Antara Realistis dan Materialistis*
Manusia terkadang terlalu kejam untuk
menilai pribadi orang lain, tetapi disaat yang sama begitu toleran atas aib
yang terdapat pada dirinya. Kesimpulan ini tidak muncul secara tiba-tiba,
tetapi berasal dari perenungan mendalam atas apa yang saya dengar, saya lihat
ataupun alami dalam kehidupan masyarakat secara umum dan di lembaga-lembaga
berbasis agama secara khusus. Baik sekolah, Madrasah Diniyah (TPA/TPQ), Masjid,
maupun pondok pesantren.
Kaitannya dengan agama, banyak orang
yang salah kaprah dalam membedakan antara realistis dan metarialistis, padahal
senyatanya antara keduanya ada perbedaan yang sangat mendasar. Realistis secara
sederhana saya artikan sebagai cara berfikir tentang realita atau apa yang
memang terjadi dan bukan yang seharusnya terjadi. Bahwa realita adalah realita,
ia harus diletakkan di posisinya sebagaimana ada pembedaan antara das sollen
dan das sein. Orang yang berfikir realistis tidak akan berlari meninggalkan
realita yang ia hadapi dalam kehidupannya meskipun di saat yang sama jiwanya
sedang terbang menuju ruang-ruang ghaib keimanan.
Adapun materialistis adalah cara
berfikir yang endingnya selalu tertuju pada materi.
Waktu, tenaga, bahkan fikiran adalah sesuatu yang harus dihargai dengan materi.
Bagi orang yang berfikir materialistis, maka tidak ada istilah makan siang
gratis atau semua tindakan tidak boleh tidak, kecuali harus ada harga
materi sebagai imbalannya. Apa yang tidak bisa ditangkap oleh panca indera
tidak boleh digunakan sebagai standar harga, seperti ucapan terima kasih,
pahala dan bahkan syurga sekalipun. Materi adalah materi dengan keberadaannya,
begitulah kurang lebihnya.
Kesalahan berfikir terkait 2 (hal) di
atas dan menjadi kelaziman di masyarakat adalah masih banyaknya anggapan bahwa
kelangsungan agama ini tidak perlu menjadi tanggungan mereka. Dus..akhirnya banyak
Lembaga Dakwah Agama dari sekelas TPA/TPQ sampai Pondok Pesantren terbengkalai.
Arti terbengkalai tergambar dari acuh-acuh tak acuhnya mereka dalam menyengkuyung
hidup matinya lembaga itu, jangankan memajukan, kalau untuk menjaga agar tidak
mati saja tidak didifikirkan, apalagi untuk berfikir tentang kemajuan nonsen.
Para wali santri merasa cukup membayar uang rata-rata berkisar Rp 10.000 (sepuluh
ribu rupiah) sekelas TPA dan Rp 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah) sekelas
pesantren perbulan. bahkan ada juga yang merasa tidak perlu membayar, toh para gurunya
harus ihklas dalam mengajar.
Minimnya anggaran pendidikan agama
menjadikan banyak guru-guru TPA tidak dibayar sama sekali bahkan untuk sekedar
beli bensin. Sirkulasi keuangan lembaga habis untuk membeli ATK dan listrik
maupun air. Lingkungan lembaga yang lebih tinggi semisal madarash/ pondok
pesantren tidak juga lebih baik dari yang tersebut di atas, dimana para ustadz/
ustadzahnya tidak diperhatikan/ difikirkan secara serius oleh wali santri. Banyak
guru-guru saya di berbagai tempat yang gajinya perbulan tidak lebih besar dari
separuh dari penjual pentol keliling. Kenapa? Karena tidak ada anggaran yang
memadai untuk menggaji. Mayoritas wali santri/ atau bahkan Kyai/Pimpinan lembaga berfikir bahwa gaji sekian itu
sudah memadai bagi para guru. Bahkan kalau perlu mereka hanya cukup
digaji dengan pahala keihlasan sebagaimana yang sering didengungkan oleh
para Kyai dan ketua lembaga.
Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan
majelis-majelis ta’lim baik yang dikelola oleh lembaga maupun masjid. Rata-rata
para takmir dan jama’ah masih berfikir bahwa kegiatan-kegiatan ta’lim tidak
begitu membutuhkan dana, bahkan kalau perlu tidak ada sama sekali. Karena mengaji
dan ta’lim adalah urusan agama, maka materi menjadi tabu untuk
disinggung. Hak menilai keihlasan dan memberikan reward pahala yang sebenarnya
menjadi hak prerogratif Tuhan pun kemudian diambil oleh para takmir dan jama’ah.
Mereka merasa berhak untuk menilai keihlasan para pendakwah, dan merasa telah
sah untuk menyematkan “pahala” bagi mereka.
Menyoal terkait gaji adalah sesuatu
yang tabu dan dianggap materialistis, bahkan untuk menghindari kata “gaji”,
banyak lembaga dakwah yang mengganti namanya dengan sebutan bisyarah
dimana arti aslinya adalah kabar gembira. Istilah lain yang sering dipakai
adalah ihsan (kebaikan). Sebenarnya, dilihat dari sudut pandang nama
saja, saya berfikir bahwa pemberian itu bukan bentuk dari wujud penghargaan
terhadap para pendakwah, melainkan bentuk rasa kasihan terhadap mereka. bukankah
ini setidaknya memberikan gambaran bahwa kita kebanyakan tidak punya
penghargaan serius terhadap kelangsungan agama/ dakwah.
Pertanyaan menarik untuk kemudian
dilontarkan adalah kenapa begitu mudah mayoritas masyarakat kita, wali santri
secara khusus, para takmir masjid dan bahkan para Kyai/ Ust Pimpinan Pesantren
melabelkan kata “enggak ihlas” dan bahkan materialistis kepada mereka yang
kadang mempertanyakan gaji?.
Tulisan sederhana ini mengajak kita
bersama untuk sadar berfikir bahwa kita secara real adalah manusia yang
hidup di dunia dengan segala realitanya. Demikian pula Para Guru TPA/TPQ,
Ustadz, Dai adalah manusia seperti kita
pada umumnya. Mereka hidup dalam kenyataan hidup, bahwa kita makan dan minum,
merekapun sama, kita punya anak yang butuh pendidikan, mereka juga, bahkan kita
adalah bagian masyarakat yang harus berkontribusi baik secara moril dan materil
kepada masyarakat, pun begitu mereka terhadap lingkungannya.
Artinya, mereka mempunyai tanggung
jawab sebagai pendakwah serta mengorbankan waktu, tenaga, fikiran dan bahkan materi. Tetapi
di saat yang sama, realitanya mereka adalah orang-orang yang kebutuhannya tidak
jauh beda dengan kita. Wal hasil, tidak sedikit kita jumpai para guru mengaji
yang hidup seadanya, dan tidak banyak yang bisa dibilang cukup dalam standar
masyarakat. Jangankan mampu membuat rumah yang menghabiskan biaya besar, untuk
memenuhi kebutuhan tanpa hutang itu sudah lumayan kalau terpenuhi. Kalaupun ada
yang mampu beli ini dan itu, membangun ini dan itu,itu bukan hasil gaji,
melainkan terkadang berasal dari warisan orang tuanya, atau pinter-pinternya si
guru mengatur dan membagi waktu, ngubet-ngubetne tenaga dan fikiran.
Mari berfikir realistis, saat
masyarakat sudah di ambang materlialistis kemudian mereka melihat para
pendakwah hidupnya rata-rata di bawah garis kemiskinan atau jauh dari kata
patut untuk disebut cukup, maka jangan salahkan banyak orang tua yang tidak merelakan
anaknya untuk terjun di dunia agama. Karena mereka menyaksikan secara
realita bagaimana nasib para guru, ustadz, maupun kyai kelas kecil. Parahnya kenyataan ini sudah menjamur dan
mewabah tidak saja orang awam, melainkan para pengurus lembaga/organisasi
keagamaan. Coba cek, ada berapa persen perbandingan Pimpinan Muhammdiyah dari
ranting sampai pusat yang mau merelakan anak-anaknya untuk terjun bertafaqquh
dalam agama dibandingkan mereka yang
menyekolahkan keturunanya di sektor bisnis, politik maupun kedokteran. Kenapa? Alasannya
sederhana sebenarnya, karena agama dengan pendidikannya tidak menjanjikan
kehidupan.
Polemik tidak akan berhenti sampai di
sini, melainkan masyarakat sendiri (kita) pada akhirnya yang akan kekurangan
pendakwah mumpuni dalam bidang agama. Sepakat dengan pernyataan Kyai Ahmad
Syarwat, pengasuh rumah syariah, bahwa kita sekarang tidak kekurangan
penceramah, tapi kekurangan ulama’. Banyak orang sekarang menjadi ceramah tanpa
ilmu yang memadai, terlepas apakah ia mempunyai basic agama yang cukup untuk
hal itu, baik belajar agama secara formal maupun non formal. Wal hasil ustadz
dadakan, artis dan bahkan komedian pun sekarang bisa tampil di mimbar-mimbar
agama. Apalagi masyarakat terkadang tidak selektif ditambah peran media dalam
mengorbitkan seseorang. Yang penting penampilan meyakinkan, gaya bahasa yang
lucu dan menghibur, sudah sah untuk menjadi pendakwah.
Mari kita sadar dan menyadarkan
sesama untuk berfikir realistis dan tidak terburu-buru menghukumi materialistis
kepada orang lain. Kalau kita masih berfikir bahwa bensin itu bisa dibeli
dengan pahala, beras bisa ditukar dengan keihlasan, maka sungguh kita manusia
yang bukan saja tidak mempunyai empati yang cukup, melainkan sangat tidak
realistis.
Jika kita masih membebani anak didik
untuk membayar pendidikannya dengan materi, kemudian setelah mereka lulus kita
gunakan tenaga mereka dengan imbalan cukup ucapan terima kasih dan janji
pahala, maka kita benar-benar tidak realistis.
Jika kita menginginkan generasi dengan
pendidikan agama yang baik dan maju, kemudian tidak ada upaya serius untuk
mengusahakannya seperti seriusnya kita berusaha untuk mampu memiliki ini dan
itu, maka sungguh benar-benar tidak realistis.
Kalau para kyai, pimpinan lembaga
keagamaan, para takmir dan semisalnya yang nota bene bersinggungan langsung
dengan aktifitas dakwah, tetapi tidak mampu berfikir realistis dan justru
dengan mudah menilai materialistis, maka bagaimana halnya dengan masyarakat
awam.
Kita tidak mempunyai hak menilai
keihlasan orang lain dan tidak mempunyai pahala untuk diberikan kepada manusia,
bahkan kalaupun kita bergelar Sang Kyai pun. Keduanya berada dalam areal
Ketuhanan. Manusia sebagai manusia, lakukanlah apa yang bisa dilakukan
sebagaimana manusia, sebab jika tidak, saya takut kita bisa menjadi manusia yang tidak mampu memanusiakan
orang lain, gara gara kita bertopeng dengan kata ihlas dan pahala
untuk menyuruh orang lain.
Di akhir tulisan ini, tidaklah adil
jika saya hanya menyinggung masyarakat, takmir, wali murid, Kyai untuk berfikir
realistis tanpa menyeru kepada para pendakwah untuk tidak berfikir
materialistis. Memang kita manusia yang hidup dalam alam nyata dengan segala
konsekuensinya, namun kaitannya dengan dakwah, sejatinya hubungan para pendakwah
bukan dengan manusia melainkan dengan Sang Maha Pencipta itu sendiri. Sehingga sangat
tidak patut seorang pendakwah berfikir materialistis sebagaimana sebagaian
dai-dai bertarif. Jangan mengukur kesakralan agama, jangan menjual letihmu
dalam mencari ilmu, jangan mengukur kerut keningmu dalam menyampaikan ilmu
dengan nilai-nilai materi yang dikenal oleh masyarakat.
Allah A’lam.
*Renungan wong ndeso untuk kelangsungan
dakwah”.
0 komentar:
Posting Komentar