Translate

Jumat, 05 Mei 2017

MEMAKNAI PERBEDAAN

Demokrasi identik dengan kebebasan, hanya saja terlingkup dalam kerangka kebersamaan, ia merupakan diantara “mahluk” yang lahir dari puing-puing kehancuran sistem bangsa-bangsa otoriter, dimana manusia telah menganggapnya sebagai kekelaman masa lalu. Sehingga, ketika kuasa negara begitu kuat mencengkeram kehidupan manusia, maka kebebasan adalah “nikmat” yang begitu mereka impikan.

Berangkat dari kebebasan inilah maka efeknya adalah memungkinkan tumbuh suburnya berbagai faham, baik yang menyokong keberlanjutan demokrasi itu sendiri maupun para penentangnya, dan ini adalah sebuah sebab akibat. Maka menjadi aneh, jika sebuah negara yang berfaham demokrasi kemudian mencoba membunuh “ruh kebebasan” masyarakatnya, baik terkait politik, budaya maupun agama. Karena selama itu semua masih dalam kerangka kebersamaan, maka selayaknya para pemegang kuasa berlaku “asah, asih dan asuh”, bukan menghabisi.
Kaitannya dengan hal ini, pembubaran pengajian Salafi maupun HTI oleh sekelompok orang baru-baru ini sebenarnya telah mencederai demokrasi itu sendiri. Bagaimana tidak, perbedaan yang seharusnya bisa didialogkan justru ditutup dengan kekuatan otot, ini sungguh pembelajaran yang tidak baik. Pasalnya, konflik-konflik yang terjadi dimanapun mayoritas dimulai dari misunderstanding antar kelompok. Jika ruang dialog telah diganti dengan kekuatan fisik, maka yang muncul bukanlah saling memahami dan ilmu pengetahuan, melainkan arogansi kelompok penguasa, dan dari sinilah bibit intoleran dan kekacauan dimulai.
Jika sekelompok orang menginginkan demokrasi, maka masuklah ke dalamnya secara kaffah, sehingga ruang “berlomba-lomba” menawarkan ide dan gagasan untuk Indonesia yang lebih baik menjadi lebih fair. Tidak elok jika gagasan dilawan dengan pedang, dan tidak patut pula pemikiran dilawan dengan dengkul. Para pengagum demokrasi yang melihat HTI tidak benar, hendaknya dibina, bukan dibinasakan, sebab adanya mereka demokrasi ini menjadi lebih sempurna.
Di sisi lain, HTI maupun salafi harus menginsyafi penolakan halus maupun kasar  sebagian masyarakat terhadap keberadaan mereka. Menawarkan ide dan gagasan boleh dan sah-sah saja, tetapi harus tetap mempertimbangkan kemaslahatan maupun anggah-ungguh dengan situasi dan kondisi dimana kaki mereka berpijak. Tidaklah lucu misalnya, para kader HTI tanpa malu-malu melaknat sistem demokrasi, padahal di sanalah justru mereka bisa tumbuh,  diasuh dan dibesarkan para pemeluknya, sebab bisa jadi mereka diusir ke planet lain. Adapun penolakan terhadap salafi, saya fikir beda segmen, namun demikian masih mempunyai satu persamaan, yaitu sama-sama ditolak oleh sebagaian orang.

Akhirnya, tulisan ini bukan ingin menghakimi masing-masing kelompok yang terlibat konflik, melainkan mengajak semuanya untuk bersifat lebih bijak dan arif, baik dalam menghadapi perbedaan, ataupun menawarkan ide dan gagasan. Allah ‘Alam.

0 komentar:

Posting Komentar