TEOLOGI. Kebenaran islam tidaklah berarti bagi manusia manakala tidak ditangkap oleh hatinya dan kemudian dipercayai. Namun kepercayaan semata-mata belum cukup manakala tidak dibarengi dengan amal sebagai konsekuensi adanya iman. Hal ini selaras dengan pengertian iman itu sendiri yang secara bahasa adalah tasdiq (pembenaran dalam hati), dan secara istilah bahwa iman adalah kumpulan dari 3 (tiga) komponen sekaligus, yaitu tasdiq dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Sehingga antara iman dan perbuatan manusia terdapat keterkaitan karena keimanan seseorang ditentukan oleh amal perbuatannya.
Amal dan tasdiq (kepercayaan) merupakan satu paket yang tidak bisa ditinggalkan setelah lisan meng iqrar kannya. Keyakinan butuh pengucapan, dan apa yang diucapkan kemudian terejawantahkan dalam realisasi amal. Pada dasarnya, beriman dan tidak beriman adalah urusan antara seorang manusia dengan Tuhannya, dalam artian. Keyakinan tersebut jika sudah tertanam maka tanpa pengucapanpun IA sudah mengetahuinya, namun karena persoalan beragama dan tidak beragama bukan hanya permasalahan antara seorang hamba dan Tuhannya secara khusus, melainkan berhubungan juga dengan manusia lain secara umum sebagai konsekuensi bermasyarakat, maka pelafalan/ pengucapan dari tasdiq menjadi sebuah kelaziman.
Terkecuali daripada itu, jika keimanan hanya terbatas pada keyakinan tanpa perwujudan amal dan iqrar, maka Iblis adalah mahluk yang bukan hanya yakin dan percaya akan perwujudan Tuhan (Allah), melainkan juga telah berinteraksi (menyembahNYA) selama bertahun-tahun jauh sebelum Adam AS tercipta. Hal ini berlaku juga sebaliknya, amal dan lafal tidak serta merta seseorang layak disebut sebagai orang yang beriman manakala tidak diawali dengan kepercayaan/ tasdiq. Orang yang beramal tanpa berkeyakinan dinamakan sebagai munafik, adapun mereka yang berkeyakinan tanpa dibuktikan dengan amal maka keyakinannya adalah seperti omong kosong.
Pertanyaan penutup terkait hal ini adalah berangkat dari mana keimanan seseorang, apakah sebuah doktrin atau persoalan lain? Pada dasarnya pencapaian iman banyak melibatkan semua fungsi-fungsi kejiwaan dan bermanifestasi ke dalam setiap saluran isi jiwa, sikap perbuatan, pembicaraan, tingkah laku dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk manifestasi iman inilah yang dimaksudkan dalam sebuah hadis bahwa iman itu mempunyai 60 (enam puluh) cabang, dan malu adalah salah satu cabang iman. Dengan demikian, keimanan yang kuat perlu ditopang dengan amal yang baik, baik secara kuantitas maupun kualitas, meskipun keberadaan amal tergantung pada wujudnya iman.
Allah A’lam






0 komentar:
Posting Komentar