INTOLERAN berkedok TOLERAN
Gajah dipelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak, agaknya peribahasa inilah yang cocok untuk disematkan kepada sebagian besar penyeru toleransi di dunia ini pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya. Diantaranya adalah seorang kolega saya, dosen di salah satu IAIN (Institut Agama Islam Negeri) di Jawa Timur, sebut saja namanya Mr.John.
John adalah salah satu orang yang ingin menyuarakan toleransi, terutama terkait tentang agama, hanya saja disaat yang sama ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan apa yang ia perjuangkan. Tepat, ia sedang melakukan aktifitas yang justru “intoleran”, pasalnya Jhon mereduksi makna toleransi sesuai dengan kehendak udhel e dewe (keinginan sendiri). Baginya, toleransi itu adalah semisal kalau orang islam merayakan agamanya, maka non muslimpun harus ikut merayakan juga, dan begitu pula ketika non muslim merayakan keagamaannya, maka umat islam pun harus ikut merayakan juga.
Ah.. memang Jhon wa ahwatuhu (dan orang-orang se pemikiran) lupa bahwa kata “toleransi” dan “harus” adalah dua kutub yang saling berlawanan, ia ibarat langit dan bumi, siang dan malam, gelap dan terang, tidak bisa disatukan, bilamana satunya datang, maka yang lainnya pergi dan begitu juga sebaliknya. Kata yang tepat sebagai sandingan “toleran” adalah “jangan” dan “biarkan”. Artinya, jangan ganggu keyakinannya, jangan ganggu aktifitasnya, jangan usik keberadaannya, selama mereka tidak mengganggu dan mengusik keyakinan dan aktifitasmu, maka biarkanlah…sing penting seger waras.
Pemaknaan “toleransi” yang masih ada embel-embel kata “harus” sangat tidak benar, sebab bagaimana mungkin anda sudi menyebut sahabat anda sebagai sahabat toleran kalau anda dipaksa harus mengikuti pemikirannya dan begitu juga sebaliknya. Anda juga tidak bisa memaksa orang satu kampung atas dasar toleransi untuk meyakini dan mengimani serta meng ikrar kan bahwa istri andalah orang yang sangat cantik di wilayah itu, sebab itu adalah kebodohan yang sempurna. Kemungkinan yang bisa anda yakinkan adalah bahwa mereka tidak mengatakan atau memaksa anda untuk yakin bahwa istri anda jelek, itu saja, sebab menjelekkan orang lain itu sudah mengganggu, dan mengganggu adalah tindakan intoleran sebagaimana anda mengganggu keyakinan laki-laki lain bahwa istrinya mereka lah yang sangat cantik di tempat itu. Ya benar, anda mengganggu keyakinan mereka dengan memaksanya untuk meyakini bahwa istri anda adalah yang sangat cantik.
Well, di penutup catatan sederhana ini, atas dasar toleransi, saya juga tidak akan memaksa para pembaca untuk membenarkan/ bahkan menyalahkan tulisan ini semata-mata karena berasal dari saya pribadi, namun saya mengajak para pembaca yang budiman untuk merenung dan berfikir secara objektif sehingga penghakiman “benar/salah” anda terhadap saya benar-benar berasal dari analisa yang tepat. Selamat bertoleransi!!!..