Translate

KI TOPO JOYO BINANGUN

HIDUPLAH DALAM GERAKAN KEBENARAN AGAR ENGKAU DIMASUKKAN DALAM GOLONGAN ORANG-ORANG YANG BENAR, MESKI SAAT INI KAMU BUKANLAH ORANG YANG BENAR.

Pantai Alexanderia Egypt

Demi masa, Manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

Masa Laloe

Anda tidak mungkin lagi merubah masa lalu, yang mungkin anda lakukan adalah meratapinya atau mensyukurinya untuk pijakan menatap masa depan.

Benteng Sholahuddin Al Ayyubi Alexanderia

Bersama KH. Fathullah Amin LC.

Al Azhar Conference Center (ACC)

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 16 Mei 2017

*Koreksi II pemahaman “Bung Haidar” terkait persoalan agama.

(Lanjutan)*

Kedua, Pernyataan Bung Haidar terkait cinta sebagai basis agama. Bahkan lebih jauh, agama tanpa basis cinta akan menghasilkan sikap yang justru negative atau bertentangan dengan maslahat manusia. Hal ini sejalan dengan apa yang ia sampaikan dalam bedah bukunya di IAIN Ponorogo, bahwa sikap beragama yang baik adalah manakala seorang  manusia memanusiakan manusia, atau kalau perlu membuat orang lain bahagia sebagai puncak kebaikan beragama itu sendiri, sehingga aneh jika ada orang yang beragama justru menyusahkan orang lain.

Bahwa muslim yang baik adalah mereka yang memanusiakan manusia lainnya kita sepakat. Tetapi menjadikan kebahagiaan manusia sebagai semata-mata tolok ukur kebaikan beragama adalah sesuatu yang tidak bisa disepakati. Ini karena menjadikan manusia sebagai  “sumber/pokok kebaikan” akan menjerumuskan pada penghambaan manusia kepada manusia lainnya, padahal agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhan, bukan manusia kepada manusia, ini jelas. Terkecuali daripada itu, memposisikan cinta sebagai asas agama agar manusia terhindar dari sikap beragama yang negatif adalah gegabah, sebab justru cinta-lah yang harus dibangun dengan asas agama. Betapa banyak kehancuran manusia yang disebabkan cinta tanpa kontrol agama. Orang akan sah-sah saja dikemudian hari berselingkuh atas dasar cinta, ber-zina atas dasar cinta, homo dan lesbi atas dasar cinta. 

Ketiga, Bung Haidar memalingkan makna ihsan (dalam hadis yang menceritakan dialog antara Jibril dan Muhammad SAW ) menjadi “cinta”, sehingga cinta adalah ihsan dan ihsan adalah cinta, maka tingkatan tertinggi seseorang yang telah berislam dan beriman adalah cinta. Ini tentu saja tidak fair, sebab ta’rif dari lafadz ihsan sudah dijelaskan dalam hadis itu sendiri, yaitu “Penyembahan hamba kepada Allah seolah-olah ia melihatNya, atau jika tidak mampu, maka sesungguhnya Ia selalu melihatnya”, jadi ihsan adalah sampainya posisi seorang manusia dalam penghambaannya kepada Allah sudah sampai ke level muraqabah. 

Di sisi lain, Bung Haidar juga tidak konsisten dengan pernyatannya bahwa ihsan adalah cinta, sebab ternyata di lembar yang lain beliau menegaskan bahwa ihsan harus berdasarkan cinta. Ini tentu saja kebingungan berfikir, sebab bagaimana mungkin di satu tempat keduanya adalah satu dan kemudian ia ceraikan di tempat yang lain. Maka tidak heran jika beliau menggagas bahwa cinta adalah tingkatan tertinggi dalam beragama. Allah A’lam.

* Tulisan ini sebagai pelanjut koreksi atas “Buku Islam Tuhan Islam Manusia” namun demikian, perlu difahami bahwa ini adalah semata-mata untuk kebenaran, dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan unsur-unsur kebencian ataupun permusuhan. Terkecuali daripada itu, meski banyak  hal yang menjadi persoalan, tapi saya fikir 2 (dua) hal terakhir yang akan terbahas di bawah ini saya kira cukup, tidak elok memperpanjang kata, biarkan para pembaca yang arif dan bijaksana untuk merenungi gagasan-gagasan Bung Haidar.  

Kamis, 11 Mei 2017

Gugatan atas “Islam Tuhan Islam Manusia”*


Haidar Bagir adalah salah satu dari deretan nama yang perlu diingat terkait pendapat kontroversialnya tentang islam. Bukunya yang baru-baru ini, “Islam Tuhan Islam Manusia” dibedah di berbagai tempat, dimana IAIN Ponorogo merupakan salah satunya.Meski penulisnya menyatakan bahwa judul di atas tidaklah istimewa dan paling masuk akal diantara judul-judul lain yang mungkin ia gunakan, tetapi kontroversi bukanlah semata terkait keistimewaan atau tidaknya sebuah judul, melainkan content yang terdapat di dalamnya.

Tulisan ini hanya ingin mengambil beberapa contoh saja dari banyak persoalan dalam bukunya, sebagai bukti bahwa buah fikirannya Bung Haidar layak untuk dikritisi.

Pertama adalah dikotomi pengertian Islam sebagai judul besar bukunya. Haidar mengasumsikan bahwa Islam sebenarnya ada 2 (dua) versi, Tuhan dan Manusia. Menurutnya, Islam Tuhan adalah islam yang sesuai dengan kehendak Tuhan itu sendiri, sedangkan Islam Manusia adalah pemahaman manusia terhadap Islam Tuhan itu sendiri, nah karena manusia hanya mempunyai akal yang terbatas, maka tidak mungkin seseorang itu mampu menemukan Islam “yang sesuai dengan” Kehendak Tuhan. Ini pada akhirnya akan mengantarkan seseorang pada pada pemahamanan relativitasisme terkait agama. Akhirnya, tidak ada tafsir agama yang absolut, semua serba relative, bahkan lebih jauh, baginya non muslim pun tidak boleh disebut kafir, hal ini karena masing-masing agama mempunyai kemungkinan benar dan salah.

Bung Haidar di posisi ini sebenarnya memasuki “kecerobohan yang serius”, sebab mendikotomi pengertian agama tanpa menggunakan sandaran naqli yang sharih maupun aqly yang sahih. Pasalnya, tidak ada satupun wahyu Tuhan yang tertulis (al Qur’an & al Hadis) baik secara tersurat maupun tersirat menyinggung adanya dikotomi antara Islam Tuhan dan Manusia. Di titik lain, klaim atas adanya pembedaan agama melalui 2 (dua) versi adalah kecacatan logika, sebab seolah-olah dia sudah mengetahui bahwa ada Islam versi Tuhan itu dan versi manusia, lalu keduanya menjadi berbeda sebab tidak ada manusia yang mampu mengerti kehendak Tuhan kecuali Tuhan sendiri. Persoalannya adalah ketika Bung Haidar menghakimi segenap manusia sebagai mahluk yang tidak tahu akan kehendak Tuhan, lalu darimana dirinya tahu bahwa Tuhan berkehendak A tetapi manusia berkehendak B. Bukankah itu blunder bagi dirinya, sebab menghukumi semua manusia tidak tahu menahu tentang kehendak Tuhan, tetapi justru memposisikan dirinya mengetahui kehendak Tuhan, padahal bukankah Haidar juga manusia dan bukan Tuhan?

Adalah lebih fair manakala Haidar sekedar memunculkan wacana "Islamku, Islammu dan Islam Kita", dengan dasar bahwa masing-masing merasa tidak ada yang mengetahui kehendak Tuhan, atau sebaliknya bahwa masing-masing merasa paling mengetahui kehendak Tuhan, baik bung Haidar maupun manusia lainnya.

Apa yang saya sampaikan ini dibuktikan dengan gagasan-gagasan Haidar sendiri terkait “Islam Cinta” yang diusungnya. Dimana “islam cinta” menurutnya adalah merupakan pengejawantahan dari Islam versi Tuhan dan Islam versi Manusia. Pengagum relativisme ini dengan piawainya menyalahkan pemahaman agama para manusia selain dirinya sebagai pemahaman yang salah, sebab bagi Haidar mereka masih ber-Islam Manusia, bukan Islamnya Tuhan. Maka tidak heran dalam bukunya tersebut ia tanpa malu-malu menyematkan gelar-gelar yang bernuansa negatif pada sebagian umat islam, seperti kaum takfir, radikal, maupun sejenisnya. Hal ini tentu saja mengherankan, sebab kontra diksi dengan pernyataannya sendiri yang melarang untuk merasa paling benar. Bukankah ini merupakan bentuk kesombongan yang sempurna, dimana menyalahkan pemahaman orang lain terkait islam hanya karena mereka tidak sesuai dengan Islam versi dirinya. Kesombongan yang dibalut dengan kata-kata ilmiah dan dalil dalil yang tidak sesuai dengan tempatnya.

Terkecuali daripada itu, jika Bung Haidar konsisten dengan manifesto pemikirannya yang menyatakan betapapun akal mempunyai posisi penting bagi manusia, tetapi ia mempunyai kelemahan, diantara contohnya adalah tidak mampu mengetahui Islam yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Maka seharusnya tokoh yang juga pengagum aliran humanisme ini tunduk pada wahyu atau manusia yang dipilih Tuhan untuk menjelaskan kehendakNya kepada manusia, dan mereka adalah para Nabi/ rasul. Mengikuti mereka, menaati ajaran-ajaran mereka adalah bentuk dari menjalankan kehendak Tuhan itu sendiri, dan ini adalah kesimpulan yang sangat logis.

Tetapi sayangnya Haidar melupakan peran para utusan dan menggunakan akalnya (yang ia yakini mempunyai kelemahan) untuk menerka-nerka kehendak Tuhan terkait islam, sehingga munculah gagasannya dengan ISLAM CINTA, sebuah istilah yang bukan hanya aneh, seperti halnya istilah ISLAM HUMANISTIK, tetapi sekaligus bisa menjadi alasan untuk bersedih, meratapi adanya seorang manusia yang begitu anehnya berpendapat tentang agama lalu dikampanyekan kepada khalayak ramai. Namun demikian, terlepas daripada itu semua, niatnya untuk mendamaikan antar pemeluk agama patut diapresiasi meskipun metode yang ia gunakan dengan "menghajar" pemahaman agama orang lain tidak bisa ditolelir. Allah A'lam

Bersambung...
*Koreksi pemahaman “Bung Haidar” terkait persoalan agama.

Selasa, 09 Mei 2017

Legenda "Gombal Mukiyo"


Jum’at Kliwon, Modosio 245 SM., padepokan Karang Kadempel pagi itu sudah diramai oleh jeritan dan teriakan para cantrik, pasalnya Gareng hendak mengakhiri hidupnya di tiang gantungan setelah cintanya kandas di tangan orang tua Katiyem. Sebenarnya, Bagong dan Petruk sudah mewanti-wanti saat Gareng mulai jatuh cinta pada Katiyem, Si putri bangsawan di Negeri Astino. Berhari-hari mereka berdua mengingatkan saudaranya itu untuk mengurungkan niatnya mempersunting Katiyem, sebab mereka tidak sekufu’ / beda kasta, dimana Gareng hanyalah Punokawan. 


Cinta adalah cinta, pikir Gareng, Ia harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan, apatah lagi si Katiyem, roro ayu pujaannya itu juga menerima cinta dirinya. Akhirnya, tanpa memperdulikan nasihat 2 (dua) saudaranya itu ia nekat pergi melamar kekasihnya, dan ternyata malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, orang tua Katiyem menolak mentah-mentah niat Gareng. Mereka ingin menikahkan putrinya dengan  Haryo Mukiyo, Si Juragan Wedus yang omset hartanya dimana-mana. Usut punya usut, ternyata beberapa hari sebelumnya Mukiyo sudah menyebarkan berita-berita hoak untuk mencemarkan nama baik Gareng, sehingga orang tua Katiyem pun semakin tidak tertarik dengannya.

Tentu saja Gareng misuh-misuh tanpa henti di perjalanan pulangnya, “Gombal kowe Mukiyo, Gombal kowe Mukiyo”, Katanya dengan marah. Petruk dan Bagong tak kuasa melihat penderitaan batin saudaranya yang begitu parah itu, akhirnya bapak angkat mereka Kyai Bodronoyo (Semar) menyarankan supaya Gareng diajak semedi untuk menembus ruang dan waktu, menemui Ki Joyo Binangun, begawan muda di Watu Dhakon. Kocap kacarito, sampailah 3 (tiga) orang bersaudara itu di depan Sang Resi.

Gareng pun dihujani pertanyaan perihal asal muasal  jatuh cintanya pada Katiyem, termasuk kenapa dirinya ditolak. Akhirnya, Sang Resi menasehatinya bahwa jodoh, rejeki, dan kematian adalah bagian takdir yang dikuasai Sang Moho Kuoso. Gareng harus bersabar atas ketentuan Gusti Sang Murbeng Dumadi, keihlasan dan kesabaran akan mengantarkannya kepada kebahagian lain, meskipun dirinya tidak bisa bersanding dengan pujaan hatinya.

Akhirnya, Ki Joyo Binangun menutup nasehatnya dengan kata-kata yang kelak di kenang oleh anak-anak muda bahwa “Kebersamaan dalam kebencian tidaklah seindah perpisahan yang dipenuhi cinta dan kerinduan”, begitu katanya.

“Tentu saja ini bukan kata-kata dukun, ataupun sabda Cak Lontong si Maestro Dagelan itu”, Kata Sang Resi, “Ini hanyalah perenungan atas banyak kejadian yang barangkali bisa diambil hikmahnya. Lihatlah, jika ada sepasang suami istri yang tiada berhenti untuk saling berseteru, karena mereka tidak sekufu’, niscaya keindahan rumah tangga tidak akan mereka temukan, karena mereka bukan menyulam cinta dan kasih sayang, melainkan  membangunnya dari serpihan-serpihan kebencian”.
...
Tamat.

Jumat, 05 Mei 2017

MEMAKNAI PERBEDAAN

Demokrasi identik dengan kebebasan, hanya saja terlingkup dalam kerangka kebersamaan, ia merupakan diantara “mahluk” yang lahir dari puing-puing kehancuran sistem bangsa-bangsa otoriter, dimana manusia telah menganggapnya sebagai kekelaman masa lalu. Sehingga, ketika kuasa negara begitu kuat mencengkeram kehidupan manusia, maka kebebasan adalah “nikmat” yang begitu mereka impikan.

Berangkat dari kebebasan inilah maka efeknya adalah memungkinkan tumbuh suburnya berbagai faham, baik yang menyokong keberlanjutan demokrasi itu sendiri maupun para penentangnya, dan ini adalah sebuah sebab akibat. Maka menjadi aneh, jika sebuah negara yang berfaham demokrasi kemudian mencoba membunuh “ruh kebebasan” masyarakatnya, baik terkait politik, budaya maupun agama. Karena selama itu semua masih dalam kerangka kebersamaan, maka selayaknya para pemegang kuasa berlaku “asah, asih dan asuh”, bukan menghabisi.
Kaitannya dengan hal ini, pembubaran pengajian Salafi maupun HTI oleh sekelompok orang baru-baru ini sebenarnya telah mencederai demokrasi itu sendiri. Bagaimana tidak, perbedaan yang seharusnya bisa didialogkan justru ditutup dengan kekuatan otot, ini sungguh pembelajaran yang tidak baik. Pasalnya, konflik-konflik yang terjadi dimanapun mayoritas dimulai dari misunderstanding antar kelompok. Jika ruang dialog telah diganti dengan kekuatan fisik, maka yang muncul bukanlah saling memahami dan ilmu pengetahuan, melainkan arogansi kelompok penguasa, dan dari sinilah bibit intoleran dan kekacauan dimulai.
Jika sekelompok orang menginginkan demokrasi, maka masuklah ke dalamnya secara kaffah, sehingga ruang “berlomba-lomba” menawarkan ide dan gagasan untuk Indonesia yang lebih baik menjadi lebih fair. Tidak elok jika gagasan dilawan dengan pedang, dan tidak patut pula pemikiran dilawan dengan dengkul. Para pengagum demokrasi yang melihat HTI tidak benar, hendaknya dibina, bukan dibinasakan, sebab adanya mereka demokrasi ini menjadi lebih sempurna.
Di sisi lain, HTI maupun salafi harus menginsyafi penolakan halus maupun kasar  sebagian masyarakat terhadap keberadaan mereka. Menawarkan ide dan gagasan boleh dan sah-sah saja, tetapi harus tetap mempertimbangkan kemaslahatan maupun anggah-ungguh dengan situasi dan kondisi dimana kaki mereka berpijak. Tidaklah lucu misalnya, para kader HTI tanpa malu-malu melaknat sistem demokrasi, padahal di sanalah justru mereka bisa tumbuh,  diasuh dan dibesarkan para pemeluknya, sebab bisa jadi mereka diusir ke planet lain. Adapun penolakan terhadap salafi, saya fikir beda segmen, namun demikian masih mempunyai satu persamaan, yaitu sama-sama ditolak oleh sebagaian orang.

Akhirnya, tulisan ini bukan ingin menghakimi masing-masing kelompok yang terlibat konflik, melainkan mengajak semuanya untuk bersifat lebih bijak dan arif, baik dalam menghadapi perbedaan, ataupun menawarkan ide dan gagasan. Allah ‘Alam.