Translate

Selasa, 09 Mei 2017

Legenda "Gombal Mukiyo"


Jum’at Kliwon, Modosio 245 SM., padepokan Karang Kadempel pagi itu sudah diramai oleh jeritan dan teriakan para cantrik, pasalnya Gareng hendak mengakhiri hidupnya di tiang gantungan setelah cintanya kandas di tangan orang tua Katiyem. Sebenarnya, Bagong dan Petruk sudah mewanti-wanti saat Gareng mulai jatuh cinta pada Katiyem, Si putri bangsawan di Negeri Astino. Berhari-hari mereka berdua mengingatkan saudaranya itu untuk mengurungkan niatnya mempersunting Katiyem, sebab mereka tidak sekufu’ / beda kasta, dimana Gareng hanyalah Punokawan. 


Cinta adalah cinta, pikir Gareng, Ia harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan, apatah lagi si Katiyem, roro ayu pujaannya itu juga menerima cinta dirinya. Akhirnya, tanpa memperdulikan nasihat 2 (dua) saudaranya itu ia nekat pergi melamar kekasihnya, dan ternyata malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, orang tua Katiyem menolak mentah-mentah niat Gareng. Mereka ingin menikahkan putrinya dengan  Haryo Mukiyo, Si Juragan Wedus yang omset hartanya dimana-mana. Usut punya usut, ternyata beberapa hari sebelumnya Mukiyo sudah menyebarkan berita-berita hoak untuk mencemarkan nama baik Gareng, sehingga orang tua Katiyem pun semakin tidak tertarik dengannya.

Tentu saja Gareng misuh-misuh tanpa henti di perjalanan pulangnya, “Gombal kowe Mukiyo, Gombal kowe Mukiyo”, Katanya dengan marah. Petruk dan Bagong tak kuasa melihat penderitaan batin saudaranya yang begitu parah itu, akhirnya bapak angkat mereka Kyai Bodronoyo (Semar) menyarankan supaya Gareng diajak semedi untuk menembus ruang dan waktu, menemui Ki Joyo Binangun, begawan muda di Watu Dhakon. Kocap kacarito, sampailah 3 (tiga) orang bersaudara itu di depan Sang Resi.

Gareng pun dihujani pertanyaan perihal asal muasal  jatuh cintanya pada Katiyem, termasuk kenapa dirinya ditolak. Akhirnya, Sang Resi menasehatinya bahwa jodoh, rejeki, dan kematian adalah bagian takdir yang dikuasai Sang Moho Kuoso. Gareng harus bersabar atas ketentuan Gusti Sang Murbeng Dumadi, keihlasan dan kesabaran akan mengantarkannya kepada kebahagian lain, meskipun dirinya tidak bisa bersanding dengan pujaan hatinya.

Akhirnya, Ki Joyo Binangun menutup nasehatnya dengan kata-kata yang kelak di kenang oleh anak-anak muda bahwa “Kebersamaan dalam kebencian tidaklah seindah perpisahan yang dipenuhi cinta dan kerinduan”, begitu katanya.

“Tentu saja ini bukan kata-kata dukun, ataupun sabda Cak Lontong si Maestro Dagelan itu”, Kata Sang Resi, “Ini hanyalah perenungan atas banyak kejadian yang barangkali bisa diambil hikmahnya. Lihatlah, jika ada sepasang suami istri yang tiada berhenti untuk saling berseteru, karena mereka tidak sekufu’, niscaya keindahan rumah tangga tidak akan mereka temukan, karena mereka bukan menyulam cinta dan kasih sayang, melainkan  membangunnya dari serpihan-serpihan kebencian”.
...
Tamat.

0 komentar:

Posting Komentar