Reinterpretasi Penjajahan Berfikir Obyektif terhadap Agama
Isu paling laku selain teroris yang sering disematkan kepada umat islam adalah “Radikal”.Banyak kalangan secara tidak arif dan bijaksana menyoalkan istilah ini sampai pada taraf yang tidak sesuai dengan porsinya. Para anti agama menggunakan media sebagai basis utama untuk menyebarkan ide bahwa radikal adalah sesuatu yang naif, bahkan meskipun disandingkan dengan agama. Pada dasarnya, mereka sedang tidak membidik kata radikal itu sendiri, melainkan agama adalah incaran sesungguhnya, adapun istilah radikal hanyalah alat pembidik belaka. Para pembenci agama seolah ingin mengaburkan makna subtansi dari kata ini dan menciptannya sebagai benda yang mengerikan/ sadis. Padahal harus ada pemaknaan yang disepakati terkait dengan hal ini, sebab “radikal” adalah kata yang bisa disandingkan dengan “militan” dan begitu juga kata “anarkis”.
Jika radikal dilekatkan atau dimaknai sebagai sifat yang militan, maka justru radikal adalah sikap yang diharuskan, sebab tanpa radikalnya para pejuang, maka kemerdekaan sulit diwujudkan. Lebih daripada itu jika dikaitkan dengan keimanan. Makna radikal baru berubah menjadi sesuatu yang buruk manakala diartikan sebagai anarkis. Padahal anarkis dan radikal adalah dua kata yang mempunyai makna tersendiri. Jikapun kita mengalah bahwa makna radikal adalah anarkis, maka berfikir secara obyektif tetaplah merupakan keharusan, bahwa anarkis tidaklah semata-mata datang dari agama,melainkan bisa datang dari tangan kaum penolak agama (atheis), ideologi partai politik maupun kelompok lainnya. Justru kemunculan agama adalah bentuk dari peredaman konflik maupun anarkhis-anarkis yang timbul di masyarakat baik secara langsung dan tak langsung melalui norma, etika maupun aturan-aturan agama.
Jika pun kita mengalah untuk ke sekian kalinya bahwa kita menerima bahwa radikal adalah sesuatu yang buruk, dan berasal dari agama. Maka lagi-lagi berfikir objektif tetap harus dikedepankan. Bahwa agama di dunia ini bermacam-macam, Islam hanyalah salah 1 (satu) agama yang ada. Tetapi kenyataannya, para penguasa yang melacurkan diri kepada kaum pembenci agama bahu membahu menghegemoni masyarakat dengan memunculkan image kepada masyarakat bahwa islam adalah radikal itu sendiri. Media media berkerja sama membuktikan data data terorisme yang dilakukan umat islam, baik skala nasional maupun internasional, padahal aksi-aksi teror yang mengatasnamakan agama tidak hanya dilakukan kaum islam, pembakaran masjid di Tolikara Papua dilakukan kaum kristen. Pembantaian suku Rohingnya dilakukan pemuka Budha dengan pemeluk taatnya. Dan manusia masih bisa membaca sejarah terjadinya perang salib selama ratusan tahun dilakukan oleh 2 (dua) agama besar, yaitu islam dan kristen.
Kalaupun data-data kekerasan yang dilakukan oleh kelompok atas nama agama islam, maka itupun harus ditinjau ulang. Sebab kejadian fenomenal terkait tragedi 11 September di WTC sampai saat ini masih menyimpan tanda tanya, benarkah umat islam sebagai pelaku utama, bukankah penghancuran sedahsyat itu hanya mampu dilakukan oleh Amerika sendiri sebagai negara super power saat ini. Terkecuali daripada itu, nilai-nilai dasar islam menolak anarkisme bahkan atas nama agama. Nyawa adalah sesuatu benda berharga yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Bahkan maqasid syariah yang merupakan salah satu unsur pengambilan hukum islam, perlindungan terhadap jiwa manusia termasuk dalam point-point yang utama.
Sebagai penutup tulisan sederhana ini, penghakiman islam sebagai agama yang radikal adalah anarkisme itu sendiri. Sebab anarkisme tidak hanya berupa tindakan, melainkan juga anarkisme yang timbul dari aspek verbal.
Allah A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar