Translate

KI TOPO JOYO BINANGUN

HIDUPLAH DALAM GERAKAN KEBENARAN AGAR ENGKAU DIMASUKKAN DALAM GOLONGAN ORANG-ORANG YANG BENAR, MESKI SAAT INI KAMU BUKANLAH ORANG YANG BENAR.

Pantai Alexanderia Egypt

Demi masa, Manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

Masa Laloe

Anda tidak mungkin lagi merubah masa lalu, yang mungkin anda lakukan adalah meratapinya atau mensyukurinya untuk pijakan menatap masa depan.

Benteng Sholahuddin Al Ayyubi Alexanderia

Bersama KH. Fathullah Amin LC.

Al Azhar Conference Center (ACC)

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 27 Desember 2017

Catatan Pendidik di Akhir Tahun


Bismillah
Ini adalah catatan-catatan sederhana, menutup kisah-kisah yang telah berlalu bersama waktu dan langkah-langkah yang telah terhapus masa. Penyesalan dari segala khilaf kepada semua anak-anak dan adik-adik yang pernah saya ajar. Diantara mereka ada yang sekedar kenal, akrab, dan bahkan dekat. Meminjam bahasa mengesankan dari sahabat yang mengesankan, “sedekat pintu dengan engselnya” katanya.

Sekira 3 (tiga) tahun ke belakang adalah masa dimana ada banyak yang saya sesali, terutama tentang cara mendidik anak-anak di beberapa sekolah yang pernah saya ajar. Surabaya, Sidoarjo dan terakhir Malang. Tahun-tahun itu adalah masa dimana saya “belajar” mengajar. Membotak, menendang, memukul, marah-marah, dan bentuk semisalnya yang pernah terjadi, ternyata terlalu koboy untuk dipraktekkan zaman now. Tidak serta merta salah memang, tetapi juga tidak benar sepenuhnya.

Kekhilafan-kekhilafan tersebut sebenarnya adalah lebih banyak dari faktor “ijtihad mengajar”, dimana salah satu orientasi pendidikan yang saya fahami adalah menyiapkan manusia-manusia yang bermental tangguh, jujur dan sebagainya. Dalam penghayatan saya, ketangguhan tidak bisa dibangun dari pendidikan yang “klelar-kleler”, sehingga tidak jarang sebagian mereka “terpaksa” tidak hanya dijatuh bangunkan dengan kata-kata, bahkan ada yang harus dipukul dan ditendang.

Mayoritas mereka yang terdidik di pesantren kurun waktu tahun 2000 ke belakang, hal tersebut biasa. Guru tidak masalah memukul anak yang memang harus dipukul, dan anakpun tidak merasa masalah dirinya dipukul, selesai maka selesai masalah. Murid tidak merasa dibenci gurunya saat dirinya dimarahi bahkan dengan kata-kata “goblok” sekalipun. Selesai, maka selesai juga masalah. Mereka “guru dan murid” rata-rata saling menyadari bahwa pendidikan bukan soal cerita-cerita indah, hadiah-hadiah menarik serta  lagu-lagu yang menyenangkan. Tidak, tidak terbatas tentang itu, karena itu adalah masa-masa anak-anak play group berada.

Apapun itu, saya tetap yakin bahwa ada masa yang tepat untuk cara yang tepat dari orang yang tepat maupun untuk orang yang tepat. Kepada segenap anak-anak yang hatinya pernah terluka, kepada adik-adik yang perasaannya pernah tersayat serta orang-orang dekat atas cara yang tidak tepat, waktu dan tempat yang tidak tepat serta orang yang tidak tepat saya  tidak bosan untuk meminta maaf dan berharap kalian menjadi orang-orang terbaik dimanapun dan kapanpu. Aamiin.

Jumat, 10 November 2017

Tuan Guru



“Tuan Guru, kapan waktunya hamba boleh membuka”. Kata seorang cantrik kepada gurunya pada pertemuan yang ke 40 kalinya sore itu.

“Kalau kamu sudah mampu menutupnya kembali anakku”.

“Kenapa, bukankah aku manusia, aku membuka hanya ingin melihat dunia, mengenal cinta dan memiliki sesuatu layaknya manusia lainnya Tuan Guru..”.

“Anakku, meski membuka bukan persoalan mudah, tetapi menutuppun tidak lebih mudah daripada membuka. Kamu harus belajar banyak nak…Ada yang banyak membuka matanya atas keelokan dunia, lalu ia silau dan tidak ingin menutupnya kembali, bahkan sampai akhirnya, usialah yang menutupnya kembali dengan paksa. Ada pula yang membuka hatinya untuk mengenal cinta, dan ia terpesona olehnya sampai-sampai cinta itu menutupi hatinya. Ada juga yang membuka keinginannya untuk menjadi ini dan itu, memiliki ini dan itu, lalu ia tidak mampu menutupnya kembali, sampai keinginan-keinginan itulah yang akhirnya membunuhnya sendiri “.

“Apakah kamu sudah mengerti Nak, sebagian pengetahuanmu terkadang membelenggumu, sebagian pengertianmu justru menyiksamu, dan diantara milikkmulah yang merenggutmu. Berhati-hatilah untuk tahu dan mengerti, untuk memiliki dan mendapatkan, sebab jika kearifanmu tidak mampu mengendarainya, itu semua adalah awal dari penyesalanmu. Menyesal karena telah mengerti, menyesal karena telah mengetahui, menyesal karena telah mendapatkan, dan menyesal karean telah memiliki”.

Tamat.

Kamis, 02 November 2017

RUWET

Petruk tertatih tatih menyusuri jalanan Karang Kadempel via Amarta, di bawah terik matahari yang menyengat bercampur peluh keringat meluluh di pipi, leher dan punggungnya. Kepanasan, kehausan dan kelelahannya sebenarnya bukan persoalan utama kegeramannya, melainkan tentang betapa "ruwet"nya urusan di negerinya tersebut.

Ia heran, kenapa sudah sekitar 72 Tahun kemerdekaan negerinya, masih saja banyak pegawai yang bermental "londho", yang berprinsip "kalau bisa dibikin susah kenapa harus dibikin mudah". Edan!!!... benar benar edan, katanya dalam hati. Kegeramannya bermula saat ia mengurus administrasi keluarganya, Anjasmoro yang hendak menikah. Pasalnya, Panatagama yang membidangi hal ehwal pernikahan kurang "meridhai" proses nikah yang hendak dilakukan di balairung negara, justru menekankan untuk dilakukan dirumah mempelai. 

Petruk berfikir, jika paduka raja sudah memberikan pilihan kepada segenap rakyat untuk menikah di Balairung maupun di rumah, maka dimanapun tempat yang dipilih seharusnya sang panatagama bertindak arif, karena itu titah negara. Usut punya usut ternyata Petruk tahu, kalau proses di Balairung, maka rakyat tidak boleh dipungut tarif, berbeda dengan jika di rumah yang harus ada upetinya. Duh Gusti Ingkang 'Akaryo Jagad, apakah gara-gara "buntelan amplop" itu yang menjadikan perlakuan Panatagama berbeda kepada rakyatnya yang mau menikah. 

Akhirnya, tidak adanya kesamaan penulisan antar dokumen yang dimiliki Anjasmoro menjadi "dosa" yang harus dihisab dengan begitu teliti oleh Abdi Negara tersebut. Padahal, hal itu tidak menjadi persoalan besar kecuali memang ingin dipersoalkan. Dus Petruk pun kesana kemari untuk memenuhi syarat-syarat dengan datang ke instansi lainnya yang "diduga" memiliki hubungan terkait. Ia datang ke tempat yang dituju, dan bla-bla-bla, ternyata Juru Tugas yang dia datangi tidak berbeda jauh dengan tempat yang pertama. Malah bersabda ba-bi-bu tanpa dasar hukum negara untuk menyelesaikan hal yang di"masalahkan" oleh sang panatagama.

Para Jama'ah bisa menebak, masalah tidak terurai, melainkan justru bertambah, dari A, ke B, dan ke C, dari tempat satu ke tempat dua, ke tempat satu lagi, ke dua lagi, terus ke tempat tiga, dan...belum terselesaikan. "Edan..Edan!!", Guman Petruk. Kenapa para Abdi negara tidak belajar hukum, padahal persoalan-persoalan bisa merujuk ke sana agar rakyat tidak pontang panting tanpa kejelasan akibat para abdi yang berfatwa tanpa dasar hukum.

Tiba di rumah, Gareng, saudara Petruk pun ikut urun rembug, katanya "Kenapa kamu tidak berdebat dan begini begitu Truk, kamu kan pernah belajar tentang itu di Padepokan Alang-Alang Kumitir, Goblok Kamu Truk". 
"Lambemu Reng, mereka itu penguasa, kalau sudah berkuasa enggak perduli fatwanya ngawur ataupun salah, maunya dituruti, Edan tenan poko'e Reng", Jawab Petruk berapi-api.
"lha terus kon arep ngopo truk sak iki?".
"Aku arep mbakar menyan, tak sedakno Reng, tak laknat Reng, tak kutuk Reng...".
"Ha..dilaknat pie Truk".  
"Wong-wong sing tugase nulung wong cilik, sing tugase ngayomi kaum cilik, neng malah angel-angelne, lek ra ndang tobat bakal tak sedakno mugo-mugo matine angel, uripe soro".
"Istigfar Truk, Istigfar!!!!.. lha yo po mustajab dongamu, wong modelmu koyo ngono".
"Lamuno dongaku ra kabul, tapi sing ngamini wong jutaan kok Reng, poro kawulo alit sing koyo aku mesti akeh sing ngamini".
"Truk.. eling, eling Truk, elingo dawuhe bapak, bahwa manungso iku kudu berjiwa besar, dan kebesaran jiwa itu tumbuh dari jiwa-jiwa yang bisa memaafkan".

..bersambung.

Selasa, 17 Oktober 2017

Seni Mengalah


Jika kehidupan ini dipenuhi dengan persaingan, kompetisi atau bahkan pertikaian, maka salah satu ajaran Jawa “nguluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake” relevan untuk direnungkan. Terjemahan bebas dari pernyataan di atas adalah “mendatangi musuh tanpa membawa gerombolan massa, dan mengalahkan tanpa menghinakannya". Ajaran ini begitu mengesankan, karena menunjukkan keluhuran sifat seorang kesatria, dimana salah satu sifatnya adalah keberanian meskipun dalam kesendirian. Hal ini berbeda sama sekali dengan seorang pecundang yang keberaniannya adalah kumpulan keberanian-keberanian kecil dari orang-orang yang menyertainya. Pecundang manakala bersama golongannya menjadi singa, selalu berani, buas dan garang, tetapi saat berjalan sendirian, terlihatlah sifat aslinya sebagai seekor kambing pengecut.

 
Sifat ksatria lainnya adalah memenangkan pertikaian tanpa menghinakan lawan, sebab baginya berperang tidak sekedar menang, melainkan tetap menjaga harga diri musuh sehingga keluhuran budinya tetap terjaga.
 
Betapapun demikian, apakah kompetisi dan persiangan harus berakhir dengan konflik dan peperangan? Padahal perang adalah negoisasi antar kepentingan dan ambisi yang gagal. Apakah menjadi seorang ksatria harus identik dengan peperangan? Tidakkah ajaran Jawa tersebut di atas dimaknai dengan yang lain?
 
Jika direnungi secara mendalam, sejatinya ajaran tersebut mempunyai makna yang dalam, bahwa menjadi kesatria untuk memenangkan pertikaian tanpa gerombolannya, memenangkan tanpa menghinakannya adalah bukan dengan peperangan melainkan seni mengalah dalam bingkai musyawarah. Ia benar, musyawarah sejatinya adalah peperangan, peperangan ide, gagasan, ambisi dan bahkan kepentingan sekalipun. Hasil musyawarah adalah kemenangan sekaligus mungkin kekalahan tanpa menghinakan siapapun.
 
Rasulullah pernah melakukannya saat bernegosiasi dengan para pembesar perang kafir Qurays dalam perjanjian Hudaibiah. Umar dengan segera marah melihat Nabi terkesan mengalah pada kemauan lawan, padahal seni mengalah Rasul saat itu tercatat dalam sejarah sebagai bagian dari sebab kemenangan dakwah islam.

Terkecuali daripada itu, seni mengalah tetap relevan dengan kehidupan sehari-hari, mengalah terhadap sahabat, teman kerja, maupun keluarga, karena sejatinya mengalah adalah penyerangan yang sangat telat terhadap perasaan musuh, kecuali musuhmu tidak mempunyai perasaan.
Allah A’lam.

Jumat, 13 Oktober 2017

Ukhuwah Jahiliah

Kebaikan dan kejahatan tidak akan pernah berdialog dalam satu ruang, bahkan kejahatan satu dengan kejahatan yang lainnyapun seperti api, manakala tidak ada kebaikan yang dimusuhinya, ia (sesama kejahatan) akan saling melumat seperti api yang melumat api itu sendiri.

Barangkali ini adalah kata-kata pembuka untuk sahabat akrab saya yang begitu fanatik dengan organisasinya (silat), ia bersedih dengan salah satu temannya yang mati dibunuh oleh kelompok tertentu, tanpa mau mengetahui kenapa temannya terbunuh. Beberapa waktu kemudian ia gembira karena kelompoknya berhasil menghantam anggota tersebut di tempat lain hingga menimbulkan para korban, padahal para korban tersebut bukanlah pelaku pembunuhan, hanya karena kebetulan berasal dari kelompok musuh. Singkat cerita, ia begitu mentolelir kesalahan kelompoknya, namun disaat yang sama begitu kejam menghakimi kelompok lain yang berseberangan dengannya.

Saya mendiamkan ceritanya tanpa berkata sepatah kata apapun, ada rasa sedih dan kecewa yang mendalam melihat bagaimana kawan ini. Sedih dan kecewa karena ia adalah sahabat karib, tetapi berbeda jalan. Sebab jika ia tidak segera merubah gaya berfikirnya, cepat atau lambat akan menjerumuskannya kepada Ukhuwah Jahiliah. Tidak penting benar dan salah, karena yang terpenting dalam ukhuwah ini adalah kebenaran selalu berada dalam kelompoknya. Tidak penting jahat dan baik itu apa, karena yang penting semua yang berseberangan dengan dirinya adalah jahat.

Saya ingin mengatakan kepadanya, tetapi saya pesimis mampukah perkataan saya menembus kebekuan fanatiknya, saya ingin menyitir sebagian firmanNYA "dan janganlah kebencianmu kepada suatu kaum menyebabkan engkau tidak adil kepada mereka".
Bahwa engkau boleh membenci dan menyukai, tapi kebencianmu dan kecintaanmu haruslah karena kebenaran, bukan fanatisme belaka. Kamu harus membenci kejahatan, siapapun pelakunya, saudaramu, kelompokmu bahkan jika dirimu sendiri, dan pada akhirnya kebencianpun kamu harus membencinya.

Kamu harus melawan segala bentuk kejahatan atau mengingkarinya, meskipun itu dilakukan oleh saudaramu, kerabatmu, kelompokmu, bahkan dirimu sendiri. Ia benar kamu melawan dirimu sendiri. Kejahatanmu adalah nafsu aluwamah dan amarah, yang jika tidak kamu lawan, kamu akan diperbudak olehnya selamanya..
Allah A'lam

The Miracle Of Kluntang-Kluntung


Jika ada pepatah "semua akan error pada waktunya" maka entahlah, kemungkinan ini adalah ke-error-an yang paling error dari semua tulisan-tulisan saya yang sebagian besar terasa kurang nggenah. Pasalnya, sudah lama ingin menulis tetapi kenyataannya diksi-diksi yang ditemukan oleh hati dan dituliskan oleh tangan tidaklah begitu renyah untuk dinikmati,"'ala kulli hal "lupakan",begitu kata-kata singkat yang pernah sering saya dengar dahulu, mengesankan dari orang yang sangat mengesankan.

Kluntang-kluntung adalah bagian dari pekerjaan yang tidak ada “bayarannya” sama sekali, makanya “Job” ini jarang diambil oleh mereka yang begitu menghargai waktu. Apalagi jika dipandang dari sudut seni, maka sesungguhnya kluntang-kluntung adalah bentuk aktifitas yang tidak ada nilai estetikanya sama sekali. Bagaimana tidak, seseorang cukup bepergian ngalor-ngidul, ngulon-ngetan tanpa tujuan yang pasti. Benar, ia benar-benar berangkat dan berhenti dari dan untuk ketidak pastian.

Namun demikian, sebenarnya persoalannya menjadi lain manakala diiringi dengan perenungan yang sangat mendalam, tentang hidup, tentang mati, tentang alam semesta dan semuannya. Ada banyak hal mungkin yang dapat didapatkan dari langkah-langkah gontai dan tatapan mata sayu nan lemah, bahwa sesungguhnya semua yang diciptakan tidaklah ada yang sia-sia belaka.

Kita hidup ini sedang mengejar atau dikejar, menunggu atau ditunggu. Kehidupan ini apakah hanya persoalan mengejar karir, mengejar harta, popularitas dan kesenangan semata-mata, atau sebenarnya kitalah yang sedang dikejar, dikejar oleh kematian. Jika demikian betapa keinginan kita berkejar-kejaran bersama ajal.

Kehidupan ini apakah sekedar permasalah menunggu, menunggu remaja, menunggu dewasa, menunggu tua, menunggu kaya, menunggu teman, jodoh, nasib, menunggu dan menunggu hari esok dengan cerita-cerita yang termimpi. Atau justru kitalah yang ditunggu, oleh siapa, dimana dan kapan?. Jikapun siapa itu belum jelas, maka sesungguhnya diantara ketidak jelasan itu ada yang pasti, yaitu kematian. Ia benar, langkah-langkah kaki manusia, setapak demi setapak, ditunggu olehnya. Hembusan-demi hembusan nafas manusia adalah rangkaian perjalanan yang dinantikan olehnya.
Lalu pernyaaannya adalah sudah siapkah kita?

Ah entahlah…, apa yang kita miliki untuk kesiapan itu. Tetapi apakah yang mengejar kita benar-benar mau menunggu kesiapan kita.


Lalu bagaimana halnya dengan firmanNya “Berjalanlah di atas permukaan bumi, dan lihatlah bagimana kesudahan orang-orang yang mendustakan”. 16: 36, 3:137, 6:11.

Jumat, 29 September 2017

Pe Ka I

Oleh Umarwan Sutopo*

Salah satu  sejarah yang mungkin “enggak jelas” bagi generasi umur 30 tahun ke bawah adalah persoalan PKI. Apalagi mereka yang keluarga maupun lingkungannya tidak pernah secara langsung terlibat, baik menjadi korban ataupun pelaku kelam sejarah konflik 65. Maka tidak heran, banyak anak-anak muda sekarang bukan saja tidak tahu menahu bahwa PKI itu nyata atau sekedar legenda, bahkan mereka masih menerka-nerka bahwa PKI termasuk jenis mahluk apa?

Sehingga ketika term ini menghangat kembali, munculnya para pengamat politik dengan segala bidangnya untuk secara serius memikiran maupun sekedar membincang menjadi hal yang sangat niscaya. Uniknya di Indonesia selalu ada  pengamat-pengamat sejati yang kompetensinya tidak diragukan, maupun  sekedar pengamat seger waras, dan tulisan singkat ini adalah salah satunya. Spekulasi-spekulasi yang muncul dari para pengamat terkait hiruk-pikuk  PKI ini benar-benar membisingkan. Namun jika dirangkum dalam sebuah kesimpulan sementara, maka suara-suara itu setidaknya terbagi beberapa kelompok:

1.Wujud PKI sekedar persoalan maaf “kentut politik”, atau bagian dari politisasi golongan maupun oknum tertentu untuk meraih kuasa atau menutupi kebobrokan sebuah rezim (militer/ orde baru). Memang benar ia pernah ada, tetapi keberdaannya sekarang adalah ilusi belaka. Sekarang PKI tidak ada, baik secara ideologis, organisasi maupun massanya.

Anggapan ini pada akhirnya akan menghakimi para penolak faham komunis, terutama umat islam sebagai antek-antek orde baru maupun kaum oposisi pemerintah sekarang. Padahal jika mau berfikir jernih, kesimpulan semacam itu terlalu prematur. Jika dikatakan umat islam adalah antek-antek orde baru, justru umatlah yang dihajar orba dengan asa tunggalnya “pancasila”, pun peristiwa Tanjung Priuk menjadi saksi sejarah dimana posisi umat dan rezim saat itu. Jadi penolakan terhadap palu arit tidak serta merta bagian dari dukungan orba brow. Ini adalah persoalan benturan ideologis yang kaum komunis ternyata tidak mampu mendialogkan dengan kaum agama.

Golongan ini juga berfikir bahwa meskipun PKI pernah berwujud, tetapi wujudnya adalah dongeng ataupun rekasaya Orba belaka, yaitu cara keji Suharto untuk meraih kursi RI 1 saat itu bekerja sama dengan agen asing. Cara berfikir seperti ini sah-sah saja, tetapi untuk disimpulkan sebagai kebenaran terlalu naif, bahwa seandainya Pak Harto berada di balik G 30 S PKI, itu adalah kemungkinan. Artinya kemungkinan benar dan kemungkinan tidak. Tetapi bahwa PKI itu ada lalu melakukan kudeta itu adalah nyata, bukan lagi kemungkinan. Artinya, kenyataan keberadaan PKI dan aksi coupnya tidak bisa dianulir dengan sekedar asumsi/ kemungkinan bahwa Suharto adalah dalangnya. Jikapun ternyata kedua-duanya benar, yaitu PKI muncul dan kemunculannya dimanfaatkan oleh Pak Harto untuk meraih simpati rakyat, maka persoalannya adalah lain. Maksudnya adalah bahwa Pak Harto dengan segala tindakannya adalah sebuah hal yang berkonsekuensi hukum, begitu juga PKI dengan segalanya tindakannya adalah sebuah hal yang mempunyai implikasi.
Bersambung…








* Pengamat Politik  Seger waras alumni Hukum Tata Negara UINSA Surabaya.

Rabu, 27 September 2017

RENUNGAN

Sementara manusia berdebat tentang ilmu dan amal, tetapi terkadang melupakan bahwa ilmu bukanlah segalanya, meski segalanya persis membutuhkan ilmu. Ilmu memerangi kebodohan dan mengusir ketidak tahuan. Tetapi ia juga bisa menjadi sumber kekuatan yang terkadang kekuatan itu adalah awal dari bencana.

Kita sepakat bahwa manusia harus berilmu dan beramal. Namun ilmu dan amal tidaklah elok manakala tidak diselipkan diantara keduanya kejernihan hati. Kejernihan yang membuat kebijaksanaan atas pelaksanaan pengetahuan.

Kearifan muncul dari mereka yang dipenuhi dengan kejernihan hati, meskipun kekurangan dan kelaparan mendera, tetapi bagi mereka yang hatinya dipenuhi dengan noda-noda kebencian dan keserakahan, maka kekurangan dan kelaparan adalah sumber penyulut tindak kejahatan dan kerusuhan.

Kedamaian akan hadir di tengah kuasa yang dipegang oleh orang-orang yang berhati bersih, tapi tidak bagi mereka yang berhati jahat, justru ia adalah alat penindasan dan kezaliman yang sangat sempurna.


Allah A'lam.

Rabu, 13 September 2017

Catatan Koma

...al wadhifatu aksaru minal auqat..

Senin, 04 September 2017

Meneladani Muhammad Muda & Ibrahim*

                                                            Meneladani Muhammad Muda & Ibrahim
Sesi Pertama  : Anak-anak IPM

Beroganisasi di IPM bukan madal hayah (Seumur hidup) betapapun adek-adek cinta padanya, karena ada jenjang selanjutnya, semisal IMM, AMM dan lain sebagainya. Sebelum tahapan tersebut anak-anak IPM harus membekali pengetahuan, terutama terkait agama dimana lebih fokusnya lagi adalah figur Nabi Muhammad SAW. Sebab kalau sudah masuk tingkat mahasiswa, adik-adik ini akan bersinggungan dengan tokoh-tokoh revolusi, pemikiran maupun pergerakan Nasional maupun Internasional, semisal Fidel Castro, Karl Mark, Soekarno, Natsir, Mamatma Gandi, Nelson Mandela dan lain-lain.
Pribadi  Nabi Muhammad, kehidupan dan hal-hal yang berkaitan dengan beliau wajib menjadi konsumsi bacaan dan renungan adik-adik IPM.

Adik-adik IPM harus lebih tahu dengan Muhammad, daripada selainnya, baik tokoh agama, pergerakan, bahkan artis sekalipun. Muhammad adalah sosok pertama kali yang harus dirujuk. Cara berjalannya, makan, minum, berpakaian termasuk berfikirnya, kebiasaan dan lain-lainnya.Kaitannya dengan organisai IPM yang diisi oleh mayoritas anak-anak remaja dan muda, maka, masa remaja dan muda Nabi Muhammad menarik untuk direnungkan. Dari sekian persoalan kehidupan Muhammad remaja/ muda setidaknya ada beberapa catatan yang harus diperhatikan yaitu:

1.    Prihatin
Ditandai dengan wafatnya Abdulah (bapaknya) ketika dirinya dalam Kandungan. Kondisi yatim ini kemudian disusul dengan dipisahnya dirinya dengan keluarganya untuk berada dalam asuhan Halimah as Sa’diah. Berselang daripada itu, saat bersua dengan Ibunya, justru tidak berapa lama dalam usia yang masih belia 6 Tahun, Allah mengambil Ibundanya dalam perjalanan pulang setelah dari ziarah makam ayahnya. Kemudian Muhammad remaja diasuh kakeknya Abdul Muthalib. Dalam usia yang relatif singkat, kasih sayang kakeknya terputus karena wafat. Saat itu umur Muhammad Muda sekitar 10 Tahun. Baru kemudian pengasuhan beralih ke paman beliau hingga masa dewasa, yaitu Abu Thalib.

Hal ini menjadi pembelajaran bagi adik-adik, jika ada yang kondisinya memprihatinkan, sesungguhnya masa remaja Nabi Muhammad juga demikian. Namun demikian, keprihatinan beliau tidak membuatnya patah semangat, menjadi manusia lemah ataupun tidak berguna, justru itu semua adalah permulaan dari keharuman dan kebesaran sosok Muhammad.

2.    Aktif
Muhammad  muda dengan segala keterbatasan dan kelebihan yang ia miliki tidaklah menjadi anak yang pendiam, apatis, acuh tak acuh dengan situasi dan kondisi yang melanda kaum dan bangsanya. Justru beliau aktif dalam pendirian Hilful Fudul, Organisasi semacam paguyuban, paseduluran, maupun kerukunan  pemuda yang salah satu tugasnya adalah menjaga keamanan di Masjidil Haram. Salah satu yang melatari berdirinya organisasi ini adalah ketika salah satu pedagang asal Yaman di rampas dagangannya oleh Al Ash Ibn Al Wail, sementara itu ia tidak mempunyai sanak kerabat yang menolongnya, akhirna hilful fudul yang  menolong dan menyelesaikan persoalannya.

Adik-adik IPM harus aktif, bahwa dengan segala keterbatasan dan kelebihan yang dimiliki, ia harus aktif baik sebagai anggota IPM maupun anggota organisasi lainnya. Keaktifan dalam organisasi tersebut harus membawa manfaat sebagaimana Muhammad Muda dalam Hilful Fudul. Jangan sampai membentuk/ ikut organisasi apapaun itu bentuk , nama dan jenisnya yang justru meresahkan masyarakat, mengganggu masyarakat, karena itu bertentangan dengan kepribadian Muhammad Muda.

3.    Kreatif
Muhammad Muda dengan segala keterbatasan dan kelebihan yang dimiliki ternyata tidak membuatnya menjadi beban masyarakat, justru ia kreatif menggali potensi dirinya, melakukan apa yang bisa dilakukan, sampai-sampai beliau rela untuk menggembala kambing (ingah-ingah). Dan bahkan berdagang sampai ke luar negeri (Syam). Hal inilah kemudian yang kemudian menjadi wasilah Muhammad Muda menjadi orang terpandang sehingga mampu meminang saudagar kaya tanah Arab (Bangsawan) dengan mahar 100 ekor unta.

Hal inilah yang kemudian harus menjadi renungan sekaligus pelajaran buat anak-anak muda IPM, agar tidak gengsi ataupun pesimis. Kerjakan apa yang bisa dikerjakan, gunakan waktu luang untuk berwira usaha dan lain-lain agar tidak menjadi beban. Baik beban keluarga maupun masyarakat. Jangan malu untuk beternak, lebih baik ingah-ingah daripada ingah-ingih. Lebih baik belajar usaha daripada banyak gaya.

Bahasa Jawa aktif, kreatif dan inovatif erat dengan istilah sregep dan  prigel. Maksudnya selain daripada itu  adalah kalau sekolah ya sekolah yang bener dan sregep, kalau kuliyah ya kuliah yang sungguh-sungguh, kalau bekerja, juga bekerja yang baik.

Sesi Ke dua    : Untuk Umum (bapak-bapak & Ibu-ibu)

Kaitannya dengan moment Id Adha, maka ada nama yang tidak asing dengan kita adalah baginda Ibrahim AS. Pertanyaannya adalah siapa Ibrahim ini, sehingga beliau beserta keluarganya adalah orang yang paling banyak disebut dan satu-satunya nama yang disandingkan dengan Nabi Muhammad SAW. Hal ini sebagaimana dalam bacaan Tasyahud akhir. Terkecuali daripada itu, beliau juga satu-satunya Nabi yang digelari khalilulah (kekasih Allah). Juga merupakan abu al anbiya’ Bapaknya para Nabi (kalau Adam adalah bapaknya manusia). Hal ini karena Nabi-nabi setelah Nabi Ibrahim adalah merupakan anak cucunya, baik Ishaq yang menurunkan para Nabi Bani Israel, maupun Isma’il yang menurunkan penutup para Nabi, yaitu  Muhammad SAW. Sehingga kemuliaannya menurun sampai anak keturunannya. Beliau juga termasuk orang yang luar biasa, karena pernah dibakar tetapi tidak mempan.

Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana bisa terjadi begitu, orang yang mulia dan kemuliannya turun ke anak cucunya? Rahasianya apa?

Kalau kita lihat sejarah beliau, kemudian kita renungkan dengan mendalam, ternyata rahasianya adalah ketaatannya yang luar biasa kepada ALLAH SWT, keimanannya yang luar biasa kepada ALLAH SWT.  Ketaatan dan kepatuhan yang luar biasa ini yang kemudian menata hidupnya sedemikian cemerlang dan indah, menata keluarga dan anak cucunya yang mulia.
Contohnya adalah saat Baginda Ibrahim di sidang oleh Raja Namrudz tentang keimanannya, ia tidak bergeming sampai akhirnya dieksekusi dengan dibakar.

Ibrahim tidak sekali dua kali diuji ketaatannya, beliau bertahun-tahun memohon untuk diberi putra, tidak dikasih tapi tetap memohon, dan dikabulkan justru ketika beliau dan istrinya di usia senja. Belum lama kebahagiannya dengan menimang bayinya, tiba-tiba Allah menyuruhnya untuk meninggalkan bayi dan anaknya ke negeri tanpa tuan, tanpa penduduk, bahkan tanpa tanaman. Sebagaimana firmaNya dalam surat al Ibrahim ayat 37
                  ••     •    
37. Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur.

Tentu, ini bukan persoalan yang mudah, betapa beratnya ujian tersebut. Lalu kemudian setelah beberapa tahun beliau menjenguk putra dan istrinya, belumlah lama kerinduan dan kebahagiaan  menyelimuti Ibrahim AS, ia diuji lagi untuk menyembelih buah hati yang dirindukannya bertahun-tahun. Sebuah persoalan yang sulit dinalar oleh akal manusia. Hal ini sebagaimana diceritakan Allah SWT surat AS Shafat
                             
102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar".

Lihatlah betapa luar biasa Ibrahim dan keluarganya. Anaknya Ismail AS rela untuk disembelih karena ketaatannya kepada bapak dan ALLAH SWT, bapaknya juga rela menyembelih anaknya karena ketaatannya kepada ALLAH SWT. Tentu ini bukan persoalan yang mudah, bahkan nalar manusia biasa tidak bisa menjangkau.

Mari kita renungkan..seandainya saja seorang anak mau untuk disembelih, maka apatah lagi untuk sekedar disuruh ini dan itu, memasak, mencangkul, membersihkan rumah, mencari nafkah dan lain-lain. Begitu juga seorang manusia yang rela untuk menyembelih buah hati belahan jiwanya, maka apatah lagi jika mengkurbankan harta, ternak, tenaga dan lain sebagainya.

Mari kita renungkan, apakah anak-anak sekarang juga demikian? Ataukah sebaliknya, jangankan manut dan nurut, melainkan mungkin ada yang nolak/ menentang.
Apakah anak-anak sekarang juga demikian, ataukah sebaliknya, jangankan rela untuk disembelih, malah mau menyembelih, apalagi jika orang tuanya kurang memberikan kasih sayang, nafkah maupun perhatiannya.

Tetapi jangan kita selalu menyalahkan anak, mari kita merenung sudahkan iman kita kuat sebagaimana Ibrahim, atau paling tidak mengikuti Ibrahim. Sudahkah kita memohon dan memohon dalam setiap harinya kepada Allah, sudahkah kita berkorban untuk taat kepada ALLAH? Dst.

Ketaatan Ibrahim menjadi wasilah kekuatan iman, dan kekuatan iman ini yang menjadi wasilah berkahnya anak keturunan Ibrahim menjadi manusia-manusia yang mulia. Maka jika kita ingin mengambil ibrah/ pelajaran dari Ibrahim dan keluarganya, kita juga demikian, harus taat, dan taat itu kalau bahasa jawanya adalah tirakat.

Tirakat tentang apa? Tentu bukan puasa pati geni, ngorowot dan lain-lain, melainkan Tirakat tentang menjalankan perintah ALLAH SWT, puasa, sholat, zakat, dzikir dan lain-lain. Tirakat dengan menjahui larangan-larangan ALLAH SWT, tidak memakan harta haram, harta riba, menjahui zina, ghibah, dan lain-lain, kesemuannya itu adalah tirakat, yang sudah dijalankan oleh para salaf shalih sebagaimana Umar Bin Khotob yang begitu hati-hati terhadap kehalalan makanan keluarganya, dan ternyata ALLAH meninggikan Umar beserta keluarganya, beliau jadi raja umat islam, anaknya jadi ulama besar dan cucunya juga jadi khalifah.

Allah A’lam.

*Resume Pengajian Akbar yang disampaikan pada Baksos PD IPM Ponorogo , 3 September 2017 di Desa Pudak Wetan Kec. Pudak-Ponorogo.


Makna Qur’ban Dalam Kehidupan Sehari-hari


اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (×3)اللهُ اَكبَرْ (×3
اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالحَمْدُ لِلّهِ كثيرا وسبحان الله بُكْرَةً وَأصِيْلاً لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وحده صدق وعده ونصر عبده واعز جنده وهزم الأحزاب وحده لااله الا الله وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَ للهِ اْلحَمْدُ
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِيْدَ اْلفِطْرِ بَعْدَ صِياَمِ رَمَضَانَ وَعْيدَ اْلاَضْحَى بَعْدَ يَوْمِ عَرَفَةَ.
اللهُ اَكْبَرْ (3×) اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمَلِكُ اْلعَظِيْمُ اْلاَكْبَرْ وَاَشْهَدٌ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وهو سيد البشر. اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ اَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّرْ

اَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَاللهِ اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Jama’ah Shalat Id Adha yang dirahmati Allah SWT...


Pembukaan
  1.      Mengajak Syukur diberi karunia kedamaian yang berlebih jika dibandingkan dengan muslim Uighur yang di jajah Komunis China, Damaskus/ Syiria yang perang saudara, Paletina yang di Jajah Zionis Yahudi dan yang terbaru muslim Rohingnya yang dibantai oleh orang-orang kafir. Diantara kesyukurannya adalah menjaga kedamaian Indonesia agar anak cucu kita umat  islam bisa menikmatinya dalam beribadah dengan tenang dan damai. 
  2. Sholawat 
  3. Ajakan Taqwa
Qurban merupakan satu diantara ibadah rutin yang tidak dilewatkan umat islam di Indonesia sebagaimana dilakukan oleh umat islam lain di penjuru dunia lainnya. Ibadah mulia ini berangkat dari peristiwa penyembelihan Nabi Ismail AS oleh baginda Nabi Ibrahim AS sebagai ujian seorang kepatuhan hamba kepada Allah SWT. Bahkan lebih jauh, sejatinya sejarah Qurban telah dimulai sejak zaman Adam AS, dimana 2 (dua) puteranya Habil dan Qabil diceritakan secara secara apik dalam surat Al Maidah: 27
                  •           
27. Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".
Ma’asyiral Muslimin Rakhimakumullah...
Kata taqwa dalam surat al Maidah ayat 27 tadi menjadi persoalan penting kaitannya denga pelaksanaan ibadah qur’ban, bahwa meski penyembelihan qurban dengan segala pernak perniknya, baik tentang hewan yang layak dikurbankan,tata cara, adab dan kesunahannya menjadi hal yang harus diperhatikan baik-baik, namun demikian, inti dari pengurbanan itu sendiri haruslah tidak boleh dilupakan. Karena jika merujuk pada ayat tadi, sesungguhnya inti dari pengorbanan adalah rasa taqwa yang tumbuh dalam hati. Ketaqwaan yang menggerakkan untuk berkurban, mengharap benar-benar keridhoan Allah SWT semata, bukan yang lainnya. Hal inilah yang kemudian oleh Allah SWT tegaskan kembali dalam firmannya surat al Haj ayat 37:
                          
37. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
 الله اكبر الله اكبر
Ma’asyiral Muslimin Rakhimakumullah...
Meski Ibadah Qurban sudah menjadi rutinitas kita, tetapi tidak boleh menjadi rutinitas belaka, melainkan kita harus menggali nilai-nilai yang ada di dalamnya. Jika kita renungkan dengan mendalam, maka sebenarnya ia mempunyai 2 (dua) dimensi (makna), yaitu khusus dan umum/ sempit dan luas
Pertama: Makna Sempit/ Khusus
Ibadah Qurban merupakan ibadah yang menjadi sarana peningkatan nilai spiritual (taqwa) dengan cara mengkurbankan kepemilikan harta kita melalui hewan ternak. Ibadah ini juga menumbuhkan sifat sosial (PENGERTIAN) terhadap sesama manusia dalam wujud pembagian daging hewan qurban. Bahwa mungkin sebagian kita memakan daging adalah hal biasa, tetapi bagi sebagian kita yang lainnya tidaklah demikian. Ada yang mungkin setiap hari bisa memakan daging, tetapi ada yang baru 1 minggu sekali, ada yang baru 1 bulan sekali, bahkan ada yang sesekali kalau pas ada perlu saja. Apalagi memang karena daging bukanlah makanan pokok kita sebagai orang indonesia. Maka ibadah Qurban memupuk rasa sosial terhadap sesama, berbagi kepada sesama.
Rosulullah SAW bersabda:
(( مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا. ))
“Barang siapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat shalat kami.”.
Mari, yang hari-hari ini mempunyai kelapangan, tidak terlilit hutang,/ kebutuhan-kebutuhan primer/ asas/ dasar tidak terganggu, segera melaksanakan kurban, baik kambing, unta ataupun sapi sebagaimana diatur dalam hukum fiqh. Bagi mereka yang belum mampu menyembelih sapi dan kambing sebagai kurban, mari belajar kurban melalui menyembelih ayam, bagi yang belum bisa menyembelih ayam, mari belajar dengan membuat makanan dan minuman untuk mereka yang sedang membantu panitia kurban msalnya, adapun bagi yang benar-benar tidak mampu secara materi, maka hendaknya mengkurbankan sebagian waktunya untuk membantu pelaksanaan kurban, ataupun ibadah-ibadah lainnya.
الله اكبر الله اكبر
Jama’ah Shalat Id Adha yang dirahmati Allah SWT...
Kedua: Makna Luas/ Umum
Pemaknaan Qurban juga bisa dikembangkan dalam kontek (bidang) kehidupan masyarakat, berbangsa maupun bernegara. Mari bersama merenung terhadap sejarah kita, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan rahmat Allah SWT yang diberikan,  lalu disambut dan diperjuangkan dengan pengorbanan tetesan air mata, peluh keringat maupun tumpahan darah para pejuang tanpa terkecuali. Perwujudan bangsa Indonesia juga diperoleh karena  masing-masing pendahulu bangsa saling menyembelih/ mengurbankan rasa ego kesukuan maupun golongan lalu meleburnya menjadi satu semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Hal ini menjadi pelajaran berharga bagi kita sebagai bangsa indonesia. Maka sudah seyogyanya generasi sekarang, kita umat islam sebagai pewaris mayoritas bangsa ini untuk meneladaninya guna mewujudkan kerukunan, kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan di negeri ini. Kita ingin tinggalkan buat anak cucu kita, umat islam kedamaian, kemudahan, dan ketentraman dalam menjalankan syariat islam. Karenanya, memaknai hal ini maka Kaum/ suku/ organisasi/ golongan mayoritas (banyak) tidak boleh sewenang-wenang, bahkan harus bertoleransi/ tepo sliro dan menyayangi minoritas (kaum  yang sedikit), sebagaimana dicontohkan oleh salaf shalih  yaitu saat kaum Anshar Madinah (penduduk Asli Madinah) menyayangi  kaum Muhajirin (Para pendatang dari Makkah), sebagaimana juga dilakukan oleh para Khulafa’ Rosyidin di masa ke emasan Islam.
Pun begitu pula sebaliknya, kelompok minoritas, suku minoritas, ras minoritas, agama minoritas wajib menerima (tahu menempatkan diri/unggah-ungguh yang baik) terhadap adanya kelompok mayoritas beserta hak mereka.  Sehingga moment idul adha ini menjadi moment untuk bersatu meskipun dalam perbedaan. Seandainya kita umat islam bisa dan terbiasa untuk bersatu dalam perbedaan, maka betapa mudahnya untuk bersatu dalam persamaan.
Bukankah kita sama-sama menyembah kepada Tuhan yang sama, Allah SWT
Bukankah kita sama-sama beragama yang sama, Islam yang kita cintai ini
Bukankah kita sama-sama mempunyai kitab yang sama, Al Qur’an Al karimi
Bukankah kita meneladani, mengikuti dan mencari petunjuk dan panutan dari orang yang sama, baginda Muhammad SAW.

Allah Akbar, Allah Akbar..
Jama’ah Shalat Id Adha yang semoga dirahmati Allah SWT...
Setiap kita mempunyai ego, baik yang kita sadari atau tidak, maka memaknai Qurban lainnya adalah dengan memotong/ menyembelih dan mengurbankan ego kita, baik di rumah, di masjid, maupun di masyarakat. Dengan demikian, keluarga yang diisi oleh orang-orang yang saling menghargai (mengorbankan egonya), insya Allah akan menjadi keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah, masjid yang diisi oleh jama’ah maupun takmir/ pengurus yang saling menghargai (saling mengorbankan egonya) maka Insya alloh akan menjadi masjid yang menyejukkan dan ramai/ makmur oleh para jama’ahnya, dan masyarakat/ negara yang diisi oleh orang-orang yang saling menghargai (berkorban) akan menjadi masyarakat/ negara yang baldatun, tayibatun wa rabbun goffur. Allah A’lam

Jama’ah Shalat Id Adha yang semoga dirahmati Allah SWT...

Demikian khutbah sederhana ini, tentang memaknai qurban dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, sebagaimana tema yang disampaikan Panitia terhadap saya, semoga ibadah kurban ini benar-benar mampu kita maknai dan hayati bersama, sehingga lebih bermanfaat bagi kita, keluarga kita, masyarakat kita, di dunia dan akhirat..aamiin aamiin ya rabbal ‘alamin.


.Allah A’lam

Penulis Adalah Pengasuh Pondok Pesantren MBS Ponorogo

Senin, 21 Agustus 2017

KEARIFAN

Sebagian orang berlomba fasih berkata dan banyak menulis untuk kebaikan, maka baginya adalah kebaikan itu sendiri. Tetapi sebagian lagi ada yang berlomba untuk disebut sebagai cendekiawan, namun sesungguhnya ukuran kecerdasan tidaklah selalu berbanding lurus dengan banyaknya kata dan tulisan, bukankah orang-orang tua kita pernah bersenandung bahwa "tong kosong, pasti bunyinya nyaring". Betapa banyak orang yang menulis dan berkata, tetapi tidak mengerti apa yang ia tuliskan dan ucapkan.


Sebagian orang menahan-nahan diri dari banyak bicara dan menulis karena takut tergelincir lisan dan tanggannya. Tetapi sebagian lainnya berdiam karena ketakutan, kebodohan dan apatis dalam menyuarakan kebenaran, Para penyair Arab pun menyindir mereka sebagai "keledai dungu".

Allah A'lam

Minggu, 20 Agustus 2017

TAKUT


Mereka yang pernah dan sedang mencintai..., ditinggalkan atau meninggalkan adalah menakutkan

Mereka yang sedang memiliki..., kehilangan adalah menakutkan

Mereka yang sedang mencari...., kembali dengan tangan hampa adalah ketakutan

Mereka yang sedang berusaha..., kegagalan adalah menakutkan

Rasa takut adalah bagian dari takdir manusia, ia akan mengejarnya dalam ruang dan waktu.
Ia bisa mendorong manusia menjadi lebih baik, sekaligus membunuhnya perlahan-lahan
Saat ketakutan menjadi pembunuhnya, maka sesungguhnya yang layak ditakuti bukan "pembunuhan" itu, melainkan "ketakutan" itu sendiri.

Saat ketakutan justru mendorongnya menjadi lebih baik, maka bersyukurlah, karena sesungguhnya ia akan lulus ujian sebagaimana dalam firmanNya (2:155)

Allah A'lam

Kamis, 03 Agustus 2017

KEBAHAGIAAN*

Hari ini saya  merenung… saat kelelahan bekerja mulai mendera dan membosankan, adakah kebahagiaan di balik rutinitas yang melelahkan ini?

Kemarin-kemarin, saat rindu memuncak dan cinta menyandera dalam kesendirian, kesepian atau bahkan keramaian, saya bertanya adakah kebahagiaan yang bisa saya ambil dari cinta dan rindu dengan segala kegilaannnya yang tercipta itu?

Esok-esok, orang yang sudah mulai atheis akan bertanya penuh heran, adakah kebahagiaan di balik penghambaan terhadap Tuhan?

Bukankah ada keindahan mawar di balik duri-durinya yang tajam, ada kelezatan di balik asamnya garam, dan ada kesehatan di balik baunya bau ketek?

Ah..ia benar, pasti ada kebahagiaan dan ada kenikmatan di sana. Kelelahan menyimpan kebahagiaan yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu menangkapnya, lihatlah senyum seorang ibu yang mengusap kandungannya. Ia menikmati nikmat lelah yang tidak bisa dinikmati kecuali oleh mereka yang berharap untuk bisa mengandung.

Ada kebahagiaan dan kenikmatan di balik rindu dan cinta. Lihatlah, betapa rindu dan cinta menjadi bagian dari alasan untuk tabah menunggu, tabah untuk berharap, dan tak lelah untuk bermimpi, meski secara logika penungguan, pengharapan, dan impian itu mustahil, tetapi toh, orang yang merindu dan mencinta tidak pernah untuk berhenti.

Ada kebahagiaan dan ada kenikmatan di balik penghambaan, meski naluri manusia menolak menjadi hamba, karena penghambaan adalah bentuk ketertundukan, keterkungkungan dan kepatuhan. Tidak ada kebahagiaan dan kenikmatan yang diharapkan dari kehidupan seorang hamba. Tetapi lihatlah Para sufi saleh yang ter-jazdab oleh nikmatnya menghamba kepada Tuhan (Allah). Mereka menolak kenikmatan di balik kebebasan menjadi manusia merdeka, dan justeru mendapatkannya di balik penghambaan.

Allah A’lam.


*Renungan

Kamis, 20 Juli 2017

Konco Kenthel

 “Konco kenthel itu adalah ketika sudah berada di titik tidak bisa saling menyinggung/ tersinggung”. Setidaknya kalimat inilah yang saya fahami dari makna persahabatan akrab dengan banyak kawan selama ini. Mas Ipan/ Fahd diantaranya, pemuda hasil asimilasi biologis Jawa dan Madura ini adalah salah 1 (satu) diantara banyaknya sahabat kenthel saya. 

Hampir 1,5 tahun lebih kami bertukar fikiran, baik tentang ilmu, pengalaman atau sekedar berbual-bual saat menunggu waktu pulang mengajar. Tapi dalam rentang waktu tersebut, tidak pernah ada satu gerak, bahkan satu huruf katapun yang keluar darinya  yang menyinggung perasaan saya. Pun begitu, alhamdulilah Mas Fahd tidak pernah tersinggung dengan gaya bicara saya yang sangat ceplas-ceplos, baik saat serius maupun saat bercanda.

Banyak pelajaran dan pengalaman yang saya dapatkan dari beliau. Disaat mayoritas anak muda lebih mendengarkan kata-kata temannya daripada orang tuanya, justru Mas Fahd adalah sosok yang sangat patuh dengan petuah ibunya, bahkan pernah beliau rela pulang malam-malam dari Hotel Horisan Batu saat acara Workshop kurikulum K13, padahal peserta lainnya menginap. Saya fikir, ini bukan persoalan anak emak atau bukan, tapi prinsip. Baginya anjuran ibunya untuk berada di Rumah adalah bakti yang tidak boleh dianggap sekedar anjuran, yang meskipun dia bisa juga bisa izin untuk tidak pulang. 

Sahabat yang pernah membawa saya Nonton Bioskop laga (dan itu adalah pertama kalinya dalam hidup ini saya masuk gedung bioskop ha ha ha) ini mempunyai pengabdian dan prinsip idealis yang tinggi dalam pendidikan. Ia rela menanggalkan statusnya sebagai dosen saat posisinya tersebut justru tidak mencerminkan pendidikan yang seharusnya di tempat mengajarnya. Mas Fahd justru rajin dengan motor maticnya datang dan pulang untuk mengajar anak-anak Mts & MA di dekat rumahnya. Metode mendidiknya pun terkesan uniqe, baik saat mengajar maupun memberikan soal ujian. 

Mas Fahd adalah salah satu guru yang setahu saya tidak pernah marah-marah secara verbal kepada para siswa, bahkan ia biasa mengajak dialog santai dengan sebagian siswa layaknya seorang sahabat. Guru yang tulisan-tulisannya sudah bertebaran di banyak media ini sering tawadlu’ di depan saya, menanyakan ini dan itu, tetek bengek persoalan yang saya fikir ia pun tahu. Ia adalah sosok orang yang ketika bertanya lalu mendengar dengan khidmat, dan saat menjelaskan diiringi dengan mimik yang serius.

Dan sayangnya, tulisan ini sangat tidak menarik untuk memvisualisasikan sosoknya yang menarik, tulisan ini juga begitu datar untuk mendeskripsikan pengalaman-pengalaman saya bertukar fikiran dengan beliau. Maka saya ingin segera menutupnya dengan kata-kata doa “Selamat menikah Mas Fahd  semoga Sakinah Mawaddah Wa rahmah”.

Selasa, 18 Juli 2017

Teks Khutbah Idul Adha

MENCARI TELADAN*

الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله 3
اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ : اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَ اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Jama’ah Idul Adha yang dirahmati Allah SWT...

Merayakan Idul Adha, berarti juga mengenang sosok  bapak para nabi, penghulu para Ulul Azmi, Khalilur-Rahman, Ibrahim AS. Beliau adalah satu-satunya Nabi yang namanya disebut-sebut oleh jutaan umat islam setiap harinya. Beliau juga satu-satunya nabi yang disandingkan dengan junjungan kita Nabi Muhammad SAW sebagiamana dibaca pada tahiyat akhir di setiap sholat:

اللهم صلى على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد كما صليت على سيدنا إبراهيم وعلى آل سيدنا وبارك على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد كما باركت على سيدنا إبراهيم وعلى آل سيدنا إبراهيم فى العالمين إنك حميد مجيد
 
Hal ini tentu saja merupakan bukti bahwa kedudukan Ibrahim tidak bisa dianggap sebelah mata. Sehingga perlulah kiranya kita menengok sejarah kehidupan beliau sebagai ibrah/ pelajaran untuk kita bersama sebagaimana firman Allah SWT:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ

Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia (QS Al Mumtahanah [60]:4).
 
Firman Allah di atas menunjukkan bahwa Ibrahim AS adalah salah satu orang yang layak untuk dijadikan teladan bagi kita, keluarga kita maupun anak cucu kita dimana saat ini mayoritas umat kehilangan contoh maupun suri teladan.
 
Bukankah Anak-anak kita lebih kenal dengan nama-nama pemain sepak bola, anak-anak kita lebih faham biografi (kehidupan) para artis, anak-anak kita lebih akrab dengan permainan daripada belajar agama, lebih akrab dengan hape dan televisi daripada mengaji. bukankah anak-anak kita sudah terbiasa dengan budaya-budaya yang tidak sejalan dengan ajaran islam. Bahkan kita sendiripun tidak jarang yang seperti mereka. Ini harus menjadi keprihatinan kita bersama.
 
Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah...
 
Inilah Ibrahim AS, sosok yang diceritakan Allah SWT di banyak tempat dalam al Qur’an. Pertanyaanya adalah apa saja persoalan yang dapat kita ambil dari keberadaan Nabiyullah Ibrahim?..bahkan Allah memilihnya daripada semesta alam, sebagaimana dalam firmanNya:
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat.” (Ali Imran: 33)
 
Jama’ah Idul Adha yang dirahmati Allah SWT...
 
Ibrah/ pelajaran dari kehidupan Ibrahim begitu banyak, namun di sini akan kita ambil beberapa saja. Diantaranya adalah:
Pertama: layaknya para nabi dan rosul, beliau adalah sosok manusia yang istiqomah dalam kebaikan sejak usia muda hingga akhir usia (tua). Ini merupakan pelajaran bagi kita dimana terkadang sebagai manusia kita ini tidak istiqomah, ada manusia di usia muda menjadi orang baik-baik, tetapi saat usia tua menjadi orang yang tidak baik, atau sebaliknya di usia muda menjadi orang tidak baik, baru bertaubat setelah usia tua, dan bahkan ada juga sejak usia muda sampai usia tua tetap saja tidak berubah untuk menjadi baik.
 
Maka saat ini, saya mengajak diri saya pribadi dan segenap jama’ah, melalui moment mengenang kepribadian agung baginda Ibrahim AS di Id Adha ini, kita berusaha menjadi manusia-manusia yang istiqomah. Kalau saat ini kita masih muda dan dalam kebaikan, mari kebaikan ini kita lanjutkan sampai usia tua bahkan tutup usia. Seandainya kita belum bertaubat, mari segera bertaubat. Adapun seandainya saat ini kita sudah tua dan dalam kebaikan, golongan yang baik, orang-orang yang baik, masyarakat yang baik, aktifitas-aktifitas yang baik, mari ini kita istiqomah dan lanjutkan sampai ajal menjemput sehingga menjadi hamba-hamba yang khusnul khotimah.
 
Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah...
 
Kedua: Ibrahim AS layaknya nabi dan rasul lainnya adalah orang yang sangat teguh dan istiqomah dalam mendakwahkan dan sekaligus mengamalkan kebenaran yang dibawanya. Bahkan beliau pernah dihukum bakar oleh raja zalim, Namrudz laknatulah ‘alayhi tetapi Ibrahim tetap berlanjut. Pertanyaannya adalah sudahkah kita seperti Ibrahim dalam mendakwahkan islam? Kepada teman, sanak kerabat bahkan keluarga kita? Ataukah kita belum berdakwah sama sekali? Lalu asyik dengan kehidupan kita sendiri.
Pertanyaannya, memang kita tidak disuruh menjadi Ibrahim AS, tetapi sudahkah kita istiqomah memegang teguh agama ini tanpa memperdulikan cobaan dan halangan yang merintang, atau kita sudah takluk dengan manusia-manusia di sekitar kita. Tidak berjilbab karena takut di diolok-olok teman, tidak sholat karena takut dipecat dari pekerjaan, tidak berani menghindar dari perbuatan syirik, dosa maupun maksiat lainnya karena takut tidak dapat teman/ tetangga? Sesungguh dalam pribadi Ibrahim AS ada tauladan yang baik, yaitu keteguhannya dalam menjalankan agama yang dibawanya.
 
Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah...
 
Ketiga: Layaknya Nabi dan Rasul lainnya, Ibrahim melakukan ketaatan total kepada Allah SWT, hal ini bisa terlihat bagaimana beliau sami’na wa atho’na (saya mendengar dan saya taat) saat Alloh menyuruhnya untuk Hijrah ke negeri panas kering dan tandus, yaitu Makkah al Mukarramah. Bahkan dititik puncaknya, bukan hanya pernah dibakar oleh Namrudz, beliau bahkan diuji SWT untuk menyembelih anak satu-satunya, Ismail AS.
Pertanyaannya, memang kita tidak diminta menjadi Ibrahim AS, tetapi paling tidak sudahkah kita ini menjalankan perintah-perintah Allah dengan total hidup kita, atau hanya separuh, sepertiga, atau jangan-jangan hanya dari sisa sisa kehidupan kita. Mari kita lihat..
Apakah kita telah benar-benar mempersiapkan waktu kita untuk sholat saat hendak sholat, atau waktu sholat kita hanya berasal dari sisa-sisa pekerjaan kita, di ladang, di kebun, di kantor, di pasar dan lain sebagainya.
 
Apakah kita telah mempersiapkan dan meluangkan waktu dari 24 jam yang kita memiliki untuk mengaji, membaca firman-firman Allah atau hadis Rasulullah, atau waktu kita mengaji sekedar dari sisa-sisa waktu luang kita, ketika tidak ada pekerjaan, ketika tidak ada siaran Bola atau tidak ada acara TV yang menarik, ketika tidak ada arisan, ketika tidak perkumpulan A, B, C atau lainnya. Kalau benar seperti, berarti kita mengaji hanya sekedar kalau ada waktu luang, dan bukan benar-benar meluangkan waktu.
 
Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah...
 
Untuk menunjukkan ketaatan, memang kita tidak disuruh Allah SWT seperti disuruhnya Ibrahim untuk dengan putra semata wayangnya Ismail AS. Kita hanya disuruh menyembelih sebagian harta kita, berupa hewan Qurban, Zakat, infaq maupun shadakah. Tetapi pertanyaannya, apakah kita saat kita berqurban, saat kita berinfaq maupun bersodaqah memang benar-benar telah mempersiapkannya jauh-jauh hari dan mementingkannya, atau kita melakukannya sekedar dari sisa-sisa kita. Kita berqurban dari sisa membeli Mobil, merenovasi rumah atau menambah aset-aset harta kekayaan. Kita bersedekah menunggu sisa dari belanja hape, komputer, kulkas, atau peralatan elektronik lainnya. Kita berinfaq menunggu dari sisa-sia belanja baju kita, jajan kita, dan belanja-belanja lainnya. Jika benar-benar demikian, maka kita kurban kita, sedekah kita, maupun infaq kita adalah qurban, infaq, maupun sedekah sisa. Tentu sah-sah saja jika dilihat dari sudut pandang fiqh, tetapi berbeda jika dilihat dari sudut pandang adab. Yaitu Adab kita berbakti kepada Allah SWT
 
Jama’ah Id Adha yang dirahmati Allah..
 
Tiga (3) hal tadi adalah sedikit dari banyak contoh/teladan/ ibrah yang dapat kita ambil dari kisah Nabiyullah Ibrahim AS. Adapun khusus kaitannya dengan Qurban di Hari Raya ini, Rasulullah SAW bersabda dalam Hadis Ibnu Majah nomor 3114
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. قَالَ: مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصّلاَّنَا ـ رواه احمد و ابن ماجة

Artinya: “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati tempat sholat Id kami.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).
 
Mari, yang hari-hari ini mempunyai kelapangan, tidak terlilit hutang kebutuhan-kebutuhan primer/ asas/ dasar tidak terganggu, segera melaksanakan kurban, baik kambing ataupun unta dan sapi sebagaimana ter atur dalam hukum fiqh. Bagi mereka yang belum mampu menyembelih sapi dan kambing sebagai kurban, bisa merayakan dan belajar kurban melalui menyembelih ayam, bagi yang belum bisa menyembelih ayam, bisa membuat makanan dan minuman untuk mereka yang sedang membantu panitia kurban, bagi yang benar-benar tidak mampu secara materi, maka hendaknya mengkurbankan sebagian waktunya untuk membantu pelaksanaan kurban, ataupun ibadah-ibadah lainnya. Dengan demikian, ibadah kurban ini benar-benar mampu kita maknai dan hayati bersama, sehingga lebih bermanfaat bagi kita, keluarga kita, masyarakat kita, di dunia dan akhirat..aamiin aamiin ya rabbal ‘alamin.
 
*Insya Allah Disampaikan di pelaksanaan Idul Adha masyarakat Se Desa Balong-Kab.Ponorogo

Selasa, 20 Juni 2017

MENGAJI*

Istilah “Ngaji” jika diotak atik secara bahasa Jawa sebenarnya adalah singkatan dari kata “Ngatur Jiwo” dimana ia mengandung pengertian bahwa mengaji adalah aktifitas yang digunakan untuk menata hati, perasaan dan fikiran dalam kaitannya sebagai manusia. Terkecuali daripada peningkatan intelektualitas/ keilmuan, sesungguhnya mengaji adalah bagian dari pelaksanaan ibadah.

Para ulama amat menghargai subtansi mengaji, sehingga Syaich Imam Zarnuzi mengarang kitab khusus terkait hal ini, yang tertuang dalam ta’lim al muta’alim. Kitab yang serupa dibuat oleh beliau Hadratus Syaich Hasyim Asyari dengan judul Adab al ‘Alim wa al Muta’alim.Selain itu, Ada banyak syair, maupun nash-nash wahyu yang menekankan aktifitas ini baik secara tersurat dan tersirat.

Ibadah dan penataan hati adalah 2 (dua) hal yang setidaknya menjadi titik tolak berfikir bahwa seseorang yang ingin mengaji seyogyanya memperhatikan aturan, etika maupun ketentuan sebagaimana dalam kitab-kitab ta’lim. Selain itu, ada beberapa hal lainnya yang tidak pentingnya untuk diindahkan adalah kerelaan hati untuk membuang symbol/ label yang melekat pada diri manusia, karena terkadang bisa menghalangi proses transfer ilmu baik dari segi pemahaman, barakah ataupun kemanfaatannya.

Symbol adalah label yang tidak pernah dibawa oleh manusia saat kelahirannya melainkan baru disematkan untuknya saat ia telah melakukan sebuah usaha. Diantara symbol ataupun label yang melekat pada manusia adalah symbol kedudukan. Posisi, jabatan ataupun kedudukan seseorang di masyarakat terkadang menumbuhkan kesombongan, nah kesombongan adalah penyakit hati yang sangat akut, sehingga bagaimana mungkin ngaji menjadi bermakna manakala berkumpul di dalamnya sebuah penyakit.

Gelar Kyai, Haji, Ustadz, Guru, Buya, Syaich adalah label yang tidak perlu dibawa-bawa dalam area ini, seseorang yang ingin mengaji, mengaji saja. Embel-embel tidak perlu dibawa, sebab terkadang bagaimanapun keagungan sebuah gelar, tanpa penyikapan yang arif lagi-lagi akan menumbuhkan kesombongan. Hal ini telah dicontohkan oleh para ulama’ besar yang pernah ada, Imam Ahmad berguru kepada Imam Syafi’i justru ketika Ibnu Hambal ini telah menjadi ulama besar di kaumnya. Hujjatul Islam Syaich Ghazali rela belajar kepada seorang guru desa yang tidak begitu dikenal justru ketiga gelar-gelar keilmuan telah beliau sandang begitu megahnya. Bahkan para pejuang Badar yang sanagat dihormati para sahabat pun pernah berguru tafsir kepada Ibnu Abbas, pemuda beliau yang cerdas di masa itu. Mereka adalah sedikit contoh dari sekian banyak orang-orang besar yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu.

Symbol selanjutnya adalah organisasi, kelompok, suku maupun budaya. Seseorang yang ingin benar-benar mengaji seyogyanya membuang kesemuan label tadi, sebab kebenaran dan keluasan ilmu pengetahuan yang Allah karuniakan kepada para manusia tidak terbatas pada organisasi ataupun kelompok tertentu. Orang yang terlalu fanatik hanya mengaji pada orang/ kelompok tertentu ibarat seorang yang mencari udara segar dalam ruangan tertutup. Di ruangan tersebut ada jendela A, jendela B, C dan seterusnya. Manakala ia mengkhususkan dirinya hanya pada 1 (satu) jendela maka betapa sedikitnya udara segar yang ia peroleh. Pengkultusan pada kelompok dan individu sangat tidak baik dalam pencarian ilmu, sebab kelompok bukanlah agama yang pasti benar, sedangkan individu betapapun gelarnya sebagai ulama, ia bukanlah Nabi dengan kemaksumannya. Seseorang bisa mengaji kepada banyak kelompok dan orang-orang berbeda, karena pada akhirnya ia tetap memiliki kebebasan berfikir untuk menentukkan sikap maupun menyaring dari semua pengajian yang ia ikuti.


Allah A’lam.

Disampaikan di Masjid Karang Mojo, Senin 07 Maret 2017