Translate

Senin, 10 April 2017

Muhammad SAW dalam Dimensi Manusia dan kerasulan

TEOLOGI. Keimanan terhadap kenabian Muhammad SAW bagi orang islam sudah final. Artinya, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa sosoknya adalah utusan Allah SWT bagi umat akhir zaman. Terkecuali daripada itu, pemaknaan gelar “nabi” dan “rasul” tidak semata-mata sebagai perantara antara Allah SWT dengan umat manusia, dimana diantara fungsinya adalah menafsirkan wahyuNya, menjelaskan, menerangkan dan seterusnya. Tetapi terutusnya seseorang menjadi Nabi bisa dimaknai bahwa itu merupakan pengejawantahan daripada wahyu yang “menjelma”, orang Jawa mengatakan “wahyu kang toto jalmo”.

Sudah menjadi kemakluman bersama bahwa al kitab, baik Taurat, Zabur, Injil dan al Qur’an, adalah sederetan kitab-kitab suci yang harus diimani keberadaannya bagi umat islam, selain itu ada beberapa suhuf (lembaran-lembaran) yang telah diturunkan kepada Nabi-nabi sebelumnya. Kaitannya dengan persoalan ini, keberadaan kitab-kitab tersebut berfungsi sebagai wadah dimana wahyu Allah SWT yang berupa firman diturunkan kepada manusia. Namun demikian, firman bukanlah satu-satunya bentuk wahyu, karena ada wahyu jenis lain yaitu perwujudan Nabi dan Rasul itu sendiri. Hal inilah kenapa ada banyak hukum yang tidak terdapat di dalam kitab suci tetapi ada dalam sunah-sunah Nabi, baik dari aspek qauli (perkataan), fi’ly (perbuatan) maupun taqriry (penetapan).
 
Ini berarti, penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama tidaklah semata-mata diambilkan dari wahyu yang tersurat dalam kitab-kitab suci, tetapi juga wahyu yang terambil dari sunah (kehidupan) seorang Nabi dan Rasul. Muhammad SAW sebagai salah satu Nabi yang diutus dan bahkan penutup para rasul mendapat tempat yang besar bagi kaum muslimin, sehingga semua perilakunya menjadi catatan-catatan penting yang terangkum dalam kitab-kitab hadis, tafsir, sejarah dan lain sebagainya. 
 
Perhatian serius umat terhadap sosok Muhammad SAW ini bisa dilihat dari pengertian hadis dari kalang Muhaddistin (Ilmuwan Hadis) dimana mereka menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis adalah segala bentuk perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat khulqiah dan Khilqiah Muhammad SAW,. Bahkan di titik lain, ada yang menambahkan  bahwa semua tersebut di atas tidaklah dibatasi sejak diangkatnya menjadi dan Rasul, melainkan keseluruhan kehidupan yang dialami seorang Muhammad sebelum masa kenabian. 
 
Pemaknaan ini berkonsekuensi terhadap sikap seorang islam dalam menjalankan kehidupan beragamanya. Dalam artian, orang yang memaknai Muhammad sebagai sosok Nabi dan Rasul belaka, dengan tanpa penyertaan bahwa ia adalah seorang manusia juga yang memiliki dan melakukan apa-apa yang umumnya dimiliki dan dilakukan manusia lainnya, maka ia akan berusaha menghadirkan hidupnya untuk secara persis seperti apa yang dilakukan oleh Baginda Muhammad SAW.  Bentuk dan warna baju, potongan rambut dan jenggot, maupun hal-hal lainnya. Ia tidak begitu penting untuk membedakan apakah yang dilakukan Nabi sebagai wahyu petunjuk manusia, ataukah sekedar perbuatan manusia yang tidak ada akibat hukumnya secara khusus dalam agama.
 
Pertanyaannya adalah apakah tindakan tersebut salah? Tentu saja tidak, karena memang Muhammad adalah Nabi dan Rasul, sehingga sosoknya adalah suri tauladan yang perlu diikuti, apalagi jika motivasinya adalah sebagai ittiba’ kepada seorang utusan, maka perbuatan tersebut menjadi bentuk-bentuk ibadah. Hanya saja terkadang, jika tidak arif dan bijaksana, maka pemaknaan dan sikap tersebut terkadang akan membuat seorang muslim menjadi asing di wilayah yang peradabannya berbeda sama sekali dengan daerah Rasulullah SAW. Semisal berpakaian jubah, menggunakan siwak, memakai celana cingkrang dan lain lain.
 
Kalangan ilmuwan hukum islam yang tergolong dalam kajian ushul fiqh (para ushuly) membedakan bentuk-bentuk sikap dan perilaku Muhammad SAW tentang hal-hal yang memang dimaksudkan untuk persoalan agama dengan persoalan yang tidak ada kaitannya dengan agama sama sekali. Mereka membedakan mana yang perilaku Muhammad sebagai wahyu dan petunjuk bagi umatnya dan mana perilaku yang sekedar muncul karena beliau adalah sosok manusia. Sehingga wajar jika cara pandang ini membawa konsekuensi logis bahwa seorang muslim tidak harus memakai jubah dan jenggot untuk menunjukkan keislamannya, karena jenggot dan jubah adalah sebuah hal yang tumbuh dan berlaku bukan sebagai penysariatan, melainkan lebih identik dengan budaya dimana Nabi Muhammad SAW tumbuh dan berkembang.
 
Apakah pemaknaan ini salah? Tentu saja tidak, karena memang Muhammad SAW selain sebagai seorang Rasul yang menjadi qudwah, ia juga sebagai manusia biasa, sehingga membedakan perilaku beliau dan kedudukannya secara proposional juga sebuah hal yang sangat niscaya. Hanya saja yang perlu diingat adalah, tidak boleh menyelisihi sunnah atau kebiasaan Sang Muhammad dengan dasar kebencian, meskipun jika hal-hal yang diselisihi tersebut dalam kaitannya beliau sebagai manusia. Orang yang tidak memanjangkan jenggot tidaklah berdosa, selama ia tidak membenci sunnah Nabi dalam memanjangkannnya, sebab tidak melakukan karena tidak mampu/ tidak ingin belaka berbeda dengan tidak melakukan karena diiringi dengan kebencian.
 
Allah A’lam.

0 komentar:

Posting Komentar