Translate

Selasa, 07 Maret 2017

Antara Realistis dan Materialistis

Antara Realistis dan Materialistis*
Manusia terkadang terlalu kejam untuk menilai pribadi orang lain, tetapi disaat yang sama begitu toleran atas aib yang terdapat pada dirinya. Kesimpulan ini tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi berasal dari perenungan mendalam atas apa yang saya dengar, saya lihat ataupun alami dalam kehidupan masyarakat secara umum dan di lembaga-lembaga berbasis agama secara khusus. Baik sekolah, Madrasah Diniyah (TPA/TPQ), Masjid, maupun pondok pesantren.

Kaitannya dengan agama, banyak orang yang salah kaprah dalam membedakan antara realistis dan metarialistis, padahal senyatanya antara keduanya ada perbedaan yang sangat mendasar. Realistis secara sederhana saya artikan sebagai cara berfikir tentang realita atau apa yang memang terjadi dan bukan yang seharusnya terjadi. Bahwa realita adalah realita, ia harus diletakkan di posisinya sebagaimana ada pembedaan antara das sollen dan das sein. Orang yang berfikir realistis tidak akan berlari meninggalkan realita yang ia hadapi dalam kehidupannya meskipun di saat yang sama jiwanya sedang terbang menuju ruang-ruang ghaib keimanan.

Adapun materialistis adalah cara berfikir yang endingnya selalu tertuju pada materi. Waktu, tenaga, bahkan fikiran adalah sesuatu yang harus dihargai dengan materi. Bagi orang yang berfikir materialistis, maka tidak ada istilah makan siang gratis atau semua tindakan tidak boleh tidak, kecuali harus ada harga materi sebagai imbalannya. Apa yang tidak bisa ditangkap oleh panca indera tidak boleh digunakan sebagai standar harga, seperti ucapan terima kasih, pahala dan bahkan syurga sekalipun. Materi adalah materi dengan keberadaannya, begitulah kurang lebihnya.

Kesalahan berfikir terkait 2 (hal) di atas dan menjadi kelaziman di masyarakat adalah masih banyaknya anggapan bahwa kelangsungan agama ini tidak perlu menjadi tanggungan mereka. Dus..akhirnya banyak Lembaga Dakwah Agama dari sekelas TPA/TPQ sampai Pondok Pesantren terbengkalai. Arti terbengkalai tergambar dari acuh-acuh tak acuhnya mereka dalam menyengkuyung hidup matinya lembaga itu, jangankan memajukan, kalau untuk menjaga agar tidak mati saja tidak didifikirkan, apalagi untuk berfikir tentang kemajuan nonsen. Para wali santri merasa cukup membayar uang rata-rata berkisar Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah) sekelas TPA dan Rp 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah) sekelas pesantren perbulan. bahkan ada juga yang merasa tidak perlu membayar, toh para gurunya harus ihklas dalam mengajar.

Minimnya anggaran pendidikan agama menjadikan banyak guru-guru TPA tidak dibayar sama sekali bahkan untuk sekedar beli bensin. Sirkulasi keuangan lembaga habis untuk membeli ATK dan listrik maupun air. Lingkungan lembaga yang lebih tinggi semisal madarash/ pondok pesantren tidak juga lebih baik dari yang tersebut di atas, dimana para ustadz/ ustadzahnya tidak diperhatikan/ difikirkan secara serius oleh wali santri. Banyak guru-guru saya di berbagai tempat yang gajinya perbulan tidak lebih besar dari separuh dari penjual pentol keliling. Kenapa? Karena tidak ada anggaran yang memadai untuk menggaji. Mayoritas wali santri/ atau bahkan Kyai/Pimpinan lembaga berfikir bahwa gaji sekian itu sudah memadai bagi para guru. Bahkan kalau perlu mereka hanya cukup digaji dengan pahala keihlasan sebagaimana yang sering didengungkan oleh para Kyai dan ketua lembaga.

Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan majelis-majelis ta’lim baik yang dikelola oleh lembaga maupun masjid. Rata-rata para takmir dan jama’ah masih berfikir bahwa kegiatan-kegiatan ta’lim tidak begitu membutuhkan dana, bahkan kalau perlu tidak ada sama sekali. Karena mengaji dan ta’lim adalah urusan agama, maka materi menjadi tabu untuk disinggung. Hak menilai keihlasan dan memberikan reward pahala yang sebenarnya menjadi hak prerogratif Tuhan pun kemudian diambil oleh para takmir dan jama’ah. Mereka merasa berhak untuk menilai keihlasan para pendakwah, dan merasa telah sah untuk menyematkan “pahala” bagi mereka.  

Menyoal terkait gaji adalah sesuatu yang tabu dan dianggap materialistis, bahkan untuk menghindari kata “gaji”, banyak lembaga dakwah yang mengganti namanya dengan sebutan bisyarah dimana arti aslinya adalah kabar gembira. Istilah lain yang sering dipakai adalah ihsan (kebaikan). Sebenarnya, dilihat dari sudut pandang nama saja, saya berfikir bahwa pemberian itu bukan bentuk dari wujud penghargaan terhadap para pendakwah, melainkan bentuk rasa kasihan terhadap mereka. bukankah ini setidaknya memberikan gambaran bahwa kita kebanyakan tidak punya penghargaan serius terhadap kelangsungan agama/ dakwah.

Pertanyaan menarik untuk kemudian dilontarkan adalah kenapa begitu mudah mayoritas masyarakat kita, wali santri secara khusus, para takmir masjid dan bahkan para Kyai/ Ust Pimpinan Pesantren melabelkan kata “enggak ihlas” dan bahkan materialistis kepada mereka yang kadang mempertanyakan gaji?.

Tulisan sederhana ini mengajak kita bersama untuk sadar berfikir bahwa kita secara real adalah manusia yang hidup di dunia dengan segala realitanya. Demikian pula Para Guru TPA/TPQ, Ustadz, Dai  adalah manusia seperti kita pada umumnya. Mereka hidup dalam kenyataan hidup, bahwa kita makan dan minum, merekapun sama, kita punya anak yang butuh pendidikan, mereka juga, bahkan kita adalah bagian masyarakat yang harus berkontribusi baik secara moril dan materil kepada masyarakat, pun begitu mereka terhadap lingkungannya.

Artinya, mereka mempunyai tanggung jawab sebagai pendakwah serta mengorbankan  waktu, tenaga, fikiran dan bahkan materi. Tetapi di saat yang sama, realitanya mereka adalah orang-orang yang kebutuhannya tidak jauh beda dengan kita. Wal hasil, tidak sedikit kita jumpai para guru mengaji yang hidup seadanya, dan tidak banyak yang bisa dibilang cukup dalam standar masyarakat. Jangankan mampu membuat rumah yang menghabiskan biaya besar, untuk memenuhi kebutuhan tanpa hutang itu sudah lumayan kalau terpenuhi. Kalaupun ada yang mampu beli ini dan itu, membangun ini dan itu,itu bukan hasil gaji, melainkan terkadang berasal dari warisan orang tuanya, atau pinter-pinternya si guru mengatur dan membagi waktu, ngubet-ngubetne tenaga dan fikiran.

Mari berfikir realistis, saat masyarakat sudah di ambang materlialistis kemudian mereka melihat para pendakwah hidupnya rata-rata di bawah garis kemiskinan atau jauh dari kata patut untuk disebut cukup, maka jangan salahkan banyak orang tua yang tidak merelakan anaknya untuk terjun di dunia agama. Karena mereka menyaksikan secara realita bagaimana nasib para guru, ustadz, maupun kyai kelas kecil.  Parahnya kenyataan ini sudah menjamur dan mewabah tidak saja orang awam, melainkan para pengurus lembaga/organisasi keagamaan. Coba cek, ada berapa persen perbandingan Pimpinan Muhammdiyah dari ranting sampai pusat yang mau merelakan anak-anaknya untuk terjun bertafaqquh  dalam agama dibandingkan mereka yang menyekolahkan keturunanya di sektor bisnis, politik maupun kedokteran. Kenapa? Alasannya sederhana sebenarnya, karena agama dengan pendidikannya tidak menjanjikan kehidupan.

Polemik tidak akan berhenti sampai di sini, melainkan masyarakat sendiri (kita) pada akhirnya yang akan kekurangan pendakwah mumpuni dalam bidang agama. Sepakat dengan pernyataan Kyai Ahmad Syarwat, pengasuh rumah syariah, bahwa kita sekarang tidak kekurangan penceramah, tapi kekurangan ulama’. Banyak orang sekarang menjadi ceramah tanpa ilmu yang memadai, terlepas apakah ia mempunyai basic agama yang cukup untuk hal itu, baik belajar agama secara formal maupun non formal. Wal hasil ustadz dadakan, artis dan bahkan komedian pun sekarang bisa tampil di mimbar-mimbar agama. Apalagi masyarakat terkadang tidak selektif ditambah peran media dalam mengorbitkan seseorang. Yang penting penampilan meyakinkan, gaya bahasa yang lucu dan menghibur, sudah sah untuk menjadi pendakwah.

Mari kita sadar dan menyadarkan sesama untuk berfikir realistis dan tidak terburu-buru menghukumi materialistis kepada orang lain. Kalau kita masih berfikir bahwa bensin itu bisa dibeli dengan pahala, beras bisa ditukar dengan keihlasan, maka sungguh kita manusia yang bukan saja tidak mempunyai empati yang cukup, melainkan sangat tidak realistis.

Jika kita masih membebani anak didik untuk membayar pendidikannya dengan materi, kemudian setelah mereka lulus kita gunakan tenaga mereka dengan imbalan cukup ucapan terima kasih dan janji pahala, maka kita benar-benar tidak realistis.

Jika kita menginginkan generasi dengan pendidikan agama yang baik dan maju, kemudian tidak ada upaya serius untuk mengusahakannya seperti seriusnya kita berusaha untuk mampu memiliki ini dan itu, maka sungguh benar-benar tidak realistis.

Kalau para kyai, pimpinan lembaga keagamaan, para takmir dan semisalnya yang nota bene bersinggungan langsung dengan aktifitas dakwah, tetapi tidak mampu berfikir realistis dan justru dengan mudah menilai materialistis, maka bagaimana halnya dengan masyarakat awam.
Kita tidak mempunyai hak menilai keihlasan orang lain dan tidak mempunyai pahala untuk diberikan kepada manusia, bahkan kalaupun kita bergelar Sang Kyai pun. Keduanya berada dalam areal Ketuhanan. Manusia sebagai manusia, lakukanlah apa yang bisa dilakukan sebagaimana manusia, sebab jika tidak, saya takut kita  bisa menjadi manusia yang tidak mampu memanusiakan orang lain, gara gara kita bertopeng dengan kata ihlas dan pahala untuk menyuruh orang lain.

Di akhir tulisan ini, tidaklah adil jika saya hanya menyinggung masyarakat, takmir, wali murid, Kyai untuk berfikir realistis tanpa menyeru kepada para pendakwah untuk tidak berfikir materialistis. Memang kita manusia yang hidup dalam alam nyata dengan segala konsekuensinya, namun kaitannya dengan dakwah, sejatinya hubungan para pendakwah bukan dengan manusia melainkan dengan Sang Maha Pencipta itu sendiri. Sehingga sangat tidak patut seorang pendakwah berfikir materialistis sebagaimana sebagaian dai-dai bertarif. Jangan mengukur kesakralan agama, jangan menjual letihmu dalam mencari ilmu, jangan mengukur kerut keningmu dalam menyampaikan ilmu dengan nilai-nilai materi yang dikenal oleh masyarakat.

Allah A’lam.

 *Renungan wong ndeso untuk kelangsungan dakwah”.

0 komentar:

Posting Komentar