Hari
ini saya merenung… saat kelelahan bekerja
mulai mendera dan membosankan, adakah kebahagiaan di balik rutinitas yang
melelahkan ini?
Kemarin-kemarin,
saat rindu memuncak dan cinta menyandera dalam kesendirian, kesepian atau bahkan
keramaian, saya bertanya adakah kebahagiaan yang bisa saya ambil dari cinta dan
rindu dengan segala kegilaannnya yang tercipta itu?
Esok-esok,
orang yang sudah mulai atheis akan bertanya penuh heran, adakah kebahagiaan di
balik penghambaan terhadap Tuhan?
Bukankah
ada keindahan mawar di balik duri-durinya yang tajam, ada kelezatan di balik
asamnya garam, dan ada kesehatan di balik baunya bau ketek?
Ah..ia
benar, pasti ada kebahagiaan dan ada kenikmatan di sana. Kelelahan menyimpan kebahagiaan
yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu menangkapnya, lihatlah senyum seorang
ibu yang mengusap kandungannya. Ia menikmati nikmat lelah yang tidak bisa
dinikmati kecuali oleh mereka yang berharap untuk bisa mengandung.
Ada
kebahagiaan dan kenikmatan di balik rindu dan cinta. Lihatlah, betapa rindu dan
cinta menjadi bagian dari alasan untuk tabah menunggu, tabah untuk berharap,
dan tak lelah untuk bermimpi, meski secara logika penungguan, pengharapan, dan
impian itu mustahil, tetapi toh, orang yang merindu dan mencinta tidak pernah
untuk berhenti.
Ada
kebahagiaan dan ada kenikmatan di balik penghambaan, meski naluri manusia
menolak menjadi hamba, karena penghambaan adalah bentuk ketertundukan,
keterkungkungan dan kepatuhan. Tidak ada kebahagiaan dan kenikmatan yang
diharapkan dari kehidupan seorang hamba. Tetapi lihatlah Para sufi saleh yang
ter-jazdab oleh nikmatnya menghamba kepada Tuhan (Allah). Mereka menolak
kenikmatan di balik kebebasan menjadi manusia merdeka, dan justeru mendapatkannya
di balik penghambaan.
Allah
A’lam.
*Renungan