Translate

KI TOPO JOYO BINANGUN

HIDUPLAH DALAM GERAKAN KEBENARAN AGAR ENGKAU DIMASUKKAN DALAM GOLONGAN ORANG-ORANG YANG BENAR, MESKI SAAT INI KAMU BUKANLAH ORANG YANG BENAR.

Pantai Alexanderia Egypt

Demi masa, Manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

Masa Laloe

Anda tidak mungkin lagi merubah masa lalu, yang mungkin anda lakukan adalah meratapinya atau mensyukurinya untuk pijakan menatap masa depan.

Benteng Sholahuddin Al Ayyubi Alexanderia

Bersama KH. Fathullah Amin LC.

Al Azhar Conference Center (ACC)

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 31 Maret 2017

Kedudukan Akal dan Wahyu*

TEOLOGI.Manusia adalah ciptaan yang Allah sebut sebagai fi ahsani al taqwim (sebaik-baik penciptaan). Hal ini menarik dikaji karena ternyata dirinya adalah satu-satunya mahkluk yang mendapatkan gelar demikian. Para ulama menegaskan meski para malaikat tercipta sebagai hamba Allah yang tidak pernah berdosa, namun demikian keimanan mereka masih bisa di bawah level para manusia. Terkecuali daripada itu, misi ke khalifah an di dunia tidak diserahkan kepada malaikat melainkan diembankan kepada manusia.
Keunikan lainnya adalah segi besar dan kecilnya postur. Manusia masih kalah dengan beberapa jenis hewan, seperti gajah, buaya dan lain sebagainya, namun kenyatannya ia memiliki kekuatan yang bisa mengendalikan beragam macam hewan, termasuk yang postur tubuhnya melebihi mereka. Beberapa hal lainnya yang patut direnungkan terkait dengan kesempurnaan dirinya adalah beberapa anugrah yang Alloh lekatkan, diantaranya adalah sebagai berikut di bawah ini: 

1.    Tabiat, naluri ataupun Insting
Anugerah ke dua ini diberikan kepada manusia dimana dengannya ia mampu menemukan kenyamanan hidup. Seseorang yang klakepan (menguap) adalah tanda bahwa tubuhnya memberi sinyal untuk istirahat (tidur). Mengantuk adalah tabiat manusia sebagai tanda awal aktifitas tidur, seandainya manusia tiba-tiba tidur tanpa ditandai dengan tabiat mengantuk, maka betapa hancurnya dunia ini, para pengendara akan bertabrakan dengan pengendara lainnya, para penceramah akan tertidur tiba-tiba di mimbarnya, para dokter yang tertidur saat operasi dan masih banyak hal bahaya lainnya jika manusia tidak memiliki rasa kantuk. Perut yang keroncongan adalah tabiat atau naluri atau insting sebagai sinyal kepada manusia bahwa tubuhnya butuh makanan dan minuman, sehingga ia tahu dengan segera untuk memenuhi kebutuhannya, seandainya tidak ada rasa lapar, tidak ada perut yang keroncongan, maka betapa bahayanya manusia, ia bisa saja mati mendadak karena kebutuhan energinya tidak terpenuhi gara-gara tidak merasa lapar dan haus.

2.    Panca Indera
Terkecuali daripada insting dan naluri, manusia pada umumnya diberi anugerah 5 (lima) indera untuk mengenali apa-apa yang ada di sekelilingnya dengan benar. Dengannya ia bisa mengerti beragam jenis rasa, beragam warna, beragam suara, beragam bentuk dan rupa serta hal-hal lainnya yang tidak dimiliki oleh mahluk lain secara sempurna, seperti halnya hewan dan tumbuh-tumbuhan.  Tanpa perwujudan indera pengecap, manusia tidak akan bisa mengenali apa itu manis, asin, pahit dan lain sebagainya. Darinya juga ia bisa membedakan mana yang disebut gula, garam dan benda-benda lainnya. Tanpa indera penglihatan, ia tidak bisa membedakan mana yang disebut dengan merah, putih, hitam, hijau dan lain-lain, ia juga tidak bisa menemukan apa yang disebut dengan keindahan. Penjelasan ini akan semakin mendalam manakala disebutkan fungsi-fungsi indera lainnya. Namun demikian, betapapun hebatnya fungsi indera, tetapi ia tidaklah cukup untuk benar-benar digunakan sebagai alat pencari kebenaran. Contohnya adalah ketika mata kita melihat sebatang pensil yang dimasukkan ke dalam segelas air, maka indera kita akan memberitahukan bahwa pensilnya menjadi bengkok. Padahal sejatinya tidaklah demikian, itu hanyalah persitiwa pembiasan, dimana akal akan tetap menghukumi bahwa pensilnya tetap lurus meskipun indera pengelihatan melaporkan bengkok.

3.    Akal
Anugrah indera dan tabiat/ naluri diberikan Allah kepada manusia maupun hewan. Namun, hewan ternyata lebih mampu eksis bertahan hidup dibandingkan dengan manusia jika kedua mahluk itu hanya diberi insting dan indera. Lihatlah betapa menakjubkan peradaban hewan di sekeliling kita, mereka mampu melakukan hal-hal yang luar biasa padahal mereka tidak memiliki akal. Semut mampu membuat sarang dan hidup dengan teratur bersama koloninya, begitu juga dengan lebah. Lihatlah betapa burung-burung mampu membuat sarang yang cocok dengan tempat mereka mengerami telur-telurnya, padahal mereka tidak diberi akal tentang cara bagaimana membuat sarang yang kuat.
Hal ini tentu saja sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan manusia. Untuk mampu menciptakan peradaban, manusia tidak bisa lepas dari apa yang disebut dengan akal, dengannya ia memperoleh pengetahuan dan kemudian dengan pengetahuannya peradaban baru bisa diwujudkan. Bagaimanapun kuat insting seorang manusia, dan begitu pun lengkap indera yang ia miliki, tanpa akal yang bersamanya, maka manusia menjadi mahluk yang tidak lebih mulia daripada hewan, sebab ia dimasukkan dalam manusia gila. Ia benar, tanpa akal, manusia menjadi gila, ia bisa lapar, dan makan, tetapi tidak ada jaminan bahwa ia mampu memakan makanan yang bermanfaat baginya, bahkan cara makanpun belum tentu bisa mirip dengan manusia pada umumnya. 
Fungsi akal di sini adalah membantu mencari kebenaran yang tidak mampu dipecahkan oleh panca indera sebagaimana contoh di depan. Namun apakah akal benar-benar sempurna sebagai alat untuk mencari kebenaran? 
Tidak, sebab akal terbatas kemampuannya. Kekuatannya untuk menemukan kebenaran sesuatu hanyal terbatas dari ilmu pengetahuan yang ia dapatkan dari informasi-informasi yang diberikan oleh panca indera, sehingga akal menjadi bergantung pada panca indera itu sendiri. Saat indera tidak mengirimkan informasi secara cukup, maka akal tidak benar-benar bisa memutuskan sesuatu, contohnya adalah perakiraan cuaca. Kenapa manusia tidak mampu mengatakan dengan yakin bahwa awan hitam yang terlihat dari jarak yang sangat jauh menunjukkan bahwa di tempat itu hujan atau sekedar mendung saja? Karena informasi yang diberikan oleh indera penglihatan (mata) kepada akal terbatas hanya pada awan yang berwarna hitam, mata manusia tidak mampu melihat apakah di sana ada tetesan air atau tidak, sehingga akalpun tidak bisa menghukumi bahwa di tempat itu terjadi hujan ataupun sebaliknya, ia hanya mampu mengira-ngira.

4.    Wahyu
Penjelasan tentang lemahnya indera dan akal dalam menemukan kebenaran menjadi alasan yang kuat bahwa manusia masih membutuhkan sesuatu yang lain dalam menemukan kebenaran itu. Sesuatu itu tidak lain adalah “wahyu” atau firman Tuhan (Allah). Terlebih jika kebenaran itu ada kaitannya dengan alam ghaib dimana panca indera tidak memberikan informasi sama sekali kepada akal, maka bagaimana akal mampu menjangkau alam tersebut. Mau tidak mau akal harus tunduk kepada wahyu yang ada. Jika saja akal tidak mampu menebak dengan tepat antara hujan dan tidak hujan, padahal informasi warna dari indera penglihatan sudah diberikan, maka bagaimana mungkin akal mampu menebak dengan benar tentang perkara-perkara yang di luar kendali indera dan akal manusia. Dzat Tuhan, surga dan neraka, pahala, taqdir dan lain sebagainya adalah perkara-perkara ghaib yang tidak mampu dipecahkan oleh manusia, sehingga ia sangat butuh kepada wahyu untuk mengenalnya. Jangankan Dzat Tuhan, nama Tuhan saja manusia tidak akan mampu menemukannya jika IA sendiri tidak memberi tahu kepada manusia lewat FirmanNya (Al Ihlas ayat pertama). Bahwa manusia tidak bisa dengan kreatifitasnya/ se suka hatinya sendiri memberi nama kepada Tuhan sebagaimana ia tidak boleh menamai Seorang Presiden sesuka hatinya lalu memanggilnya di khalayak ramai dengan nama tersebut, sebab semua ada aturannya.
Ke empat hal yang terurai di atas adalah gambaran sederhana bahwa akal memang mendapat posisi penting bagi manusia, karena ia setingkat lebih atas dari pada panca indera, sehingga menjaga akal adalah salah satu kewajiban manusia. Ia dilarang dari mengkonsumsi hal-hal yang dapat merusak akal, seperti sabu-sabu, minuman keras, racun dan lain sebagainya. Namun demikian, betapapun hebatnya “akal”, ternyata ia hanya mampu menemukan dan menentukan apa yang telah diinformasikan oleh inderanya, sehingga akalpun tidak boleh menjadi satu satunya alat untuk mencari kebenaran, apalagi kebenaran tentang agama, akal harus bersanding dan berjalan beriringan dengan wahyu (firman Allah), bahkan disaat akal bertolak belakang dengan wahyu, maka ia harus mengalahkan dirinya dan mempersilahkan wahyu membimbingnya menuju jalan dan hal-hal yang benar.
Allah A’lam.

*Disarikan dari Tafir Madrasy dan referensi lainnya kemudian disampaikan pada pengajian Jama’ah Masjid Karang Mojo-Balong-Ponorogo (28 Maret 2017)

Selasa, 28 Maret 2017

KEBEBASAN

Dunia jalanan mengenal adanya sebagian anak jalanan yang gaya hidupnya sangat berbeda dengan manusia pada umumnya. Mereka berfikir bahwa apa yang mereka lakukan adalah ekpresi dari kebebasan hidup. Bebas bergaya, berbicara maupun bentuk-bentuk lainnya. Keteraturan adalah belenggu, sehingga ia adalah musuh yang harus dilawan dengan cara apapun, dus hal inilah salah satu alasan kenapa banyak diantara mereka sulit diatur (tentu tanpa mengeyampingkan persoalan lainnya).
 
Terkecuali daripada itu, tuntutan akan kebebasan tidak hanya berlalu lalang diantara dunia jalanan, bahkan area kampus pun menjadi salah satu wahana dimana orang bisa memiliki kebebasan, berfikir terutama. Sayangnya, apakah setiap bentuk kebebasan akan melahirkan sesuatu yang positif? Pertanyaan inilah yang seharusnya difikirkan dengan matang oleh setiap penuntut dan bahkan penyanjung kebebasan. Anak-anak yang tergabung dalam penuntutan dunia bebas misalnya, mereka harus menginsyafi bahwa kebahagian hidup yang mereka dambakan dari penolakan aturan, justru kadang tersembunyi di balik keteraturan, bukan kebebasan. Bahwa orang yang memiliki siklus hidup teratur mulai dari ruang keluarga, pendidikan maupun pekerjaan kenyataannya adalah para pemilik kebahagiaan.
Hal ini berbeda dengan mereka yang tidak mempunyai keteraturan, bahwa meskipun kebebasan menjanjikan kebahagiaan, tetapi ia tidak bisa menjamin untuk memberikan kebahagiaan itu sendiri. Bukankah orang akan sulit menemukan kebahagiaan manakala tidak ada jaminan bahwa persoalan hidupnya bisa teratur (tertata) dengan baik.
 
Keinsyafan tentang kebebasan juga harus mewabah kepada para akademisi, bahwa jika kebebasan dimaknai sebagai bentuk dari “tidak ada batasan sama sekali” maka itu sebenarnya bukan bagian dari kepositifan, melainkan bentuk ke liar an, bahkan meskipun jika itu adalah  sekedar persoalan pemikiran. Seorang dosen muslim misalnya, atas dasar kebebasan berfikir ia merasa sah-sah saja untuk menggugat keontetikan wahyu (baca: al Qur’an) dalam tulisan-tulisan ilmiahnya. Padahal, di saat yang sama, ada jutaan manusia yang secara teratur percaya bahwa statemen-statemn Al Qur’an bukan area yang boleh digugat melainkan wilayah keimanan, baik hal itu berasal dari iman belaka, maupun berdasarkan research bahwa al Qur’an adalah benar-benar wahyu dimana menghakiminya di luar kuasa manusia.
 
Jika manusia menyuarakan kebebasan sempurna (tanpa batasan) kemudian mengejawantahkan ke dalam kehidupannya, maka justru dunia ini akan penuh dengan konflik (istilah yang cenderung kontra dengan kedamaian, kententraman maupun kebahagiaan). Orang harus sadar bahwa dirinya adalah mahluk sosial dimana ia tidak mampu hidup tanpa perwujudan dan peran orang lain. Hal ini bermakna bahwa masing-masing individu mempunyai hak (privasi) yang tidak bisa dirampas, dijangkau, ataupun diusik oleh orang lain. Dan hak-hak tersebut terejawantahkan dalam banyak hal, baik terkait tentang ekonomi bahkan terkait keimanan/ kepercayaan.
 
Bolehkah atas dasar kebebasan, seseorang melawan aturan untuk tidak kencing di jalan raya? Tentu tidak, karena jika diperbolehkan, maka pada saat yang sama para pengguna jalan juga merasa sah untuk meludahi si anak tadi secara berjama’ah berdasarkan kebebasan. Adanya aturan larangan kencing sembarangan hakikatnya adalah perlindungan terhadap dua sisi. Pertama kembali kepada para pengendara yang terlindungi kenyamanannya, dan kedua kepada si pelaku agar ia tidak diludahi banyak orang.
Bolehkah seorang akademisi menggugat Al Qur’an atas dasar kebebasan? Tentu tidak, karena jika dibolehkan, maka disaat yang sama para pemeluk taat akan balik menggugat “kewarasan´ Si Akademisi, bahkan menghukumnya baik secara moral.

Keteraturan yang muncul dari aturan tertulis maupun tidak tertulis sebenarnya bukan bentuk pengekangan manusia, namun justru petunjuk atas manusia agar arif dalam mengekpresikan kebebasannya sehingga tidak berbenturan dengan kebebasan orang lain. Manusia harus mempunyai aturan dan keteraturan, karena kebebasan tanpa batas adakah tidak ada sama sekali, ia hanyalah bisikan-bisikan iblis untuk membuat manusia konflik dengan manusia, alam bahkan dengan Tuhannya.
Allah A’lam.

Kamis, 23 Maret 2017

Radikalisme Agama

Reinterpretasi Penjajahan Berfikir Obyektif terhadap Agama

Isu paling laku selain teroris yang sering disematkan kepada umat islam adalah “Radikal”.Banyak kalangan secara tidak arif dan bijaksana menyoalkan istilah ini sampai pada taraf yang tidak sesuai dengan porsinya.  Para anti agama menggunakan media sebagai basis utama untuk menyebarkan ide bahwa radikal adalah sesuatu yang naif, bahkan meskipun disandingkan dengan agama. Pada dasarnya, mereka sedang tidak membidik kata radikal itu sendiri, melainkan agama adalah incaran sesungguhnya, adapun istilah radikal hanyalah alat pembidik belaka. Para pembenci agama seolah ingin mengaburkan makna subtansi dari kata ini dan menciptannya sebagai benda yang mengerikan/ sadis. Padahal harus ada pemaknaan yang disepakati terkait dengan hal ini, sebab “radikal” adalah kata yang bisa disandingkan dengan “militan” dan begitu juga kata “anarkis”.


Jika radikal dilekatkan atau dimaknai sebagai sifat yang militan, maka justru radikal adalah sikap yang diharuskan, sebab tanpa radikalnya para pejuang, maka kemerdekaan sulit diwujudkan. Lebih daripada itu jika dikaitkan dengan keimanan. Makna radikal baru berubah menjadi sesuatu yang buruk manakala diartikan sebagai anarkis. Padahal anarkis dan radikal adalah dua kata yang mempunyai makna tersendiri. Jikapun kita mengalah bahwa makna radikal adalah anarkis, maka berfikir secara obyektif tetaplah merupakan keharusan, bahwa anarkis tidaklah semata-mata datang dari agama,melainkan bisa datang dari tangan kaum penolak agama (atheis), ideologi partai politik maupun kelompok lainnya. Justru kemunculan agama adalah bentuk dari peredaman konflik maupun anarkhis-anarkis yang timbul di masyarakat baik secara langsung dan tak langsung melalui norma, etika maupun aturan-aturan agama.


Jika pun kita mengalah untuk ke sekian kalinya bahwa kita menerima bahwa radikal adalah sesuatu yang buruk, dan berasal dari agama. Maka lagi-lagi berfikir objektif tetap harus dikedepankan. Bahwa agama di dunia ini bermacam-macam, Islam hanyalah salah 1 (satu) agama yang ada. Tetapi kenyataannya, para penguasa yang melacurkan diri kepada kaum pembenci agama bahu membahu menghegemoni masyarakat dengan memunculkan image kepada masyarakat bahwa islam adalah radikal itu sendiri. Media media berkerja sama membuktikan data data terorisme yang dilakukan umat islam, baik skala nasional maupun internasional, padahal aksi-aksi teror yang mengatasnamakan agama tidak hanya dilakukan kaum islam, pembakaran masjid di Tolikara Papua dilakukan kaum kristen. Pembantaian suku Rohingnya dilakukan pemuka Budha dengan pemeluk taatnya. Dan manusia masih bisa membaca sejarah terjadinya perang salib selama ratusan tahun dilakukan oleh 2 (dua) agama besar, yaitu islam dan kristen.


Kalaupun data-data kekerasan yang dilakukan oleh kelompok atas nama agama islam, maka itupun harus ditinjau ulang. Sebab kejadian fenomenal terkait tragedi 11 September di WTC sampai saat ini masih menyimpan tanda tanya, benarkah umat islam sebagai pelaku utama, bukankah penghancuran sedahsyat itu hanya mampu dilakukan oleh Amerika sendiri sebagai negara super power saat ini. Terkecuali daripada itu, nilai-nilai dasar islam menolak anarkisme bahkan atas nama agama. Nyawa adalah sesuatu benda berharga yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Bahkan maqasid syariah yang merupakan salah satu unsur pengambilan hukum islam, perlindungan terhadap jiwa manusia termasuk dalam point-point yang utama.


Sebagai penutup tulisan sederhana ini, penghakiman islam sebagai agama yang radikal adalah anarkisme itu sendiri. Sebab anarkisme tidak hanya berupa tindakan, melainkan juga anarkisme yang timbul dari aspek verbal.

Allah A’lam.


Jumat, 17 Maret 2017

POSITIF THINKING

Berfikir lah positif, sebab hal hal besar diwariskan oleh manusia manusia yang mampu memandang persoalan dengan poaitif

KEBAIKAN

Langkah kaki kita setapak demi setapak sejatinya adalah goresan sejarah yang kita torehkan dalam kehidupan, maka berjalanlah dalam kebaikan karena baik dan buruk adalah pilihan

KEBESARAN

Orang orang besar dan hebat adalah mereka yang mampu menaklukkan masalah dan mengubahnya menjadi peluang dan kesuksesan

SUKSES

Kesuksesan, keberhasilan dan keberuntungan bukanlah "warisan" yang turun temurun, tetapi anugrah Tuhan (Allah) yang harus diperjuangkan dengan kesungguhan, kesabaran dan doa tanpa putus asa

TENTANG WAKTU

Jangan membiasakan mensia-siakan waktu, karena sedetik yang terlewat tidak akan pernah kembali meski ditukar dengan segenggam emas

KESOPANAN


PENDIDIKAN

Pendidikan bukanlah sekedar rumus-rumus yang harus dipecahkan, dalil dalil yang harus dihafal, tetapi etika, moral dan ilmu pengetahuan yang harus dicontohkan dan diamalkan bersama sama

Senin, 13 Maret 2017

Symbol dan Agama


Alam telah menjadi saksi bahwa saat manusia terlahir dunia, ia terlahir tanpa sebuah embel-embel/ symbol apapun yang melekat pada dirinya kecuali symbol kefitrahan sebagaimana tertuang dalam sabda Nabi SAW bahwa setiap anak Adam terlahir dalam keadaan Fitrah. Maksud daripada fitrah di sini tidak lain adalah fitrah keimanan/keislaman, hal ini sebagaimana didapatkan dari lanjutan hadis nabi bahwa orang tua si anak lah yang berpotensi menjadikan anaknya seorang Yahudi, Majusi ataupun Nasrani.


Symbol yang melekat pada diri manusia ini dikemudian hari bertambah seiring dengan perkembangan usianya, ada Jabatan, pekerjaan, profesi, suku, kewarganegaraan, organisasi dan bahkan agama adalah symbol manusia. Sebagai agama yang rahmatan lil a’alamin, Islam tidak menghalangi manusia untuk mempunyai symbol-symbol tersebut, hanya saja symbol Islam adalah asas, pondasi yang tidak boleh dikalahkan oleh yang lainnya, sebab Islam adalah keselamatan. Artinya, menjadi Islam tidak menghalangi seseorang menjadi Jawa, Madura, Eropa, ataupun berprofesi sebagai guru, pebisnis dan lain sebagainya, bahkan polisi sekalipun. Label sebagai orang Jawa tidak bertentangan dengan keislaman, jadi meski orang Jawa tetapi muslim, bukan dibalik bahwa meski muslim tetapi Jawa.
Artinya saat ada pertentangan antara nilai-nilai kejawen sebagai ruh orang Jawa dengan nilai-nilai keislaman, maka Islam harus dikedepankan. Contoh dari pernyataan pertama adalah budaya nyadran. Bahwa ini adalah bagian budaya Jawa, tetapi karena bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, maka nyadran harus dikalahkan, toh menjadi Jawa tidak harus nyadaran. Bukan sebaliknya, yaitu pernyataan meskipun Islam tapi Jawa, karena imbasnya akan begini, islam ya islam mas, tapi wayahe nyadran yo nyadran, sebab awa’e dewe wong jowo.
Terkecuali daripada itu, islam juga tidak melarang seseorang untuk mendapatkan label dalam bidang profesi tertentu, contohnya menjadi Polisi. Polisi adalah pekerjaan yang mulia, karena mempunyai tugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Tetapi meskipun demikian, tetaplah identitas muslimnya tidak boleh dikalahkan. Bahwa polisi ya polisi, namun tetaplah indentitas keislamannya tidak tertimbun oleh label profesinya. Bukan sebaliknya, dimana label profesinya sebagai seorang polisi mengalahkan label keislaman islam ya islam tetapi polisi bos.
 
Mohon maaf kalau saya sampaikan hal ini, mumpung kebetulan yang mengisi adalah anggota kepolisian, sebab akhir-akhir ini sebagian umat islam yang telah banyak berjasa pada negeri ini tersakiti dengan wafatnya saudara seiman kita Siyono tanpa kesalahan yang dapat dibuktikan. dimana salah satu aktor nyata adalah Densus 88 yang merupakan bagian dari kepolisian. Akhir-akhir ini, warga persyarikatan terutama, merasa sangat berduka dengan kasus penghinaan agama yang belum juga usai, bahkan buntutnya pemanggilan kepada sebagian ulama’ kita termasuk Ust. Bachtiar Nasir sebagai bagian dari persyrikatan. Masyarakat sudah cerdas dan melek politik, mereka melihat dengan mata kepala sendiri, mendengar dengan jelas bagaimana perlakuan aparat terhadap Ahok yang merupakan tersangka dengan Bachtiar Nasir yang harus berurusan dengan kepolisian dengan dalih pencucian uang.

2 (dua) contoh kecil di atas adalah sedikit dari banyak contoh yang memaksa saya secara pribadi teringat kata-kata orang yang pernah didaulat sebagai Guru Bangsa, Abdur Rahman Wahid sebagaimana ramai dikutip media sosial beberapa tahun lalu. Katanya, “Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng (mantan Kapolri kelima, Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso).Ini tentu menjadi sebuah keprihatinan bagi kita bagi semua. Persoalan ini tidak hanya berimbas pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian, tetapi bisa menimbulkan kebencian dalam skala luas, utamanya dari masyarakat islam yang menjadi korban.

Namun demikian, saat krisis kepecercaayan yang begitu akut mewabah di masyarakat, warga Balong setidaknya masih memiliki sedikit harapan terhadap manusia yang berprofesi sebagai polisi, contohnya malam ini dimana Bapak Jarwo yang notabene merupakan anggota kepolisian (POLRES) Ponorogo diundang sebagai penceramah Pengajian Malam Bulan Purnama, ini adalah satu alasan saya "dengan tidak mengurangi hormat saya atas pernyataan Gusdur", untuk menambahi 4 kategori polisi jujur/ baik yaitu: 1. Patung Polisi, 2. Polisi Tidur, 3. Bpk. Hoegoeng Imam Santoso dan yang terakhir adalah bapak Sujarwo serta orang-orang sepertinya, karena selain akrab dengan umat islam, juga mau mengaji dan bahkan mengisi pengajian. Semoga virus kebaikan Pak Jarwo menular pada polisi-polisi yang lain di Indonesia, bukan hanya polisi kelas bawah, bahkan kalau perlu tingkat Kapolri.
Akhirnya, saya ucapkan ahlan wa sahlan kepada bapak Jarwo dan sugeng ngayahi tugasnya

*Disampaikan sebagai pengantar dan penyambut acara pengajian Akbar Malam Bulan Purnama di Masjid Ar Rahmah Balong, senin 13 Maret 20117, yang diisi oleh Bpk. Sujarwo (Anggota Polres Ponorogo)

Jumat, 10 Maret 2017

KONSEP PERKARA GHAIB

Konsep Perkara Ghaib
TEOLOGI. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang tercipta dengan sempurna, hal ini sebagaimana dijelaskan sendiri dalam firmanNya (95:4). Tanda-tanda kesempurnaan itu diantara adalah adanya panca indera yang melekat pada diri manusia, dimana dengannya ia mampu menangkap wujudnya sesuatu di luar dirinya sendiri.Beragam rasa, warna, suara, bentuk dan hal-hal lainnya adalah salah satu fungsi terwujudnya panca indera manusia. Ia bisa membedakan antara gula dan kopi, antara hitam dan putih, antara panjang dan pendek.

Wujud panca indera yang begitu luar biasa tidaklah serta merta mampu menuntun manusia untuk menemukan dan membedakan sesuatu dengan benar. Terkadang indera manusia terkecoh oleh sebuah hal betapapun sempurnanya. Jika seseorang meletakkan 1 (satu) buah pensil yang lurus di gelas berisi air, maka yang akan tertangkap oleh indera penglihatan adalah bukan pensil yang lurus, melainkan telah berubah menjadi bengkok, padahal aslinya benar-benar bengkok. Contoh lain adalah peristiwa fatamorgana dimana bayangan air yang tertangkap oleh mata di atas gurun pasir panas bukanlah wujudnya air itu sendiri melainkan hanya gambaran-gambaran kosong tentang air.

Fakta pensil yang terlihat bengkok di dalam segelas air, dan bayangan wujud air di atas pasir adalah sinyal-sinyal bahwa manusia begitu lemah untuk mengetahui segala sesuatu jika hanya berbekal panca indera. Tuhan kemudian memberikan sesuatu lain yang sangat berharga kepada manusia, yaitu keberadaan akal. Manusia yang berakall tidak akan tertipu sebagaimana tertipunya panca indera. Saat panca indera tertipu, maka akal akan segera memberitahukan kepada manusia bahwa persangkaannya terhadap sesuatu yang ditangkap oleh panca indera adalah salah.

Kaitannya dengan perkara ghaib (as Syam’iat), apakah manusia bisa mempercayai perwujudannnya padahal ia tidak dapat ditangkap oleh panca indera, maupun dicerna oleh akal? Semisal adanya syurga, neraka, pahala, surga dan lain sebagaimana dalam keyakinan umat islam.

Manusia yang berpegang teguh semata-mata pada panca inderanya tidak akan pernah mampu mempercayai perkara ghaib apapun itu nama dan bentuknya. Hal ini dikarenakan bahwa panca indera memang fungsinya terbatas untuk menangkap sesuatu yang bisa ditangkap olehnya. Oleh karenanya, ia kemudian membutuhkan akal. Hal canggih ke dua setelah panca indera, perwujudan sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh panca indera terkadang masih bisa ditangkap oleh akal, semisal adanya akal itu sendiri. Segenap manusia waras (berakal) mempercayai bahwa semua manusia mempunyai otak, tetapi ternyata tidak semua orang yang berotak mempunyai akal. Golongan pertama disebut dengan orang waras dan golongan ke dua adalah orang gila.

Nah..meskipun akal perwujudatannya tidak bisa ditangkap oleh panca indera, bagaimana warna, bentuk dan identitasnya, tetapi seseorang dengan mudahnya diketahui bahwa dirinya berakal maupun tidak berakal. Iya benar, akal adalah sesuatu yang wujud tetapi perwujudannya tidak tertangkap oleh panca indera melainkan hanya ditangkap oleh akal sendiri.

Lalu bagaimana dengan perkara-perkara ghaib dalam keyakinan umat islam dimana hal-hal tersebut tidak saja alpa dari tangkapan panca indera, bahkan akalpun tidak mampu menjangkaunya. Apakah serta merta manusia bisa memutuskan bahwa mempercaya wujud perkara ghaib/ as syami’at sesuatu yang benar-benar konyol.

Sebenarnya, manusia tidak bisa hanya berpegang teguh pada panca indera dan akalnya dalam mengenali sesuatu, sebab kedua-duanya juga mempunyai kelemahan yang sangat besar. Orang yang berpanca indera lengkap dan berakal sempurna terkadang/ bahkan sering salah untuk menentukan sesuatu. Semisal wujudnya awan hitam yang ada dilangit dari kejauhan. Ketika panca indera menangkap wujudnya awan hitam dari kejauhan, maka akalpun tidak serta merta memutuskan bahwa daerah yang di atasnya ada awan tersebut sedang hujan ataupun tidak. Karena bisa jadi ketika akal memikirkan dan menebak daerah tersebut hujan dan ternyata tidak hujan, hanya mendung saja, pun begitu pula sebaliknya.

Contoh lainnya adalah betapa banyak kesimpulan-kesimpulan salah yang dihasilkan semata-mata oleh panca indera dan akal manusia. Ada faktor X yang selama ini tidak bisa dipecahkan oleh keduanya, bahwa tidak ada satupun manusia yang bisa memastikan bahwa tembakan peluru kendali pasti mengenai sasaran, perjalanan pesawat tidak akan jatuh, kapal laut tidak akan tenggelam, seseorang yang berhati-hati di jalan raya pasti selamat dari kecelakaan.
Persoalan-persoalan inilah yang menyebabkan manusia mau tidak mau, suka dan tidak suka, rela dan tidak rela harus mengakui bahwa dirinya lemah dan di luar kuasanya ada sesuatu yang Maha Dahsyat yang menciptakan faktor X. Dialah Tuhan semesta alam ini, yang menamakan dirinya dengan Allah dalam surat Al Ihlas.

Adapun kaitannya dengan perkara-perkara ghaib, panca indera manusia tidak pernah mampu menangkapnya karena makna ghaib adalah tidak bisa dideteksi oleh indera. Meski demikian, ia harus mengakui bahwa tidak semua yang tak tertangkap oleh panca indera berarti tidak ada perwujudannya, sebab hal tersebut masih bisa diyakini keberadaannya dengan bantuan akal. Jadi ghaib menurut panca indera belum tentu ghaib menurut akal. Pun demikian, meskipun akal tidak pernah bisa memikirkan perwujudan faktor X, tetapi ternyata akal tidak pernah bisa juga menolak bahwa ia tidak berwujud, dan pada akhirnya untuk membantu manusia menemukan/meyakini perwujudan sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh panca indera dan akal manusia, maka Allah sang pemilik faktor X itu menurunkan wahyu kepada mereka bahwa ada perkara-perkara wujud yang tidak bisa mereka jangkau dengan akal maupun panca indera. Lalu dari titik inilah keimanan terhadap as syam’iat memperoleh jawabannya

Allah A’lam.

Rabu, 08 Maret 2017

Konsep Kenabian

Konsep Kenabian
TEOLOGI.Agama yang benar mensyaratkan adanya 3 (tiga) unsur, yaitu Tuhan, nabi dan wahyu dimana ketiganya harus  dalam kerangka yang benar. Pembahasan terkait Tuhan bisa dibaca di Konsep Ketuhanan. Unsur ke dua dalam teologi islam adalah persoalan Kenabian/ Kerasulan dimana perwujudan seorang Nabi dan Rasul adalah sebagai penjembatan komunikasi wahyu Tuhan dengan umat manusia. Ia adalah komunikator wahyu, penjelas, penafsir dan terkadang sebagai wahyu itu sendiri, wahyu yang menjelma sebagai seorang manusia.
Terkecuali daripada itu perwujudan utusan Tuhan adalah bentuk kasih sayangNya kepada mereka, dimana ketika naluri manusia menyadarkan mereka tentang adanya Sang Maha Wujud, maka IA kemudian mengutus salah seorang hamba pilihanNya sebagai penuntun dan pengajar untuk mengenali siapa Sang Wujud itu sendiri dan sekaligus sebagai suri tauladan bagaimana mereka berinteraksi (menyembah) dengan Tuhan itu sendiri.

Tanpa kehadiran Rasul, manusia akan digiring oleh hawa nafsunya untuk menciptakan kreasi-kreasi bagaimana mereka menggambarkan/ mevisualkan sosok Sang Maha Kuasa itu, padahal Tuhan memiliki sifat berbeda dengan makhluk, sehingga penggambaran itu hanya akan melahirkan bentuk tajassum atas diri Tuhan. Pun mereka akan memberikan nama-nama yang tidak berdasar atas wahyu. Sementara itu, pada aspek ibadah, mereka juga sangat dimungkinkan untuk melakukan ritual-ritual penyembahan yang justru maknanya bertolak belakang dengan ibadah itu sendiri.

Beberapa penganut agama samawi (Baca: Konsep Agama) yang masih eksis di dunia ini mengklaim bahwa mereka memiliki Nabi dan rasul, tetapi kenyataannya hanya islam yang mempunyai konsep kerasulan yang benar. Klaim ini bisa dinilai dari beberapa aspek, yang pertama adalah adanya sumber yang jelas dari pengangkatan utusan, bahwa kenabian mereka tidak berasal dari penobatan manusia melainkan benar-benar diangkat oleh Tuhan dengan tanda kenabian maupun Mu’jizat dan wahyu yang menyertainya. Aspek kedua adalah keserasian visi dan misi sejak nabi pertama sampai nabi terakhir, mereka memiliki kesamaan dalam dakwah tauhid/ mengesakan Tuhan meskipun bentuk syariatnya terkadang berbeda, sehingga ini paralel dengan doktrin bahwa seorang muslim tidak boleh mengimani Muhammad saja dan mengingkari kenabian ISA maupun Musa serta para utusan lainnya. Ini berbeda dengan kaum Nasrhani yang hanya mengimani Isa tetapi menolak kerasulan Muhammad SAW.

Aspek ketiga dalam konsep kenabian islam adalah meletakkan seorang Nabi secara  tawazun (proposional). Hal ini ditandai bahwa umat islam tidak melepaskan antara posisi seorang rasul sebagai rosul, maupun posisinya sebagai manusia. Bahwa betapapun mulia gelar seorang rosul, tetapi mereka tetaplah seorang manusia dengan sifat-sifat manusia secara umum, seperti mereka bisa saja senang, sedih, tertawa, menangis, sakit, sehat, membutuhkan makan, minum, tempat tinggal, menikah dan bergaul hidup dengan manusia pada umumnya. Namun demikian, ia tetaplah seorang nabi yang tindakan-tindakannya sebagai manusia akan dibimbing Tuhan agar menjadi suri tauladan umatnya. Hal ini berbeda dengan kaum yahudi yang menurunkan derajad kenabian menjadi seperti manusia pada umumnya bahkan mengilangkannya, sehingga tidak heran ditemukan kisah-kisah yang menggambarkan adanya nabi yang berzina, rasul yang berbuat kebohongan dan lain sebagainya. Konsep kenabian dalam Islam juga tidak ghulwu (berlebih-lebihan) terhadap seorang rasul tidak sebagaimana tindakan kaum Nasrhani yang menaikkan derajad kenabian Isa menjadi seorang Nabi sekaligus anak Tuhan.

Nabi adalah orang mulia yang dimuliakan dengan kerasulan, tingkah lakunya dibimbing dan diawasi oleh Tuhan, sehingga mustahil melakukan tindakan yang bertentangan dengan wahyu, baik tersurat maupun tersirat. Namun demikian, betapapun kemuliaan seorang nabi, tidak serta merta menaikkan derajat mereka menjadi seorang Tuhan/ bagian dari Tuhan, sebab Nabi dan Tuhan jelas-jelas sesuatu yang berbeda, jika ada agama yang mensifati Nabi dengan hal-hal yang tidak terpuji, dipastikan agama itu tidak benar, atau sebaliknya terlalu dalam mensakralkannya hingga pada taraf menaikkan levelnya menjadi Tuhan.

Allah A’lam




Selasa, 07 Maret 2017

Antara Realistis dan Materialistis

Antara Realistis dan Materialistis*
Manusia terkadang terlalu kejam untuk menilai pribadi orang lain, tetapi disaat yang sama begitu toleran atas aib yang terdapat pada dirinya. Kesimpulan ini tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi berasal dari perenungan mendalam atas apa yang saya dengar, saya lihat ataupun alami dalam kehidupan masyarakat secara umum dan di lembaga-lembaga berbasis agama secara khusus. Baik sekolah, Madrasah Diniyah (TPA/TPQ), Masjid, maupun pondok pesantren.

Kaitannya dengan agama, banyak orang yang salah kaprah dalam membedakan antara realistis dan metarialistis, padahal senyatanya antara keduanya ada perbedaan yang sangat mendasar. Realistis secara sederhana saya artikan sebagai cara berfikir tentang realita atau apa yang memang terjadi dan bukan yang seharusnya terjadi. Bahwa realita adalah realita, ia harus diletakkan di posisinya sebagaimana ada pembedaan antara das sollen dan das sein. Orang yang berfikir realistis tidak akan berlari meninggalkan realita yang ia hadapi dalam kehidupannya meskipun di saat yang sama jiwanya sedang terbang menuju ruang-ruang ghaib keimanan.

Adapun materialistis adalah cara berfikir yang endingnya selalu tertuju pada materi. Waktu, tenaga, bahkan fikiran adalah sesuatu yang harus dihargai dengan materi. Bagi orang yang berfikir materialistis, maka tidak ada istilah makan siang gratis atau semua tindakan tidak boleh tidak, kecuali harus ada harga materi sebagai imbalannya. Apa yang tidak bisa ditangkap oleh panca indera tidak boleh digunakan sebagai standar harga, seperti ucapan terima kasih, pahala dan bahkan syurga sekalipun. Materi adalah materi dengan keberadaannya, begitulah kurang lebihnya.

Kesalahan berfikir terkait 2 (hal) di atas dan menjadi kelaziman di masyarakat adalah masih banyaknya anggapan bahwa kelangsungan agama ini tidak perlu menjadi tanggungan mereka. Dus..akhirnya banyak Lembaga Dakwah Agama dari sekelas TPA/TPQ sampai Pondok Pesantren terbengkalai. Arti terbengkalai tergambar dari acuh-acuh tak acuhnya mereka dalam menyengkuyung hidup matinya lembaga itu, jangankan memajukan, kalau untuk menjaga agar tidak mati saja tidak didifikirkan, apalagi untuk berfikir tentang kemajuan nonsen. Para wali santri merasa cukup membayar uang rata-rata berkisar Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah) sekelas TPA dan Rp 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah) sekelas pesantren perbulan. bahkan ada juga yang merasa tidak perlu membayar, toh para gurunya harus ihklas dalam mengajar.

Minimnya anggaran pendidikan agama menjadikan banyak guru-guru TPA tidak dibayar sama sekali bahkan untuk sekedar beli bensin. Sirkulasi keuangan lembaga habis untuk membeli ATK dan listrik maupun air. Lingkungan lembaga yang lebih tinggi semisal madarash/ pondok pesantren tidak juga lebih baik dari yang tersebut di atas, dimana para ustadz/ ustadzahnya tidak diperhatikan/ difikirkan secara serius oleh wali santri. Banyak guru-guru saya di berbagai tempat yang gajinya perbulan tidak lebih besar dari separuh dari penjual pentol keliling. Kenapa? Karena tidak ada anggaran yang memadai untuk menggaji. Mayoritas wali santri/ atau bahkan Kyai/Pimpinan lembaga berfikir bahwa gaji sekian itu sudah memadai bagi para guru. Bahkan kalau perlu mereka hanya cukup digaji dengan pahala keihlasan sebagaimana yang sering didengungkan oleh para Kyai dan ketua lembaga.

Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan majelis-majelis ta’lim baik yang dikelola oleh lembaga maupun masjid. Rata-rata para takmir dan jama’ah masih berfikir bahwa kegiatan-kegiatan ta’lim tidak begitu membutuhkan dana, bahkan kalau perlu tidak ada sama sekali. Karena mengaji dan ta’lim adalah urusan agama, maka materi menjadi tabu untuk disinggung. Hak menilai keihlasan dan memberikan reward pahala yang sebenarnya menjadi hak prerogratif Tuhan pun kemudian diambil oleh para takmir dan jama’ah. Mereka merasa berhak untuk menilai keihlasan para pendakwah, dan merasa telah sah untuk menyematkan “pahala” bagi mereka.  

Menyoal terkait gaji adalah sesuatu yang tabu dan dianggap materialistis, bahkan untuk menghindari kata “gaji”, banyak lembaga dakwah yang mengganti namanya dengan sebutan bisyarah dimana arti aslinya adalah kabar gembira. Istilah lain yang sering dipakai adalah ihsan (kebaikan). Sebenarnya, dilihat dari sudut pandang nama saja, saya berfikir bahwa pemberian itu bukan bentuk dari wujud penghargaan terhadap para pendakwah, melainkan bentuk rasa kasihan terhadap mereka. bukankah ini setidaknya memberikan gambaran bahwa kita kebanyakan tidak punya penghargaan serius terhadap kelangsungan agama/ dakwah.

Pertanyaan menarik untuk kemudian dilontarkan adalah kenapa begitu mudah mayoritas masyarakat kita, wali santri secara khusus, para takmir masjid dan bahkan para Kyai/ Ust Pimpinan Pesantren melabelkan kata “enggak ihlas” dan bahkan materialistis kepada mereka yang kadang mempertanyakan gaji?.

Tulisan sederhana ini mengajak kita bersama untuk sadar berfikir bahwa kita secara real adalah manusia yang hidup di dunia dengan segala realitanya. Demikian pula Para Guru TPA/TPQ, Ustadz, Dai  adalah manusia seperti kita pada umumnya. Mereka hidup dalam kenyataan hidup, bahwa kita makan dan minum, merekapun sama, kita punya anak yang butuh pendidikan, mereka juga, bahkan kita adalah bagian masyarakat yang harus berkontribusi baik secara moril dan materil kepada masyarakat, pun begitu mereka terhadap lingkungannya.

Artinya, mereka mempunyai tanggung jawab sebagai pendakwah serta mengorbankan  waktu, tenaga, fikiran dan bahkan materi. Tetapi di saat yang sama, realitanya mereka adalah orang-orang yang kebutuhannya tidak jauh beda dengan kita. Wal hasil, tidak sedikit kita jumpai para guru mengaji yang hidup seadanya, dan tidak banyak yang bisa dibilang cukup dalam standar masyarakat. Jangankan mampu membuat rumah yang menghabiskan biaya besar, untuk memenuhi kebutuhan tanpa hutang itu sudah lumayan kalau terpenuhi. Kalaupun ada yang mampu beli ini dan itu, membangun ini dan itu,itu bukan hasil gaji, melainkan terkadang berasal dari warisan orang tuanya, atau pinter-pinternya si guru mengatur dan membagi waktu, ngubet-ngubetne tenaga dan fikiran.

Mari berfikir realistis, saat masyarakat sudah di ambang materlialistis kemudian mereka melihat para pendakwah hidupnya rata-rata di bawah garis kemiskinan atau jauh dari kata patut untuk disebut cukup, maka jangan salahkan banyak orang tua yang tidak merelakan anaknya untuk terjun di dunia agama. Karena mereka menyaksikan secara realita bagaimana nasib para guru, ustadz, maupun kyai kelas kecil.  Parahnya kenyataan ini sudah menjamur dan mewabah tidak saja orang awam, melainkan para pengurus lembaga/organisasi keagamaan. Coba cek, ada berapa persen perbandingan Pimpinan Muhammdiyah dari ranting sampai pusat yang mau merelakan anak-anaknya untuk terjun bertafaqquh  dalam agama dibandingkan mereka yang menyekolahkan keturunanya di sektor bisnis, politik maupun kedokteran. Kenapa? Alasannya sederhana sebenarnya, karena agama dengan pendidikannya tidak menjanjikan kehidupan.

Polemik tidak akan berhenti sampai di sini, melainkan masyarakat sendiri (kita) pada akhirnya yang akan kekurangan pendakwah mumpuni dalam bidang agama. Sepakat dengan pernyataan Kyai Ahmad Syarwat, pengasuh rumah syariah, bahwa kita sekarang tidak kekurangan penceramah, tapi kekurangan ulama’. Banyak orang sekarang menjadi ceramah tanpa ilmu yang memadai, terlepas apakah ia mempunyai basic agama yang cukup untuk hal itu, baik belajar agama secara formal maupun non formal. Wal hasil ustadz dadakan, artis dan bahkan komedian pun sekarang bisa tampil di mimbar-mimbar agama. Apalagi masyarakat terkadang tidak selektif ditambah peran media dalam mengorbitkan seseorang. Yang penting penampilan meyakinkan, gaya bahasa yang lucu dan menghibur, sudah sah untuk menjadi pendakwah.

Mari kita sadar dan menyadarkan sesama untuk berfikir realistis dan tidak terburu-buru menghukumi materialistis kepada orang lain. Kalau kita masih berfikir bahwa bensin itu bisa dibeli dengan pahala, beras bisa ditukar dengan keihlasan, maka sungguh kita manusia yang bukan saja tidak mempunyai empati yang cukup, melainkan sangat tidak realistis.

Jika kita masih membebani anak didik untuk membayar pendidikannya dengan materi, kemudian setelah mereka lulus kita gunakan tenaga mereka dengan imbalan cukup ucapan terima kasih dan janji pahala, maka kita benar-benar tidak realistis.

Jika kita menginginkan generasi dengan pendidikan agama yang baik dan maju, kemudian tidak ada upaya serius untuk mengusahakannya seperti seriusnya kita berusaha untuk mampu memiliki ini dan itu, maka sungguh benar-benar tidak realistis.

Kalau para kyai, pimpinan lembaga keagamaan, para takmir dan semisalnya yang nota bene bersinggungan langsung dengan aktifitas dakwah, tetapi tidak mampu berfikir realistis dan justru dengan mudah menilai materialistis, maka bagaimana halnya dengan masyarakat awam.
Kita tidak mempunyai hak menilai keihlasan orang lain dan tidak mempunyai pahala untuk diberikan kepada manusia, bahkan kalaupun kita bergelar Sang Kyai pun. Keduanya berada dalam areal Ketuhanan. Manusia sebagai manusia, lakukanlah apa yang bisa dilakukan sebagaimana manusia, sebab jika tidak, saya takut kita  bisa menjadi manusia yang tidak mampu memanusiakan orang lain, gara gara kita bertopeng dengan kata ihlas dan pahala untuk menyuruh orang lain.

Di akhir tulisan ini, tidaklah adil jika saya hanya menyinggung masyarakat, takmir, wali murid, Kyai untuk berfikir realistis tanpa menyeru kepada para pendakwah untuk tidak berfikir materialistis. Memang kita manusia yang hidup dalam alam nyata dengan segala konsekuensinya, namun kaitannya dengan dakwah, sejatinya hubungan para pendakwah bukan dengan manusia melainkan dengan Sang Maha Pencipta itu sendiri. Sehingga sangat tidak patut seorang pendakwah berfikir materialistis sebagaimana sebagaian dai-dai bertarif. Jangan mengukur kesakralan agama, jangan menjual letihmu dalam mencari ilmu, jangan mengukur kerut keningmu dalam menyampaikan ilmu dengan nilai-nilai materi yang dikenal oleh masyarakat.

Allah A’lam.

 *Renungan wong ndeso untuk kelangsungan dakwah”.

Senin, 06 Maret 2017

Symbol dan Mengaji

MENGAJI*

Istilah “Ngaji” jika diotak atik secara bahasa sebenarnya adalah singkatan dari Bahasa Jawa “Ngatur Jiwo” dimana ia mengandung pengertian bahwa mengaji adalah aktifitas yang digunakan untuk menata hati, perasaan dan fikiran dalam kaitannya sebagai manusia. Terkecuali daripada peningkatan intelektualitas/ keilmuan, sesungguhnya mengaji adalah bagian dari pelaksanaan ibadah.

Para ulama amat menghargai subtansi mengaji, sehingga Syaich Imam Zarnuzi mengarang kitab khusus terkait hal ini, yang tertuang dalam ta’lim al muta’alim. Kitab yang serupa dibuat oleh beliau Hadratus Syaich Hasyim Asyari dengan judul Adab al ‘Alim wa al Muta’alim. Selain itu, Ada banyak syair, maupun nash-nash wahyu yang menekankan aktifitas ini baik secara tersurat dan tersirat.

Ibadah dan penataan hati adalah 2 (dua) hal yang setidaknya menjadi titik tolak berfikir bahwa seseorang yang ingin mengaji seyogyanya memperhatikan aturan, etika maupun ketentuan sebagaimana dalam kitab-kitab ta’lim. Selain itu, ada beberapa hal lainnya yang tidak pentingnya untuk diindahkan adalah kerelaan hati untuk membuang symbol/label yang melekat pada diri manusia, karena terkadang bisa menghalangi proses transfer ilmu baik dari segi pemahaman, barakah ataupun kemanfaatannya.
Symbol adalah label yang tidak pernah dibawa oleh manusia saat kelahirannya melainkan baru disematkan untuknya saat ia telah melakukan sebuah usaha. Diantara symbol ataupun label yang melekat pada manusia adalah symbol kedudukan. Posisi, jabatan ataupun kedudukan seseorang di masyarakat terkadang menumbuhkan kesombongan, nah kesombongan adalah penyakit hati yang sangat akut, sehingga bagaimana mungkin ngaji menjadi bermakna manakala berkumpul di dalamnya sebuah penyakit.

Gelar Kyai, Haji, Ustadz, Guru, Buya, Syaich adalah label yang tidak perlu dibawa-bawa dalam area ini, seseorang yang ingin mengaji, mengaji saja. Embel-embel tidak perlu dibawa, sebab terkadang bagaimanapun keagungan sebuah gelar, tanpa penyikapan yang arif lagi-lagi akan menumbuhkan kesombongan. Hal ini telah dicontohkan oleh para ulama’ besar yang pernah ada, Imam Ahmad berguru kepada Imam Syafi’i justru ketika Ibnu Hambal ini telah menjadi ulama besar di kaumnya. Hujjatul Islam Syaich Ghazali rela belajar kepada seorang guru desa yang tidak begitu dikenal justru ketiga gelar-gelar keilmuan telah beliu sandang begitu megahnya. Bahkan para pejuang Badar yang sanagat dihormati para sahabat pun pernah berguru tafsir kepada Ibnu Abbas, pemuda belia yang cerdas di masa itu. Mereka adalah sedikit contoh dari sekian banyak orang-orang besar yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu.

Symbol selanjutnya adalah organisasi, kelompok, suku maupun budaya. Seseorang yang ingin benar-benar mengaji seyogyanya membuang kesemuan label tadi, sebab kebenaran dan keluasan ilmu pengetahuan yang Allah karuniakan kepada para manusia tidak terbatas pada organisasi ataupun kelompok tertentu. Orang yang terlalu fanatik hanya mengaji pada orang/ kelompok tertentu ibarat seorang yang mencari udara segar dalam ruangan tertutup. Di ruangan tersebut ada jendela A, jendela B, C dan seterusnya. Manakala ia mengkhususkan dirinya hanya pada 1 (satu) jendela maka betapa sedikitnya udara segar yang ia peroleh. Pengkultusan pada kelompok dan individu sangat tidak baik dalam pencarian ilmu, sebab kelompok bukanlah agama yang pasti benar, sedangkan individu betapapun gelarnya sebagai ulama, ia bukanlah Nabi dengan kemaksumannya. Seseorang bisa mengaji kepada banyak kelompok dan orang-orang berbeda, karena pada akhirnya ia tetap memiliki kebebasan berfikir untuk menentukkan sikap maupun menyaring dari semua pengajian yang ia ikuti.

Allah A’lam.

Disampaikan di Masjid Karang Mojo, Senin 07 Maret 2017

Minggu, 05 Maret 2017

Tema Ushul FIqh

Tema Ushul FIqh bisa di download DI SINI

Jumat, 03 Maret 2017

Jarak, Cinta dan Kebencian


Cinta dan kebencian memiliki kesamaan, sama-sama melekat dalam bawah sadar seseorang. Masing-masing orang yang membenci dan mencintai akan susah melupakan objek yang dicintai maupun dibencinya. Ia akan teringat dan teringat dibanyak waktu dan kesempatan. Keduanya mirip nyaris mirip, karena yang membedakan hanyalah dimensi cinta dan kebencian itu sendiri.

Cinta dan kebencian juga bisa terbangun dari satu hal yang sama, yaitu jarak. Ruang dan waktu adalah jarak yang menumbuhkan cinta pun juga kebencian. Pepatah menarik dari orang-orang Jawa “Witing tresno jalaran songko kulino” memiliki makna bahwa rasa cinta bisa tumbuh karena kebiasaan. Kebiasaan saling bertemu, kebiasaan saling menyapa, kebiasaan saling bersama. Kebiasan-kebiasaan itulah yang menghilangkan jarak tidak suka, jarak kebencian dan menghapusnya menjadi rasa cinta. Pepatah ini telah turun temurun dan menjadikan kearifan dalam berumah tangga masyarakat Jawa selama bertahun tahun yang lalu. Mereka yang lahir di tahun 50an ke bawah adalah diantara contoh nyata persoalan ini, betapa banyak anak laki-laki dan perempuan yang dinikahkan tanpa saling mengenal terlebih dahulu, tetapi toh mereka bisa mengarungi bahtera rumah tangga hingga ber anak cucu. Kenyataan ini berbanding jauh dengan era sekarang, dimana banyak rumah tangga yang hancur justru berasal dari mereka yang sudah mengenal dan bahkan saling mencintai sebelum menikah.

Meski jarak telah menjadi contoh betapa cinta bisa tumbuh karenanya, tetapi ia juga bisa menjadi contoh dimana kebencian timbul. Manusia bukanlah hewan, dimana naluri hewan akan saling bermusuhan saat bertemu, tetapi seiring dengan waktu mereka bisa rukun dalam satu sangkar yang sama. Justru terkadang manusia bisa saling menghormati dan bertoleransi di awal pertemuan dan bermusuhan dikemudian hari. Betapa banyak pasangan yang bertengkar justru ketika mereka telah merasakan suka duka kebersamaan yang lama. Jadi jarak bukanlah penentu cinta semata-mata, begitupun halnya dengan kebencian. Ketiga-tiganya saling berkelindan, sehingga orang-orang yang saling mencintai terkadang justru harus memunculkan jarak diantara mereka agar rasa cinta selalu ada. Ketika jarak membatasi kebersamaan, disitulah akan muncul kerinduan. Rindu untuk mengulangi masa-masa keindahan yang pernah ada.

Terkecuali daripada itu, Kebersamaan (tanpa jarak) terkadang malah tidak menambah rasa cinta melainkan bosan dan pada akhirnya munculah benih-benih kebencian. Maha Suci Tuhan (Allah) yang menciptakan jarak bagi sebagian orang yang saling mencintai, karena ternyata tidak semua cinta bisa berakhir dalam pertemuan raga. Raga mereka berpisah tetapi hati mereka menyatu, menyatu dalam jarak yang memisahkan. Jarak yang menjauhkan mereka justru mendekatkan jiwa-jiwa meraka. Mereka saling merindukan, saling cinta meskipun pembuktiannya hanya mampu menyebutkan nama dalam lafal-lafal doa yang panjang. Tetapi itulah cinta...bukankah cinta lebih indah meski terpisah, daripada kebencian dalam balutan kebersamaan.

Allah A’lam.

Rabu, 01 Maret 2017

Sah dan Maqbul


Islam sebagai satu-satunya agama yang mengatur keseluruhan hidup umatnya, dari sebelum tidur sampai menjelang tidur kembali, dari makan sampai mencari makanan dan saat membuang makanan sebagai kotoran. Aturan-aturan tersebut termanifestasi dalam hukum 5 (lima) yang dikenal sebagai wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Kaitannya dengan hal tersebut, pelaksanaan hukum islam tidak terlepas dari beberapa istilah, yaitu syarat, rukun, sah, dan batal.
Syarat adalah suatu hal  yang harus dipenuhi dengan sempurna/cukup sebelum terjadinya perbuatan hukum/ ibadah. Jika syarat tidak terpenuhi berarti perbuatan tersebut bisa tidak boleh dilakukan ataupun tidak perlu dilakukan, contohnya adalah masuknya bulan ramadhan menjadi syarat wajibnya membayar zakat fitrah. Seandainya bulan tersebut belum datang, maka pelaksanaan zakat fitrah tidak boleh dilakukan meskipun si pelaku sudah mempunyai harta yang siap dizakatkan. Contoh lainnya adalah syarat baligh (cukup usia) bagi orang yang berpuasa wajib, sehingga jika ada anak kecil yang belum baligh, maka ia tidak diharuskan berpuasa, sehingga ia tidak dihukumi dosa manakala tidak berpuasa karena memang syaratnya belum mencukupi.
Istilah yang kedua adalah rukun yang artinya adalah sesuatu yang harus dikerjakan dan merupakan bagian pokok dari pelaksanaan ibadah, ia tidak boleh tertinggal, seperti membaca surah Al-Fatihah merupakan rukun dalam shalat, manakala ada orang yang shalat kemudian ia meninggalkan proses ini maka shalatnya dianggap tidak sah/ batal.
Adapun istilah yang ketiga adalah sah. Isitilah ini disematkan kepada pelaksanaan ibadah yang telah memenuhi syarat dan rukunnya, dan dikerjakan secara benar. Contoh: ibadah shalat dinamakan sah bila dikerjakan lengkap rukun maupun syaratnya sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh syara'.
lawan dari istilah ini adalah Batal yang mempunyai arti dari pelaksanaan ibadah yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya,/dikerjakan secara tidak benar. Contoh: tidak menutup aurat dan tidak membaca Al-Fatihah dalam pelaksanaan shalat.
Beberapa istilah yang  tersebut di atas adalah istilah yang sering dipakai dalam ilmu-ilmu terkait pelaksanaan ibadah/ syariat. Namun demikian ada satu istilah lain yang tidak kalah pentingnya dan jarang diungkap dalam buku-buku hukum islam (fiqh) yaitu istilah maqbul (diterima). Hal ini menurut hemat penulis perlu disampaikan karena ternyata keabsahan sebuah ibadah tidak menjadi jaminan bahwa ibadah tersebut diterima di sisi Allah SWT (maqbul).
Penerimaan Allah atas ibadah/ pelaksanaan syariat seorang hamba tidak serta merta diukur dari nilai-nilai yang di ijtihad kan oleh pakar hukum fiqh terkait sah maupun batal. Hal ini lebih merujuk dari aspek niat dan bagaimana proses seorang hamba dalam usahanya untuk melaksanakan sebuah ibadah. Seseorang yang beribadah tanpa semata-mata ditujukan kepada Allah, maka ia sebenarnya sedang menduakan Tuhan dalam amalnya, dalam hal ini biasa disebut sebagai kesyirikan kecil. Sebagaimana firmanNya dalam
Contoh lain adalah sebagaimana halnya orang yang ber haji dari hasil korupsi maupun harta menipu. Meskipun ia sudah mendapatkan syarat “mampu” dan kemudian melakukan ibadah haji sesuai dengan ketentuan-ketentuannya (rukun), tetapi sesungguhnya Allah menolak ibadah yang di usahakan dari harta haram. Hal ini sebagaimana dalam firmanNya terkait Qurban dan Shadaqah:
Ù„َÙ†ْ ÙŠَÙ†َالَ اللَّÙ‡َ Ù„ُØ­ُومُÙ‡َا Ùˆَلا دِÙ…َاؤُÙ‡َا ÙˆَÙ„َÙƒِÙ†ْ ÙŠَÙ†َالُÙ‡ُ التَّÙ‚ْÙˆَÙ‰ Ù…ِÙ†ْÙƒُÙ…ْ ÙƒَØ°َÙ„ِÙƒَ سَØ®َّرَÙ‡َا Ù„َÙƒُÙ…ْ Ù„ِتُÙƒَبِّرُوا اللَّÙ‡َ عَÙ„َÙ‰ Ù…َا Ù‡َدَاكُÙ…ْ ÙˆَبَØ´ِّرِ الْÙ…ُØ­ْسِÙ†ِينَ
“ Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. “ ( Al Hajj : 37 )
لاَ تُÙ‚ْبَÙ„ُ صَلاَØ©ٌ بِغَÙŠْرِ Ø·ُÙ‡ُورٍ Ùˆَلاَ صَدَÙ‚َØ©ٌ Ù…ِÙ†ْ غُÙ„ُولٍ
Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224). Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian.
Terkecuali daripada itu, orang yang bersedekah dengan harta haram ibarat mencuci baju dengan air yang kotor, sehingga tidaklah baju tersebut menjadi bersih melainkan bertambah kotor. Allah A’lam.