MENGAJI*
Istilah “Ngaji” jika diotak
atik secara bahasa sebenarnya adalah singkatan dari Bahasa Jawa “Ngatur Jiwo”
dimana ia mengandung pengertian bahwa mengaji adalah aktifitas yang
digunakan untuk menata hati, perasaan dan fikiran dalam kaitannya sebagai
manusia. Terkecuali daripada peningkatan intelektualitas/ keilmuan,
sesungguhnya mengaji adalah bagian dari pelaksanaan ibadah.
Para ulama amat menghargai subtansi mengaji,
sehingga Syaich Imam Zarnuzi mengarang kitab khusus terkait hal ini, yang
tertuang dalam ta’lim al muta’alim. Kitab yang serupa dibuat oleh
beliau Hadratus Syaich Hasyim Asyari dengan judul Adab al ‘Alim wa al
Muta’alim. Selain itu, Ada banyak syair, maupun nash-nash wahyu yang
menekankan aktifitas ini baik secara tersurat dan tersirat.
Ibadah dan penataan hati adalah 2
(dua) hal yang setidaknya menjadi titik tolak berfikir bahwa seseorang yang
ingin mengaji seyogyanya memperhatikan aturan, etika maupun ketentuan sebagaimana
dalam kitab-kitab ta’lim. Selain itu, ada beberapa hal lainnya yang
tidak pentingnya untuk diindahkan adalah kerelaan hati untuk membuang
symbol/label yang melekat pada diri manusia, karena terkadang bisa menghalangi
proses transfer ilmu baik dari segi pemahaman, barakah ataupun kemanfaatannya.
Symbol adalah label yang tidak pernah
dibawa oleh manusia saat kelahirannya melainkan baru disematkan untuknya saat
ia telah melakukan sebuah usaha. Diantara symbol ataupun label yang melekat
pada manusia adalah symbol kedudukan. Posisi, jabatan ataupun kedudukan
seseorang di masyarakat terkadang menumbuhkan kesombongan, nah kesombongan
adalah penyakit hati yang sangat akut, sehingga bagaimana mungkin ngaji
menjadi bermakna manakala berkumpul di dalamnya sebuah penyakit.
Gelar Kyai, Haji, Ustadz, Guru, Buya,
Syaich adalah label yang tidak perlu dibawa-bawa dalam area ini, seseorang yang
ingin mengaji, mengaji saja. Embel-embel tidak perlu dibawa,
sebab terkadang bagaimanapun keagungan sebuah gelar, tanpa penyikapan yang arif
lagi-lagi akan menumbuhkan kesombongan. Hal ini telah dicontohkan oleh para
ulama’ besar yang pernah ada, Imam Ahmad berguru kepada Imam Syafi’i justru
ketika Ibnu Hambal ini telah menjadi ulama besar di kaumnya. Hujjatul Islam
Syaich Ghazali rela belajar kepada seorang guru desa yang tidak begitu dikenal justru
ketiga gelar-gelar keilmuan telah beliu sandang begitu megahnya. Bahkan para
pejuang Badar yang sanagat dihormati para sahabat pun pernah berguru tafsir
kepada Ibnu Abbas, pemuda belia yang cerdas di masa itu. Mereka adalah sedikit
contoh dari sekian banyak orang-orang besar yang tidak mungkin disebutkan
satu-persatu.
Symbol selanjutnya adalah organisasi,
kelompok, suku maupun budaya. Seseorang yang ingin benar-benar mengaji
seyogyanya membuang kesemuan label tadi, sebab kebenaran dan keluasan ilmu
pengetahuan yang Allah karuniakan kepada para manusia tidak terbatas pada
organisasi ataupun kelompok tertentu. Orang yang terlalu fanatik hanya mengaji
pada orang/ kelompok tertentu ibarat seorang yang mencari udara segar dalam
ruangan tertutup. Di ruangan tersebut ada jendela A, jendela B, C dan
seterusnya. Manakala ia mengkhususkan dirinya hanya pada 1 (satu) jendela maka
betapa sedikitnya udara segar yang ia peroleh. Pengkultusan pada kelompok dan
individu sangat tidak baik dalam pencarian ilmu, sebab kelompok bukanlah agama
yang pasti benar, sedangkan individu betapapun gelarnya sebagai ulama, ia
bukanlah Nabi dengan kemaksumannya. Seseorang bisa mengaji kepada banyak
kelompok dan orang-orang berbeda, karena pada akhirnya ia tetap memiliki
kebebasan berfikir untuk menentukkan sikap maupun menyaring dari semua
pengajian yang ia ikuti.
Allah A’lam.
Disampaikan
di Masjid Karang Mojo, Senin 07 Maret 2017
0 komentar:
Posting Komentar