelma”, orang Jawa mengatakan “wahyu kang toto jalmo”.

Sudah menjadi kemakluman bersama bahwa al kitab, baik Taurat, Zabur, Injil dan al Qur’an, adalah sederetan kitab-kitab suci yang harus diimani keberadaannya bagi umat islam, selain itu ada beberapa suhuf (lembaran-lembaran) yang telah diturunkan kepada Nabi-nabi sebelumnya. Kaitannya dengan persoalan ini, keberadaan kitab-kitab tersebut berfungsi sebagai wadah dimana wahyu Allah SWT yang berupa firman diturunkan kepada manusia. Namun demikian, firman bukanlah satu-satunya bentuk wahyu, karena ada wahyu jenis lain yaitu perwujudan Nabi dan Rasul itu sendiri. Hal inilah kenapa ada banyak hukum yang tidak terdapat di dalam kitab suci tetapi ada dalam sunah-sunah Nabi, baik dari aspek qauli (perkataan), fi’ly (perbuatan) maupun taqriry (penetapan).
 
Ini berarti, penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama tidaklah semata-mata diambilkan dari wahyu yang tersurat dalam kitab-kitab suci, tetapi juga wahyu yang terambil dari sunah (kehidupan) seorang Nabi dan Rasul. Muhammad SAW sebagai salah satu Nabi yang diutus dan bahkan penutup para rasul mendapat tempat yang besar bagi kaum muslimin, sehingga semua perilakunya menjadi catatan-catatan penting yang terangkum dalam kitab-kitab hadis, tafsir, sejarah dan lain sebagainya. 
 
Perhatian serius umat terhadap sosok Muhammad SAW ini bisa dilihat dari pengertian hadis dari kalang Muhaddistin (Ilmuwan Hadis) dimana mereka menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis adalah segala bentuk perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat khulqiah dan Khilqiah Muhammad SAW,. Bahkan di titik lain, ada yang menambahkan  bahwa semua tersebut di atas tidaklah dibatasi sejak diangkatnya menjadi dan Rasul, melainkan keseluruhan kehidupan yang dialami seorang Muhammad sebelum masa kenabian. 
 
Pemaknaan ini berkonsekuensi terhadap sikap seorang islam dalam menjalankan kehidupan beragamanya. Dalam artian, orang yang memaknai Muhammad sebagai sosok Nabi dan Rasul belaka, dengan tanpa penyertaan bahwa ia adalah seorang manusia juga yang memiliki dan melakukan apa-apa yang umumnya dimiliki dan dilakukan manusia lainnya, maka ia akan berusaha menghadirkan hidupnya untuk secara persis seperti apa yang dilakukan oleh Baginda Muhammad SAW.  Bentuk dan warna baju, potongan rambut dan jenggot, maupun hal-hal lainnya. Ia tidak begitu penting untuk membedakan apakah yang dilakukan Nabi sebagai wahyu petunjuk manusia, ataukah sekedar perbuatan manusia yang tidak ada akibat hukumnya secara khusus dalam agama.
 
Pertanyaannya adalah apakah tindakan tersebut salah? Tentu saja tidak, karena memang Muhammad adalah Nabi dan Rasul, sehingga sosoknya adalah suri tauladan yang perlu diikuti, apalagi jika motivasinya adalah sebagai ittiba’ kepada seorang utusan, maka perbuatan tersebut menjadi bentuk-bentuk ibadah. Hanya saja terkadang, jika tidak arif dan bijaksana, maka pemaknaan dan sikap tersebut terkadang akan membuat seorang muslim menjadi asing di wilayah yang peradabannya berbeda sama sekali dengan daerah Rasulullah SAW. Semisal berpakaian jubah, menggunakan siwak, memakai celana cingkrang dan lain lain.
 
Kalangan ilmuwan hukum islam yang tergolong dalam kajian ushul fiqh (para ushuly) membedakan bentuk-bentuk sikap dan perilaku Muhammad SAW tentang hal-hal yang memang dimaksudkan untuk persoalan agama dengan persoalan yang tidak ada kaitannya dengan agama sama sekali. Mereka membedakan mana yang perilaku Muhammad sebagai wahyu dan petunjuk bagi umatnya dan mana perilaku yang sekedar muncul karena beliau adalah sosok manusia. Sehingga wajar jika cara pandang ini membawa konsekuensi logis bahwa seorang muslim tidak harus memakai jubah dan jenggot untuk menunjukkan keislamannya, karena jenggot dan jubah adalah sebuah hal yang tumbuh dan berlaku bukan sebagai penysariatan, melainkan lebih identik dengan budaya dimana Nabi Muhammad SAW tumbuh dan berkembang.
 
Apakah pemaknaan ini salah? Tentu saja tidak, karena memang Muhammad SAW selain sebagai seorang Rasul yang menjadi qudwah, ia juga sebagai manusia biasa, sehingga membedakan perilaku beliau dan kedudukannya secara proposional juga sebuah hal yang sangat niscaya. Hanya saja yang perlu diingat adalah, tidak boleh menyelisihi sunnah atau kebiasaan Sang Muhammad dengan dasar kebencian, meskipun jika hal-hal yang diselisihi tersebut dalam kaitannya beliau sebagai manusia. Orang yang tidak memanjangkan jenggot tidaklah berdosa, selama ia tidak membenci sunnah Nabi dalam memanjangkannnya, sebab tidak melakukan karena tidak mampu/ tidak ingin belaka berbeda dengan tidak melakukan karena diiringi dengan kebencian.
 
Allah A’lam.

Rabu, 05 April 2017

KONSEP KEIMANAN


TEOLOGI. Kebenaran islam tidaklah berarti bagi manusia manakala tidak ditangkap oleh hatinya dan kemudian dipercayai. Namun kepercayaan semata-mata belum cukup manakala tidak dibarengi dengan amal sebagai konsekuensi adanya iman. Hal ini selaras dengan pengertian iman itu sendiri yang secara bahasa adalah tasdiq  (pembenaran dalam hati), dan secara istilah bahwa iman adalah kumpulan dari 3 (tiga) komponen sekaligus, yaitu tasdiq dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Sehingga antara iman dan perbuatan manusia terdapat keterkaitan karena keimanan seseorang ditentukan oleh amal perbuatannya.

Amal dan tasdiq (kepercayaan) merupakan satu paket yang tidak bisa ditinggalkan setelah lisan meng iqrar kannya. Keyakinan butuh pengucapan, dan apa yang diucapkan kemudian terejawantahkan dalam realisasi amal. Pada dasarnya, beriman dan tidak beriman adalah urusan antara seorang manusia dengan Tuhannya, dalam artian. Keyakinan tersebut jika sudah tertanam maka tanpa pengucapanpun IA sudah mengetahuinya, namun karena persoalan beragama dan tidak beragama bukan hanya permasalahan antara seorang hamba dan Tuhannya secara khusus, melainkan berhubungan juga dengan manusia lain secara umum sebagai konsekuensi bermasyarakat, maka pelafalan/ pengucapan dari tasdiq menjadi sebuah kelaziman.

Terkecuali daripada itu, jika keimanan hanya terbatas pada keyakinan tanpa perwujudan amal dan iqrar, maka Iblis adalah mahluk yang bukan hanya yakin dan percaya akan perwujudan Tuhan (Allah), melainkan juga telah berinteraksi (menyembahNYA) selama bertahun-tahun jauh sebelum Adam AS tercipta. Hal ini berlaku juga sebaliknya, amal dan lafal tidak serta merta seseorang layak disebut sebagai orang yang beriman manakala tidak diawali dengan kepercayaan/ tasdiq. Orang yang beramal tanpa berkeyakinan dinamakan sebagai munafik, adapun mereka yang berkeyakinan tanpa dibuktikan dengan amal maka keyakinannya adalah seperti omong kosong.
Pertanyaan penutup terkait hal ini adalah berangkat dari mana keimanan seseorang, apakah sebuah doktrin atau persoalan lain? Pada dasarnya pencapaian iman banyak melibatkan semua fungsi-fungsi kejiwaan dan bermanifestasi ke dalam setiap saluran isi jiwa, sikap perbuatan, pembicaraan, tingkah laku dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk manifestasi iman inilah yang dimaksudkan dalam sebuah hadis bahwa iman itu mempunyai 60 (enam puluh) cabang, dan malu adalah salah satu cabang iman. Dengan demikian, keimanan yang kuat perlu ditopang dengan amal yang baik, baik secara kuantitas maupun kualitas, meskipun keberadaan amal tergantung pada wujudnya iman.
Allah A’lam

Senin, 03 April 2017

KEDEWASAAN*


Pernahkah dulu kita berfikir bahwa kebahagiaan kita terbelenggu oleh masa remaja dan kekanak-kanakan? Dimana orang tua dan mereka yang merasa tua begitu terasa sah-sah saja untuk melontarkan kata “jangan” atau bahkan  “awas ya” atas keinginan dan khayalan kita yang begitu banyak macamnya.

Padahal, jika kamu mau jujur untuk mengatakan “iya”, masa itulah sebenarnya keindahan yang telah terlewat dan tak mungkin kembali, dimana saat kita ingin menangis, maka menangis sajalah, saat kita tertawa, tertawa sajalah, bahkan saat ingin menjeritpun, maka menjerit sajalah.

Kini, kita tidak bisa lagi sekedar menangis, tersenyum atau bahkan tertawa dan menjerit. Kita mungkin justru akan akrab dengan senyum yang dipaksakan, tangis yang ditahan, marah atau yang dipendam, sehingga..disaat yang sama kita harus benar-benar faham kapan dan dimana saat menangis, tersenyum ataupun tertawa yang tepat.

Diantara kedewasaan adalah saat benar-benar menyadari bahwa selalu ada pengorbanan betapapun kecilnya untuk sebuah senyum. Harus siap dengan resiko atas segala pilihan dan tindakan, bahkan jika dulu saat kecil sekelilingnya lah yang membuat kita tertawa, maka saat ini kita lah yang harus membuat kita tertawa

Allah A’lam
*Sepenggal renungan untuk kita

KEPALA SAMPAH

Kita terkadang harus berulang-ulang menyadari bahwa kepala yang kita miliki bukanlah "pegadaian" dimana semua masalah boleh masuk ke sana., atau tong sampah yang menerima berbagai jenis kotoran.

Masalah memang terkadang menjadikan manusia menjadi lebih dewasa, tetapi tidaklah semuanya demikian, ia bahkan justru bisa menjadi rongsokan sampah yang mengotori alam bawah sadar manusia, sehingga apa yang keluar dari mulutnya, tulisannya maupun perilakunya menjadi bau tak sedap yang membuat kehidupan orang lain tidak nyaman.


Allah A'lam

Minggu, 02 April 2017

MAKNA KEBERSAMAAN*



Kebanyakan kita akan lebih mengerti mahalnya kebersamaan justru ketika ia telah berada di tempat yang berbeda dan dikunjungi oleh kerinduan yang bertubi-tubi.
Saat saat demikian kita akan mengenang kebersamaan dengan orang-orang yang begitu penting dan berkesan dalam hidup ini
Tawa, canda atau isakan tangis sederhana, tiba-tiba berubah  rasanya, seakan-akan itu semua adalah momentum yang begitu mengesankan.
Tetapi, ternyata sebuah moment tidak pernah berluang 2 (dua) secara persis
Semua yang berlalu akan benar-benar berlalu, hanya penyesalan atas banyak hal bodoh yang  mungkin kita lakukan justru terhadap mereka yang berarti dalam kehidupan ini
Yah..semuanya benar-benar telah berlalu…dan melambaikan tangannya untuk kita
Sekaran sekeliling ini akan melihat, apakah tangan kita akan menyeka air mata haru atas kebersamaan dahulu?
Atau senyuman indah terhahdap semua keindahan ituSemoga kebersamaan bukan tempat penyiksaan, melainkan taman-taman keindahan yang akan berlanjut nanti



Allah A’lam
Catatan ini dibuat pada tanggal 4 Januari 2014