Ki Topo Joyo Binangun yang mempunyai
nama asli Umarwan Sutopo Bin Parno dilahirkan di Bumi Wengker, dimana daerah ini
kemudian lebih dikenal sebagai tanah Reog Ponorogo. Kelahiran bayi tersebut
tepat pada malam Jum’at Kliwon, tanggal 12 Juni 1987 dari keluarga kecil 3
(tiga) bersaudara.
Bayi kecil yang biasa disapa “Topo”
ini tumbuh di desa Karang Patihan, sekitar 15 KM dari Perkotaan. Hidup bersama
masyarakat layaknya anak-anak desa lainnya di Indonesia. Kehidupan susah
bersama keluarganya pernah dirasakan sejak kecil, dimana rumah yang dimiliki
sangat sederhana sekali. 5 (lima) orang berada dalam bangunan yang terbuat dari
gedeg (bambu anyam) sekitar 5 X 8 meter. Dapur, ruang tamu, ruang tidur,
sekaligus halaman menyatu dalam kesatuan yang disebut rumah. Tidak ada nama
khusus, dimana ruang tamu juga ruang tidur, ruang tidur juga ruang tamu dan
begitu pula sebaliknya. Hidangan makan mereka lebih sering thiwul (nasi
dari ketela) dari pada nasi beras. Sementara daging hanya diperoleh kalau ada
hajatan/ kenduri yang dilaksanakan masyarakat.
Perekonomian yang sulit saat itu
mendorong bapak Parno untuk merantau ke berbagai macam daerah sebagaimana
dilakukan oleh penduduk desa lainnya. Malaysia, Pagar Alam, Lampung, Bangka
Belitung dan berbagai daerah lainnya adalah tempat-tempat yang beliau singgahi.
Inilah yang menyebabkan Topo kecil dan saudaranya selalu berjauhan dari
bapaknya. Mereka hanya bertemu sekitar 1 atau 2 tahun sekali setelah musim
panen atau acara-acara tertentu. Dus,..kondisi yang kurang begitu baik secara
ekonomi memberikan banyak pelajaran dalam memaknai kehidupan.
Setelah menyelesaikan pendidikan
dasar negeri, secara berturut-turut Ia melanjutkan ke Mts Miftahul Ulum Ngraket
sedangkan masa SMA nya dihabiskan di Pondok Pesantren Darul Istiqomah Ngumpul
dimana kedua tempat tersebut masih berada di kawasan Ponorogo. Guru-guru yang
sangat menginspirasinya ketika masa sekolah menengah adalah beliau Kiyai Zaenal
Arifin, Mbh Burhan, dan Kang Ma’ruf. Sementara itu, pendidikan non formal ia
jalani sebagai santri di Pondok Salafiah, dimana Mbh Kyai Salamun Nawawi selaku
pendirinya adalah tokoh yang sangat berpengaruh dalam perjalanan spiritualnya
kelak. Di sana ia belajar dari hija’iyah, ilmu alat sederhana, sampai
kitab-kitab bulughul maram, subulus salam, tibb nabawi, Uqudul Ijain berbagai kitab Fiqh Madzhab Syafi’i dan termasuk juga Syamsul Ma’arif, yang
sementara orang menyebutnya ilmu perdukunan.
Hari-hari dihabiskan dengan rutinitas
yang tidak berubah kecuali sesekali waktu, dimana pagi sampai siang berada di
sekolah formal, sepulang sekolah mencari makanan kambing, lalu sore dan
malamnya belajar agama di Pesantren salafiah. Agaknya, tidak ada waktu tidur
siang sama sekali menyebabkan dirinya hampir selalu tertidur ketika mengaji
sore maupun acara-acara masyarakat di malam hari. Waktu untuk bermain seperti
kawan-kawan lainnya nyaris tidak dimilikinya kecuali waktu-waktu tertentu. Pun
begitu, ia juga tidak punya waktu khusus di rumah untuk mengulang-ulang/
mempelajari pelajaran sekolah yang diterima.
Sebelum lulus pesantren, Topo tidak
mempunyai keinginan sedikitpun untuk melanjutkan ke jenjang sarjana, rencananya
adalah pergi ke Sumatra dan membantu orang tuanya berkebun, hal ini terjadi
sebab bapaknya sudah sering menanyakan kapan kelulusannya dari sekolah,
terkecuali daripada itu, mayoritas anak-anak seusia di daerahnya tidak ada yang
melanjutkan ke perguruan tinggi. Mereka rata-rata merantau ke Kota, Sumatra,
Kalimantan atau Malaysia.
Allah berkendak lain, ternyata IA
menuntun Topo untuk ikut seleksi bea siswa ke luar negeri yang diadakan
serentak di Indonesia. Kemudian dengan nekad ia pun mencoba ikut dengan
mendaftar. Ada cerita menarik terkait hal ini, karena tempat pendaftaran
terdekat berada di UIN Maliki Malang, sementara ia belum pernah ke luar daerah
Ponorogo, maka ia pun terbawa bis sampai di terminal Bungurasih Surabaya.
Untungnya ada seorang penumpang yang menyelamatkannya dari kejaran para calo’
dan mengantarkan ke Bis Jurusan Malang.
Perjalanan Surabaya-Malang adalah
pertama kalinya, melewati Sidoarjo yang saat itu baru saja ramai dibicarakan
karena peristiwa jebolnya pengeboran yang berakibat munculnya lumpur Sidoarjo
hingga saat ini. Sebenarnya Ia tidak tahu persis gambaran Kota Malang bahkan
dimana UIN berada, akhirnya seorang kakek-kakek pensiunan tentara yang duduk
disampingnya merasa kasihan terhadapnya. Sementara perjalanan belum sampai
tujuan hari sudah mulai malam. Ia tidak tahu di terminal mana ia turun waktu
itu, sehingga sang kakek pun mengantarkannya menuju kawasan UIN Malang. Saat
itu tahun 2007 Kawasan UIN belum seramai saat ini, sehingga Ia bisa menumpang
di salah 1 (satu) mushola dan tidur berselimutkan sarung yang dibawanya dari
rumah selepas sholat isya’.
Cerita tidak berhenti di situ,
ternyata setelah keesokan harinya menuju ke tempat pendaftaran seleksi (ruang
pasca), Satpam Songong menghentikan langkahnya karena masuk kampus tanpa
sepatu. Meski melalui perdebatan, ia terpaksa tidak diperbolehkan masuk ke
ruangan, akhirnya cerita nekat selanjutnya adalah meminjam sepatu milik
tukang bersih-bersih kampus dan baru bisa mendaftar menjelang siang hari.
Singkat cerita pengumuman hasil ujian
seleksipun diumumkan, dan namanya tercantum dalam nominasi mahasiswa beasiswa
di Maroko. Kabar gembira inipun menghiasi keluarganya, betapa tidak, santri
dari pesantren kecil yang tidak dikenal bisa meraih beasiswa ke luar negeri,
sehingga cita-cita membantu di perkebunan diurungkan. Tetapi kegembiraan itu
pupus tatkala pengumuman keberangkatan tak kunjung datang melainkan justru
pembatalan sepihak, dan beasiswa pun tinggal kenangan.
Kondisi itu begitu tidak nyaman,
akhirnya aksi nekat selanjutnya adalah merantau ke Ibu Kota untuk ikut
seleksi beasiswa Al Azhar Mesir. Jakarta adalah tempat pertama kalinya dimana
ia bertemu dengan guru-guru hafidz dan sekaligus menjadi murid Ustdz. Jufri,
Ust. Joko dan Ust. Asnawi Sauna. Di tengah-tengah perasaan tak menentu itu,
antara pulang ke Ponorogo atau menetap di Jakarta akhirnya terobati dengan
pengumuman bahwa salah namanya muncul di list anak-anak yang diterima. Namun
informasi keberangkatan tak jua kunjung, akhirnya iseng-iseng ikut ujian
di LIPIA dan diluar dugaan namanya kembali masuk daftar orang beruntung di
terima. Setelah beberapa bulan kuliah di kampus jauh Universitas Saudi itu,
ternyata ada panggilan keberangkatan ke Mesir, dan akhirnya LIPIA pun tinggal
kenangan.
Mesir adalah negara dimana ia bertemu
dengan para doktor dan masyaih yang bersahaja, terkecuali daripada rutinitas
kuliah, Ia juga berguru secara khusus pada Syaih Asrof Mesir, Syaih Abdul Aziz
(Madura) Syaih R. Gunawan (Medan) untuk memperbaiki tahsin dan tahfidz yang
terbengkalai. Termasuk juga sesekali berguru pada sahabat karib ust. Syukri
(Medan), Ust. Hilman (Majalengka), Ust.Aditya (Jakarta) Ust. Fathulah Amin
(Probolinggo), Ust. Agus (Demak), dan lain-lainnya yang tidak mungkin
disebutkan satu-satunya. Adapun terkait dengan ilmu faraid, ust. Raja
Ritonga adalah guru yang sangat berpengaruh baginya.
Masa belajar di Mesir selesai dalam
kurun waktu 3,5 Tahun jurusan Hukum Islam dan atas berbagai pertimbangan ia
tidak melanjutkan di sana melainkan kuliah di UIN Sunan Ampel Surabaya jurusan
Hukum Tata Negara. Pasca masa belajar inilah anak desa Karang Patihan itu
mengamalkan Ilmunya di IAIN Ponorogo, Ma’had Aly Al Furqon Ponorogo dan di Almamater Darul Istiqomah.
Luar biasa ustaz
BalasHapusLuar biasa ustaz
BalasHapusmkasudnya biasa di luar gt kan bos h3
Hapuspak dosen setelah baca artikel profil bapak jadi merinding dan subhanaallah sangat menginspirasi sekali... ...
Hapusterima kasih :) dan mohon maaf
HapusSubhanallah ya ustadz
BalasHapusterima kasih dan mohon maaf :)
Hapus