Translate

KI TOPO JOYO BINANGUN

HIDUPLAH DALAM GERAKAN KEBENARAN AGAR ENGKAU DIMASUKKAN DALAM GOLONGAN ORANG-ORANG YANG BENAR, MESKI SAAT INI KAMU BUKANLAH ORANG YANG BENAR.

Pantai Alexanderia Egypt

Demi masa, Manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

Masa Laloe

Anda tidak mungkin lagi merubah masa lalu, yang mungkin anda lakukan adalah meratapinya atau mensyukurinya untuk pijakan menatap masa depan.

Benteng Sholahuddin Al Ayyubi Alexanderia

Bersama KH. Fathullah Amin LC.

Al Azhar Conference Center (ACC)

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 02 Oktober 2018

Toleransi Otentik



Toleransi adalah istilah yang patut untuk direnungkan saat akhir-akhir ini marak pereksekusi dilakukan oleh sekolompok ormas (organisasi masyarakat) terhadap dakwah yang dilakukan oleh sebagaian ustadz, semisal Ustadz Abd Shomad. Safari dakwah UAS dijegal di berberapa tempat. Alasannya pun terkesan dibuat-buat dan dipaksakan, yaitu tidak cinta NKRI, HTI maupun tidak Aswaja dan selainnya. Pereksekusi tersebut sayangnya dilakukan oleh mereka yang gemar meneriakkan semboyan kaum toleran dan cinta NKRI. 

Terkecuali daripada itu, dalam rangka memuliakan “toleransi” tidak jarang seseorang/ golongan dicap radikal maupun intoleran oleh kelompok lainnya  karena tidak mau menghadiri perayaan hari agama lain, tidak mau mengucapkan hari natal dan lain sebagainya. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan toleransi? Dan bolehkah toleransi digunakan sebagai dasar intoleran?

Toleransi (tolerance) berasal dari kata ‘tolere’ (bahasa Latin) yang artinya memikul, atau mengangkat beban. Dalam bahasa Inggris, adalah "toleration”. Toleran mengandung pengertian: ber-sikap mendiamkan. Adapun jika dijelaskan dalam sikap, maka makna toleransi adalah suatu sikap tenggang rasa kepada sesamanya. Dalam bahasa arab diidentikkan dengan kata tasamuh. (samuha-yasmuhu-samhan, wasimaahan, wasamaahatan, yang artinya sikap membiarkan, lapang dada, murah hati, suka berderma) . Dengan demikian tasamuh (toleran) bisa dimaknakan membangun sikap untuk saling menghargai, saling menghormati, saling memberi, saling membantu, dan saling memberi kemudahan antara satu dengan lainnya. Pengertian lainnya secara umum adalah "sikap (akhlak) terpuji dalam pergaulan, yang didasari rasa saling memahami dan saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang digariskan oleh ajaran Islam dan kesepakatan bersama.
Dengan demikian, tidaklah tepat mempereksekusi orang lain dengan tuduhan yang tidak berdasar, bahkan dengan dalih toleransi sekalipun, sebab toleransi adalah sikap memahami dan membiarkan. Hal ini terlebih jika antara yang di pereksesuki dan yang melakukannya berada dalam agama yang sama. Pemahaman, pengertian dan penghargaan satu pihak dengan pihak lainnya timbul secara otentik dari masing-masing pihak yang berbeda, bukan atas dasar pesanan pihak ketiga. Toleransi  tidak bisa dipaksakan oleh pihak superior terhadap inferior sebab itu tidak juga otentik. Ia harus tumbuh karena masing-masing pihak secara sadar membutuhkannya, lalu melahirkan dan merawatnya dalam perbedaan yang harmonis.
Kaitannya dengan hal ini, islam dimana maknanya berarti “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri” sangat menjunjung nilai toleransi. Allah berfirman yang artinya, “dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus:99). Arti lain dari ayat-ayat ini adalah Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Ia justru menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. 
Terkecuali daripada itu, firman-firmanNya yang terkait dengan  toleransi adalah “Untukmu agamamu. Dan untukku agamaku” (QS: Al Kafirun: 5) dan begitu juga  FirmanNya, “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah [2]: 256). Dua ayat ini begitu sempurna, dimana Islam ditekankan untuk menghargai perbedaan, bahkan termasuk di dalamnya persoalan agama. Dakwah dalam ajaran Islam dilakukan melalui proses yang bijaksana. Allah SWT berfirman, “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (QS. Al-Nahl [16]: 125). 
Namun demikian, betapapun islam menghargai perbedaan bahkan terkait agama tanpa terkecuali, tetapi ada batas-batas dimana hal tersebut tidak boleh dilanggar. Sebab jika hal tersebut terjadi, maka imbasnya adalah pencampuran antara hak dan batil. Sikap ini di larang dalam islam, contohnya adalah nikah beda agama maupun beribadah bersama-sama dengan alasan toleransi. Seorang muslim harus bisa membedakan antara sikap toleran dengan sinkretisme. Sinkretisme adalah membenarkan semua keyakinan/agama. Hal ini dilarang oleh Islam sebagaimana  Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam". (QS. Ali Imran: 19).

Dengan demikian, wujud toleransi beragama dalam islam tidaklah dimaknai bersama-sama dalam beribadah, melainkan berhenti pada membiarkan perilaku agama dan keyakinan pemeluk  lainnya, tidak mengganggu, mencaci dan merendahkannya. Wujud toleransi beragama misalnya juga, tidak memaksakan untuk mengakui bahwa semua agama adalah sama dan semua agama adalah benar, melainkan semua orang boleh mengakui agamanya sebagai agama yang benar. Ketika seseorang/ sekelompok memaksa orang atau kelompok lainnya untuk menyamakan kebenaran sesuai dengan apa yang dia yakini dan kehendaki, maka disitulah perilaku intoleran dimulai. Dan jikapun pada akhirnya muncul keharmonisan, maka sebenarnya hal tersebut bukan buah dari toleransi otentik, melainkan toleransi semu.
Allah A’lam

Senin, 06 Agustus 2018

Makna Istirja'



MAKNA ISTIR’JA’

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ÙˆَبَØ´ِّرِ الصَّابِرِÙŠْÙ†َ. الَّØ°ِÙŠْÙ†َ Ø¥ِØ°َا Ø£َصَابَتْÙ‡ُÙ…ْ Ù…ُصِيبَØ©ٌ Ù‚َالُوا Ø¥ِÙ†َّا Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ ÙˆَØ¥ِÙ†َّا Ø¥ِÙ„َÙŠْÙ‡ِ رَاجِعُÙˆْÙ†َ. Ø£ُولَئِÙƒَ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِÙ…ْ صَÙ„َÙˆَاتٌ Ù…ِÙ†ْ رَبِّÙ‡ِÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ٌ ÙˆَØ£ُولَئِÙƒَ Ù‡ُÙ…ُ الْÙ…ُÙ‡ْتَدُÙˆْÙ†َ

“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan: ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 155-157).

انَا لله

Sesungguhnya kami adalah milik Allah, karena kehendakNya kami ada dan tanpanya maka ketidaaanlah yang ada.

Sesungguhnya milik kami adalah milikNya, titipannya, tanpa kemurahannya, kita tidak memiliki apapun untuk diakui sebagai milik. Harta benda, Keluarga, bahkan pekerjaan maupun jabatan.

و انا اليه راجعون

Dan sesungguhnya kami serta apa yang kami akui sebagai milik, semuanya akan kembali padanya. Jiwa, raga, harta benda, keluarga, harta, jabatan dan lain sebagainya.

Mereka yang mampu memahami dan menginsyafi istirja’ akan menemukan kebaikan dalam hidupnya. Karena menyadari bahwa semua hal dikembalikan kepada Allah. Kepemilikan yang diakui sebagai titipan, baik kecerdasan akal, keelokan dan keindahan tubuh, berlimpahnya harta benda, anak cucu, maupun gelar, pekerjaan dan pangkat yang dimiliki semata-mata  hanyalah karunia yang dititipkan Allah. Usaha manusia untuk mendapatkannya hanya sebatas memproses, bukan menghasilkan/ menentukan hasil. Dengan demikian, maka rasa sombong, riya’ maupun ujub bisa diminimalisir maupun dihindari. Tidak muncul “akuisme”, mengaku-aku.

Mereka yang mampu memahami dan menginsyafi konsep Istirja, akan berada dalam kebaikan dan menuju kebaikan selanjutnya, karena ia akan bersama Allah dan untuk Allah. Kehidupannya, harta bendanya, jabatannya dan semua yang ia miliki. Mendapatkannya tidak menimbulkan kesombongan, dan melepaskannya tidak menimbulkan kekecewaan. Karena tidak ada kecewa terhadap kehendak Allah bagi orang muslim, yang ada adalah ridho dan ihlas. Ridho dan ihlas.

Allah A’lam.

Rabu, 02 Mei 2018

Muhasabah

Rasulullah SAW pernah diinterupsi terkait dengan ijtihadnya, sebagai contoh saat pengaturan strategi Perang Badar oleh al Habab Bin Munzir RA. Alih-alih berjumawa karena dirinya seorang utusan Tuhan, justru beliau mengiyakan pendapat sahabatnya ini. Peristiwa hampir semisal terjadi menjelang peperangan Khandak. Salman Al Farisi mencetuskan pertahanan parit, dimana hal tersebut tidak dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya.


Sekelumit tentang kisah tersebut di atas sebenarnya merupakan pelajaran berharga bagi mereka yang menjadi pemimpin, guru, bahkan murabby atau mursyd sekalipun. Bahwa betapapun tinggi derajat di hadapan para kawulo, murid, salik maupun mad’u, namun dirinya tetaplah manusia biasa yang terbuka celah lebar kesalahan maupun kekhilafan. 

Mereka yang tidak mau sesekali mendengar suara yang lain, semata-mata karena merasa lebih tahu, senior maupun berpengalaman, maka sesegeralah bertaubat,  karena dalam dirinya ada ke takabbur an yang bersifat khofy. Padahal kesombongan adalah sifat yang amat dibenci Tuhan (Allah) YME.

Kamis, 05 April 2018

Manusia dan Keinginannya

Ternyata manusia cenderung meminta..
Pasangan, atau tambahannya
Anak keturunan atau tambahannya
Jabatan, atau tambahannya
Harta, atau tambahannya
Umur dan tambahannya
Entah karena atas dasar “ketamakannya” atau “kebutuhannya” atau sekedar “keinginannya”.
Kalau sekedar rasa” tamak dan ingin”, bukankah  jawaban atas permintaan hanyalah“rasa memiliki” dan secuil kenikmatan?

Sementara yang memiliki akan kehilangan,
Sementara tanggung jawab atas kepemilikan adalah amanah,
Dan sementara amanah pasangan, anak, jabatan maupun harta yang termiliki belum tentu tertunaikan.

Adakah manusia yang meminta untuk tidak meminta lagi
dalam keterbatasannya ia merasa cukup
dalam kesempitannya ia merasa lapang
dan..
dalam kesedihannya ia merasa bahagia


Jumat, 12 Januari 2018

Memaknai Kebahagiaan

Kebahagiaan adalah salah satu tujuan dari kehidupan manusia pada umumnya. Apakah ia beriman maupun tidak dan bahkan terlepas dari pandangannya terhadap kehidupan itu sendiri. Namun demikian, ada diantara manusia yang lupa tentang apa itu makna kebahagiaan dan bagaimana cara memperolehnya. Sebagian terjebak dalam pemahaman bahwa kebahagiaan adalah kepuasan, sehingga kemudian mengerahkan kemampuannya baik waktu, tenaga maupun harta untuk mendapatkannya, karena baginya puas adalah bahagia. Sementara kita sepakat bahwa umumnya kepuasan manusia tidak terbatas. Ia akan mencari dan mencari serta mencari apa yang menjadi keinginannya, manakala tergapai barulah ia puas dan manakala tidak, ia pun kecewa.

Berangkat dari inilah manusia tidak akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki manakala memaknainya dengan kepuasan. Ia akan selalu diiringi dengan keluh kesah terhadap banyak hal. Tentang pekerjaan, tentang keluarga, tentang ini dan itu, sebagaimana Allah berfirman “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah dan apabila mendapat kebaikan dia menjadi kikir.” (QS.Al-ma’arij:19-21).

Orang-orang yang berkeluh kesah bukan golongan hamba yang bersyukur kepada karunia Allah yang begitu luas. Padahal jika direnungkan dengan mendalam, betapa banyak nikmat tercurah. Ada orang bijak berkata, kenapa kita menangis karena tidak memakai kaos kaki, padahal ada orang yang tertawa bahagia bahkan tanpa memiliki kaki. Kita memikirkan kaos kakinya, tanpa melihat nikmat kaki yang kita punya, sedangkan orang lain sudah tidak memikirkan kaki, apalagi kaos kakinya.

Bahagia adalah manakala  sudah ridho tentang ketetapan Allah atas dirinya. Apakah ketetapan itu sesuai dengan keinginannya maupun tidak. Mereka yang bisa melakukannya akan mampu menjadi hamba-hamba yang bersyukur manakala keinginannya dikabulkan dengan kehendak Allah lalu menjadi kenyataan. Adapun sebaliknya, manakala tidak menjadi kenyataan, maka ia akan menjadi sosok yang sabar atas ketetapan tersebut, dan pada akhirnya syukur dan sabar adalah kunci dari kebahagiaan. Lihatlah betapa bahagiannya orang yang diuji untuk berkorban oleh orang yang dicintainya, ia menerima ujian itu dengan sabar dan penuh rasa nikmat. 

Teringat nasehat yang saat indah, bahwa saat pagi menyapa bersama hangatnya cahaya matahari yang jernih, cuaca yang sejuk dan udara yang bersih, sesekali pandangilah  segelas kopi atau teh yang terhidang untuk kita, jangan lekas-lekas kita minum. Pandangi dulu betapa di sana ada nikmat Allah yang luar biasa, warna kopi yang menghitam, atau teh yang menguning, lalu hirup kepulan asap tipis yang terbang dari gelasnya dengan perlahan, pejamkan mata dan berfikirlah, sadarlah betapa banyak orang yang tidak bisa melakukannya. Lalu teguklah sedikit demi sedikit, rasakan kenikmatannya dalam setiap tetes. Jangan terburu-terburu, karena tidak ada kenikmatan dalam terburu-buru. 

Kopi ini adalah kopi yang sama dengan yang kemarin, teh ini adalah teh yang sama dengan teh yang kemarin, tetapi sensasi kenikmatannya berbeda manakala kita bisa melakukan caranya. Kehidupanpun demikian kurang lebihnya tentang aktifitas di rumah, di jalan dan di tempat kerja sekalipun. Rumah yang kita tempati masih sama dengan yang kemarin, kendaraan yang kita pakai masih sama dengan yang kemarin, keluarga yang kita miliki adalah keluarga yang sama dengan kemarin. Manakala kita bisa menikmatinya dengan kesyukuran dan kesabaran, maka insya Allah disitulah muara kebahagiaan yang hakiki.

Allah A’lam.

Menyelesaikan Diri Sendiri

Perlombaan-perlombaan kehidupan yang tak pernah berhenti, baik pekerjaan, harta benda dan lain sebagainya terkadang membuat manusia melupakan jati dirinya sendiri, apatah lagi sifatnya manusia yang dengan keterbatasannya justru menyimpan keinginan-keinginan yang tak terbatas.

Anak-anak sekolah yang bingung ingin menjadi siapa dan bagaimana pun para pekerja yang bingung ingin seperti siapa dan bagaimana. Tentu ini semua lumrah bagi manusia, tetapi jika ia terjebak dalam persoalan ini, maka sesungguhnya ia tidak akan mampu melihat dirinya sendiri dengan bijak. Bahwa orang yang ia kagumi begitu mempesona, dan ia harus seperti itu untuk mempunyai pesona. Bahwa orang yang ia kagumi begitu bahagia dengan segala pekerjaan maupun berikut penghasilannya dan diapun harus seperti itu untuk mendapatkan kebahagiaan yang serupa. Dan seterusnya dan seterusnya.

Lalu bagaimana?

Seorang sahabat dengan arifnya memberikan nasehat  ,”Siapapun kita, dimanapun kita dan dalam posisi apapun kita, hal terpenting dan terawal adalah menyelesaikan persoalan diri kita sendiri, baik sebagai siapa, dimana dan dalam posisi apa”. Dalam artian kita tidak boleh gagal menjadi siapa kita, apa dan dimana. Ketika seorang mahasiswa dengan semangatnya yang luar biasa, menggebu-gebu menginginkan perubahan masyarakat bahkan tatanan negara, namun betapapun itu diejawantahkan dalam seminar, diskusi maupun demontrasi jalanan, selama ia tidak selesai dengan dirinya sendiri, kuliahnya tidak beres, sering alpa, tugas tidak dikerjakan dan seterusnya, maka sebenarnya ia pun telah memulainya dengan kegagalan. Sebab perubahan masyarakat bahkan negara adalah kolektifitas perubahan individu-individu di dalamnya.

Ketika orang berambisi untuk mendapatkan kehidupan mapan seperti orang lainnya, namun tidak menyelesaikan persoalan dirinya, kerjanya dan dengan segala pernak perniknya, maka sebenarnya ia pun telah memulainya dengan kegagalan, sebab kemapanan mereka yang telah mapan dimulai dari selesainya permasalah mereka. Mereka sudah jatuh bangun untuk menyelesaikan mapannya.

Ya benar, kita harus menyelesaikan permasalahan kita sendiri jika tidak ingin masalah yang menyelesaikan kita. Kita harus mampu mengenali siapa diri sendiri dengan baik, sebagai apa dan dimana, lalu berbuat baik semaksimal mungkin  sebagai siapa dan dimana 

Allah A’lam.