Translate

Kamis, 11 Mei 2017

Gugatan atas “Islam Tuhan Islam Manusia”*


Haidar Bagir adalah salah satu dari deretan nama yang perlu diingat terkait pendapat kontroversialnya tentang islam. Bukunya yang baru-baru ini, “Islam Tuhan Islam Manusia” dibedah di berbagai tempat, dimana IAIN Ponorogo merupakan salah satunya.Meski penulisnya menyatakan bahwa judul di atas tidaklah istimewa dan paling masuk akal diantara judul-judul lain yang mungkin ia gunakan, tetapi kontroversi bukanlah semata terkait keistimewaan atau tidaknya sebuah judul, melainkan content yang terdapat di dalamnya.

Tulisan ini hanya ingin mengambil beberapa contoh saja dari banyak persoalan dalam bukunya, sebagai bukti bahwa buah fikirannya Bung Haidar layak untuk dikritisi.

Pertama adalah dikotomi pengertian Islam sebagai judul besar bukunya. Haidar mengasumsikan bahwa Islam sebenarnya ada 2 (dua) versi, Tuhan dan Manusia. Menurutnya, Islam Tuhan adalah islam yang sesuai dengan kehendak Tuhan itu sendiri, sedangkan Islam Manusia adalah pemahaman manusia terhadap Islam Tuhan itu sendiri, nah karena manusia hanya mempunyai akal yang terbatas, maka tidak mungkin seseorang itu mampu menemukan Islam “yang sesuai dengan” Kehendak Tuhan. Ini pada akhirnya akan mengantarkan seseorang pada pada pemahamanan relativitasisme terkait agama. Akhirnya, tidak ada tafsir agama yang absolut, semua serba relative, bahkan lebih jauh, baginya non muslim pun tidak boleh disebut kafir, hal ini karena masing-masing agama mempunyai kemungkinan benar dan salah.

Bung Haidar di posisi ini sebenarnya memasuki “kecerobohan yang serius”, sebab mendikotomi pengertian agama tanpa menggunakan sandaran naqli yang sharih maupun aqly yang sahih. Pasalnya, tidak ada satupun wahyu Tuhan yang tertulis (al Qur’an & al Hadis) baik secara tersurat maupun tersirat menyinggung adanya dikotomi antara Islam Tuhan dan Manusia. Di titik lain, klaim atas adanya pembedaan agama melalui 2 (dua) versi adalah kecacatan logika, sebab seolah-olah dia sudah mengetahui bahwa ada Islam versi Tuhan itu dan versi manusia, lalu keduanya menjadi berbeda sebab tidak ada manusia yang mampu mengerti kehendak Tuhan kecuali Tuhan sendiri. Persoalannya adalah ketika Bung Haidar menghakimi segenap manusia sebagai mahluk yang tidak tahu akan kehendak Tuhan, lalu darimana dirinya tahu bahwa Tuhan berkehendak A tetapi manusia berkehendak B. Bukankah itu blunder bagi dirinya, sebab menghukumi semua manusia tidak tahu menahu tentang kehendak Tuhan, tetapi justru memposisikan dirinya mengetahui kehendak Tuhan, padahal bukankah Haidar juga manusia dan bukan Tuhan?

Adalah lebih fair manakala Haidar sekedar memunculkan wacana "Islamku, Islammu dan Islam Kita", dengan dasar bahwa masing-masing merasa tidak ada yang mengetahui kehendak Tuhan, atau sebaliknya bahwa masing-masing merasa paling mengetahui kehendak Tuhan, baik bung Haidar maupun manusia lainnya.

Apa yang saya sampaikan ini dibuktikan dengan gagasan-gagasan Haidar sendiri terkait “Islam Cinta” yang diusungnya. Dimana “islam cinta” menurutnya adalah merupakan pengejawantahan dari Islam versi Tuhan dan Islam versi Manusia. Pengagum relativisme ini dengan piawainya menyalahkan pemahaman agama para manusia selain dirinya sebagai pemahaman yang salah, sebab bagi Haidar mereka masih ber-Islam Manusia, bukan Islamnya Tuhan. Maka tidak heran dalam bukunya tersebut ia tanpa malu-malu menyematkan gelar-gelar yang bernuansa negatif pada sebagian umat islam, seperti kaum takfir, radikal, maupun sejenisnya. Hal ini tentu saja mengherankan, sebab kontra diksi dengan pernyataannya sendiri yang melarang untuk merasa paling benar. Bukankah ini merupakan bentuk kesombongan yang sempurna, dimana menyalahkan pemahaman orang lain terkait islam hanya karena mereka tidak sesuai dengan Islam versi dirinya. Kesombongan yang dibalut dengan kata-kata ilmiah dan dalil dalil yang tidak sesuai dengan tempatnya.

Terkecuali daripada itu, jika Bung Haidar konsisten dengan manifesto pemikirannya yang menyatakan betapapun akal mempunyai posisi penting bagi manusia, tetapi ia mempunyai kelemahan, diantara contohnya adalah tidak mampu mengetahui Islam yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Maka seharusnya tokoh yang juga pengagum aliran humanisme ini tunduk pada wahyu atau manusia yang dipilih Tuhan untuk menjelaskan kehendakNya kepada manusia, dan mereka adalah para Nabi/ rasul. Mengikuti mereka, menaati ajaran-ajaran mereka adalah bentuk dari menjalankan kehendak Tuhan itu sendiri, dan ini adalah kesimpulan yang sangat logis.

Tetapi sayangnya Haidar melupakan peran para utusan dan menggunakan akalnya (yang ia yakini mempunyai kelemahan) untuk menerka-nerka kehendak Tuhan terkait islam, sehingga munculah gagasannya dengan ISLAM CINTA, sebuah istilah yang bukan hanya aneh, seperti halnya istilah ISLAM HUMANISTIK, tetapi sekaligus bisa menjadi alasan untuk bersedih, meratapi adanya seorang manusia yang begitu anehnya berpendapat tentang agama lalu dikampanyekan kepada khalayak ramai. Namun demikian, terlepas daripada itu semua, niatnya untuk mendamaikan antar pemeluk agama patut diapresiasi meskipun metode yang ia gunakan dengan "menghajar" pemahaman agama orang lain tidak bisa ditolelir. Allah A'lam

Bersambung...
*Koreksi pemahaman “Bung Haidar” terkait persoalan agama.

0 komentar:

Posting Komentar