Alam telah menjadi saksi bahwa saat manusia terlahir dunia, ia terlahir tanpa sebuah embel-embel/ symbol apapun yang melekat pada dirinya kecuali symbol kefitrahan sebagaimana tertuang dalam sabda Nabi SAW bahwa setiap anak Adam terlahir dalam keadaan Fitrah. Maksud daripada fitrah di sini tidak lain adalah fitrah keimanan/keislaman, hal ini sebagaimana didapatkan dari lanjutan hadis nabi bahwa orang tua si anak lah yang berpotensi menjadikan anaknya seorang Yahudi, Majusi ataupun Nasrani.
Symbol yang melekat pada diri manusia
ini dikemudian hari bertambah seiring dengan perkembangan usianya, ada Jabatan,
pekerjaan, profesi, suku, kewarganegaraan, organisasi dan bahkan agama adalah
symbol manusia. Sebagai agama yang rahmatan lil a’alamin, Islam tidak menghalangi
manusia untuk mempunyai symbol-symbol tersebut, hanya saja symbol Islam adalah
asas, pondasi yang tidak boleh dikalahkan oleh yang lainnya, sebab Islam adalah
keselamatan. Artinya, menjadi Islam tidak menghalangi seseorang menjadi Jawa,
Madura, Eropa, ataupun berprofesi sebagai guru, pebisnis dan lain sebagainya,
bahkan polisi sekalipun. Label sebagai orang Jawa tidak bertentangan dengan
keislaman, jadi meski orang Jawa tetapi muslim, bukan dibalik
bahwa meski muslim tetapi Jawa.
Artinya saat ada pertentangan antara
nilai-nilai kejawen sebagai ruh orang Jawa dengan nilai-nilai keislaman, maka
Islam harus dikedepankan. Contoh dari pernyataan pertama adalah budaya nyadran.
Bahwa ini adalah bagian budaya Jawa, tetapi karena bertentangan dengan
nilai-nilai keislaman, maka nyadran harus dikalahkan, toh menjadi Jawa
tidak harus nyadaran. Bukan sebaliknya, yaitu pernyataan meskipun
Islam tapi Jawa, karena imbasnya akan begini, islam ya islam mas, tapi
wayahe nyadran yo nyadran, sebab awa’e dewe wong jowo.
Terkecuali daripada itu, islam juga
tidak melarang seseorang untuk mendapatkan label dalam bidang profesi tertentu,
contohnya menjadi Polisi. Polisi adalah pekerjaan yang mulia, karena mempunyai
tugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Tetapi meskipun demikian, tetaplah
identitas muslimnya tidak boleh dikalahkan. Bahwa polisi ya polisi, namun tetaplah indentitas keislamannya tidak tertimbun oleh label profesinya. Bukan sebaliknya, dimana label profesinya sebagai seorang polisi mengalahkan label keislaman islam ya islam tetapi polisi bos.
Mohon maaf kalau saya sampaikan hal
ini, mumpung kebetulan yang mengisi adalah anggota kepolisian, sebab
akhir-akhir ini sebagian umat islam yang telah banyak berjasa pada negeri ini
tersakiti dengan wafatnya saudara seiman kita Siyono tanpa kesalahan yang dapat
dibuktikan. dimana salah satu aktor nyata adalah Densus 88 yang merupakan bagian dari kepolisian. Akhir-akhir ini, warga persyarikatan terutama, merasa sangat
berduka dengan kasus penghinaan agama yang belum juga usai, bahkan buntutnya
pemanggilan kepada sebagian ulama’ kita termasuk Ust. Bachtiar Nasir sebagai
bagian dari persyrikatan. Masyarakat sudah cerdas dan melek
politik, mereka melihat dengan mata kepala sendiri, mendengar dengan jelas bagaimana perlakuan aparat terhadap Ahok yang merupakan tersangka dengan Bachtiar Nasir yang harus berurusan dengan kepolisian dengan dalih pencucian uang.
2 (dua) contoh kecil di atas adalah sedikit dari banyak contoh yang memaksa saya secara pribadi teringat kata-kata orang yang pernah didaulat sebagai Guru Bangsa, Abdur Rahman Wahid sebagaimana ramai dikutip media sosial beberapa tahun lalu. Katanya, “Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng (mantan Kapolri kelima, Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso).Ini tentu menjadi sebuah keprihatinan bagi kita bagi semua. Persoalan ini tidak hanya berimbas pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian, tetapi bisa menimbulkan kebencian dalam skala luas, utamanya dari masyarakat islam yang menjadi korban.
Namun demikian, saat krisis kepecercaayan yang begitu akut mewabah di masyarakat, warga Balong setidaknya masih memiliki sedikit harapan terhadap manusia yang berprofesi sebagai polisi, contohnya malam ini dimana Bapak Jarwo yang notabene merupakan anggota kepolisian (POLRES) Ponorogo diundang sebagai penceramah Pengajian Malam Bulan Purnama, ini adalah satu alasan saya "dengan tidak mengurangi hormat saya atas pernyataan Gusdur", untuk menambahi 4 kategori polisi jujur/ baik yaitu: 1. Patung Polisi, 2. Polisi Tidur, 3. Bpk. Hoegoeng Imam Santoso dan yang terakhir adalah bapak Sujarwo serta orang-orang sepertinya, karena selain akrab dengan umat islam, juga mau mengaji dan bahkan mengisi pengajian. Semoga virus kebaikan Pak Jarwo menular pada polisi-polisi yang lain di Indonesia, bukan hanya polisi kelas bawah, bahkan kalau perlu tingkat Kapolri.
2 (dua) contoh kecil di atas adalah sedikit dari banyak contoh yang memaksa saya secara pribadi teringat kata-kata orang yang pernah didaulat sebagai Guru Bangsa, Abdur Rahman Wahid sebagaimana ramai dikutip media sosial beberapa tahun lalu. Katanya, “Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng (mantan Kapolri kelima, Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso).Ini tentu menjadi sebuah keprihatinan bagi kita bagi semua. Persoalan ini tidak hanya berimbas pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian, tetapi bisa menimbulkan kebencian dalam skala luas, utamanya dari masyarakat islam yang menjadi korban.
Namun demikian, saat krisis kepecercaayan yang begitu akut mewabah di masyarakat, warga Balong setidaknya masih memiliki sedikit harapan terhadap manusia yang berprofesi sebagai polisi, contohnya malam ini dimana Bapak Jarwo yang notabene merupakan anggota kepolisian (POLRES) Ponorogo diundang sebagai penceramah Pengajian Malam Bulan Purnama, ini adalah satu alasan saya "dengan tidak mengurangi hormat saya atas pernyataan Gusdur", untuk menambahi 4 kategori polisi jujur/ baik yaitu: 1. Patung Polisi, 2. Polisi Tidur, 3. Bpk. Hoegoeng Imam Santoso dan yang terakhir adalah bapak Sujarwo serta orang-orang sepertinya, karena selain akrab dengan umat islam, juga mau mengaji dan bahkan mengisi pengajian. Semoga virus kebaikan Pak Jarwo menular pada polisi-polisi yang lain di Indonesia, bukan hanya polisi kelas bawah, bahkan kalau perlu tingkat Kapolri.
*Disampaikan sebagai pengantar dan penyambut acara
pengajian Akbar Malam Bulan Purnama di Masjid Ar Rahmah Balong, senin 13 Maret
20117, yang diisi oleh Bpk. Sujarwo (Anggota Polres Ponorogo)
0 komentar:
Posting Komentar