Translate

KI TOPO JOYO BINANGUN

HIDUPLAH DALAM GERAKAN KEBENARAN AGAR ENGKAU DIMASUKKAN DALAM GOLONGAN ORANG-ORANG YANG BENAR, MESKI SAAT INI KAMU BUKANLAH ORANG YANG BENAR.

Pantai Alexanderia Egypt

Demi masa, Manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

Masa Laloe

Anda tidak mungkin lagi merubah masa lalu, yang mungkin anda lakukan adalah meratapinya atau mensyukurinya untuk pijakan menatap masa depan.

Benteng Sholahuddin Al Ayyubi Alexanderia

Bersama KH. Fathullah Amin LC.

Al Azhar Conference Center (ACC)

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 29 Juni 2020

Tipologi Lembaga Pendidikan Islam


Jika sementara ini standar lembaga pendidikan (islam) ditimbang melalui akreditasinya, baik A, B ataupun nominal jumlah muridnya, maka tulisan ini mencoba melihat dari sudut pandang yang berbeda, yaitu dari budaya pendidikan yang diterapkan. Hanya saja karena penulisnya bukan pakar pendidikan, seandainya netizen yang terhormat tidak percaya, maka tidak mengapa, anggap saja ini mbeleges semata-mata .


Dari pengamatan tipis-tipis saya, maka lembaga pendidikan itu setidaknya bisa dikategorikan dalam 3 (tiga) kelompok besar, yaitu Pendidikan Kader, Pendidikan Setengah Kader, Pendidikan Seger Waras Full  Andum Slamet.

Nah berikut ini penjelasan mbelegedes-nya.

Pertama, Pendidikan Kader (Peka)

Lembaga yang termasuk PeKa bisa dilihat dari konsitensinya memperjuangkan ciri khas pendidikannya, tidak mudah ganti kurikulum atau kesusu ikut trend-trend pendidikan terbaru. Diantara ciri-ciri dasarnya adalah totalitas masing-masing dari wali, siswa dan pendidik/ lembaga dengan 4 (empat) T-nya, yaitu  Tego, Tatag, Tutuk dan Titis.

Tego (tega), artinya wali murid yang memasukkan ke lembaga ini biasanya pasrah bongkokan (memasrahkan sepenuhnya), mereka sudah insyaf/ bisa diinsyafkan bahwa proses pendidikan  tidak boleh ada campur tangan/ disandera secara langsung maupun tidak langsung baik dengan uang, pengaruh maupun pangkat jabatan yang dimiliki wali santri.

Tatag (tidak canggung), Artinya memiliki keberanian dalam memproses anak didik. Tidak ragu, tidak canggung, tidak takut. Tidak perduli anak orang kaya, miskin, semua di depan pendidikan berderajat sama. Saat benar dikuatkan, diapresiasi,  saat salah dibina, dan yang memang tidak mau maka dibinasakan (keluarkan). Tatag artinya mengerahkan daya upaya (uang, pemikiran, mujahadah) agar lembaga tidak hanya punya fasilitas yang patut untuk dianggap excelent, tetapi para pendidiknya juga bisa merasakan ihlas dan puas dalam mendidik. Tatag artinya tidak merasa canggung dengan ciri khas/ ke unikan yang dimiliki. Karena hal yang kuno misalnya, bagi sebagian orang justru tidak jarang unik dan apik bagi yang lain. Begitu pula hal yang bersifat baru/ modern. Ibarat setiap menu makanan, mempunyai penggemarnya masing-masing yang akan mencarinya.

Tutug (tuntas), maksudnya adalah para siswa yang masuk di lembaga model ini mayoritas memang sudah nawaitu. Tidak hanya mau membayar, namun juga belajar, mau bersaing, mau didik untuk sampai selesai (tuntas). Tutug tegese para pendidik dan lembaga tidak berhenti mengajar dan mendidik setelah lonceng tanda pulang berbunyi, melainkan berlanjut dengan hantaran doa mujahadah di keheningan malam para murrabby.

Titis (mengena), Out put dari lembaga ini seperti bacaan idhar (jelas) mudah dilihat, kalau keunggulannya bahasa, maka bahasanya maju dengan konsekuensi mungkin faktor lainnya mundur, tapi jelas ada yang titis di satu bidang unggulan, tidak abu-abu atau samar-samar seperti ikhfa’ haqiqi. Titis, lulusannya mampu menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan “kamu  bisa apa/ membuat apa/ berbuat apa?”


Karena model pendidikan kader (PeKa)begitu istimewah, maka kompetensi keilmuannya rata-rata cukup bagus. Imbasnya ke luar dengan izin Allah, grafik daya tarik pasar/ peminat pelan-pelan tapi pasti akan naik-naik dan semakin naik. Adapun ke dalam, kebanggaan dan cintanya pada almamater tidak diragukan lagi, baik oleh santri/ siswa, guru/ ustadznya, bahkan para wali pun bisa merasa sah untuk Ge Er karena punya anak bisa belajar di sana.


Ke Dua Pendidikan Setengah Kader (PSK)

Pola lembaga pendidikan ini lebih  banyak dijumpai di masyarakat kita. Dinamakan setengah kader, karena tidak meninggalkan sebagian ciri pengkaderan, namun demikian budaya pendidikannya mulai kurang konsisten/ istiqomah terhadap bentuk out put anak didiknya. Jadi mirip-mirip lagunya Armada Band, mau dibawa kemana hubungan kita?

Pasalnya, orientasi hasil pendidikan merujuk kepada kebutuhan pasar yang lagi trend. Lagi trend boarding school, rame-rame ikut boarding school, lagi trend sekolah berbasis tahfidz al qur’an, rame-rame ikutan, lagi trend berbasis life skill, rame-rame ikutan. Dan seterusnya.

Salahkah?

Tentu tidak sepenuhnya, barangkali itu adalah ijtihad terbaik dari pengelola lembaga untuk mengikuti arus zaman. Karena petuah bijak menyatakan, “segala sesuatu ada masanya, baik nge hit atapun suram, maka pandai-pandailah mengambil keputusan di momen yang tepat”. Terkecuali daripada itu, memang tidak dipungkiri bahwa perubahan zaman, situasi dan kondisi harus dijawab melalui perubahan model pendidikan oleh para pendidik/ lembaga pendidikan. Mereka yang tidak mau berubah bukan tidak saja mungkin tertinggal, bahkan lebih parah akan tergilas zaman. Betapa banyak pesantren salafiah di kampung-kampung yang menjadi al marhum, bahkan SDN-SDN yang biayanya ditanggung negara kukut di beberapa tahun terakhir ini. Kenapa? Jawabannya adalah karena “jumud”, tidak mampu merespon perkembangan zaman.


Perubahan model pendidikan memang perlu, namun jika tidak benar-benar matang dan sekedar bereuforia, ikutan rame-rame maka imbasnya kembali kepada lembaga sendiri, orang akan susah mengidentifikasikan bentuk lulusan. Ahli di bidang tertentu juga tidak, tidak ahli sama sekali juga tidak dan akhirnya out put nya pun tidak titis.


Ketiga, Pendidikan Full Seger Waras Andum Slamet.

Pendidikan ini dinilai paling banyak dari pada model pertama dan ke dua.  Biasanya mempunyai semboyan “daripada tidak”. Daripada tidak sekolah, daripada tidak ada gurunya, daripada tidak ada siswanya, daripada dan daripada. So imbasnya bisa dibayangkan, betapa mengurusi lembaga macam ini seperti pepatah  makan buah simalakama. Tidak diurusi eman-eman daripada mati, kalaupun diurusi kok layamutu wala yahya, tidak bermutu dan banyak biaya. Namun demikian, tetap harus dipertahankan karena keberadaanya adalah rahmat bagi semesta mereka yang punya semboyan “daripada tidak”.

Merahmati mereka yang daripada tidak sekolah
Merahmati mereka yang daripada tidak mengajar
Merahmati mereka yang daripada tidak disekolahkan anak-anaknya
Merahmati, dan merahmati.
Bukankah menabur rahmat adalah kemuliaan?

Maka model lembaga ini tidak boleh dibasmi, harus dibiarkan atau justru dibantu sampai masanya berubah, atau jika tidak.harus direlakan mati dengan sendirinya.

Tipe-tipe wali yang ada di lembaga ini beragam, ada yang toto dan ada yang kurang Toto. Mereka yang kurang toto itu kadang seperti ahlinya ahli, corenya the core sehingga sering protes terkait kebijakan, harus beginilah, kurang begitulah, apalagi jika anaknya dapat masalah di sekolah. Malang malang putung, rawe-rawe rantas, labrak sampai tuntas. Jadi selain tidak toto, tidak juga tego.

Ada pula type walinya yang seperti orang parkir sepedah, yang penting bayar  maka semuanya dianggap beres. Jadi setelah dipasrahkan anaknya di lembaga, entah mau jadi apa dan bagaimana perkembangan si anak…allahu a’lam, yang penting sudah bayar, dan bahkan ada juga type wali yang agak kelewatan. Untuk iuran berat, tapi kalau urusan shooping, jalan-jalan..jangan tanya lagi, pokoknya aaashiiaaap.

Sementara itu, para pendidiknya juga tidak bisa tutug, dari mendidik sebagai sebuah kewajiban, berubah menjadi mengajar sebagai rutinitas dan patut-patut. Kadang masuk, kadang tinggal derep. Lha bagaimana tidak, wong ngajar tidak dibayar sepatutnya, maka mengajarnya pun akhirnya seperlunya. Pas perlu ngajar ya ngajar, pas perlu kerja ya kerja.

Para pendidik juga tidak bisa tatag, Bagimana tidak, ada aura takut kehilangan murid, takut dimarahi orang tua siswa, takut tidak dapat bantuan, takut dan takut. Pada akhirnya murid-murid seger waras pun ambil kesempatan, masuk sekenanya, belajar seingatnya, dan ujian sebisanya, wong daripada tidak sekolah.
Jadi pendidikan model ini sungguh berjalan ala kadarnya daripada tidak berjalan, yang penting slamet dan seger waras, maka tidak heran hasilnyapun tidak benar-benar titis. Imbas keluar, masyarakat tidak akan bernafsu pada lembaga tersebut kecuali mereka yang punya slogan “daripada tidak”. Adapun efek ke dalam, jangan bicara tentang kebanggaan dan cinta muridnya pada almamater, bahkan gurunya pun bisa jadi tidak mlikun kalau ditanya “jenengan ngajar dimana?”


Allah A’lam.