Jika kehidupan ini dipenuhi dengan persaingan, kompetisi atau bahkan pertikaian, maka salah satu ajaran Jawa “nguluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake” relevan untuk direnungkan. Terjemahan bebas dari pernyataan di atas adalah “mendatangi musuh tanpa membawa gerombolan massa, dan mengalahkan tanpa menghinakannya". Ajaran ini begitu mengesankan, karena menunjukkan keluhuran sifat seorang kesatria, dimana salah satu sifatnya adalah keberanian meskipun dalam kesendirian. Hal ini berbeda sama sekali dengan seorang pecundang yang keberaniannya adalah kumpulan keberanian-keberanian kecil dari orang-orang yang menyertainya. Pecundang manakala bersama golongannya menjadi singa, selalu berani, buas dan garang, tetapi saat berjalan sendirian, terlihatlah sifat aslinya sebagai seekor kambing pengecut.
Sifat ksatria lainnya adalah memenangkan pertikaian tanpa menghinakan lawan, sebab baginya berperang tidak sekedar menang, melainkan tetap menjaga harga diri musuh sehingga keluhuran budinya tetap terjaga.
Betapapun demikian, apakah kompetisi dan persiangan harus berakhir dengan konflik dan peperangan? Padahal perang adalah negoisasi antar kepentingan dan ambisi yang gagal. Apakah menjadi seorang ksatria harus identik dengan peperangan? Tidakkah ajaran Jawa tersebut di atas dimaknai dengan yang lain?
Jika direnungi secara mendalam, sejatinya ajaran tersebut mempunyai makna yang dalam, bahwa menjadi kesatria untuk memenangkan pertikaian tanpa gerombolannya, memenangkan tanpa menghinakannya adalah bukan dengan peperangan melainkan seni mengalah dalam bingkai musyawarah. Ia benar, musyawarah sejatinya adalah peperangan, peperangan ide, gagasan, ambisi dan bahkan kepentingan sekalipun. Hasil musyawarah adalah kemenangan sekaligus mungkin kekalahan tanpa menghinakan siapapun.
Rasulullah pernah melakukannya saat bernegosiasi dengan para pembesar perang kafir Qurays dalam perjanjian Hudaibiah. Umar dengan segera marah melihat Nabi terkesan mengalah pada kemauan lawan, padahal seni mengalah Rasul saat itu tercatat dalam sejarah sebagai bagian dari sebab kemenangan dakwah islam.
Terkecuali daripada itu, seni mengalah tetap relevan dengan kehidupan sehari-hari, mengalah terhadap sahabat, teman kerja, maupun keluarga, karena sejatinya mengalah adalah penyerangan yang sangat telat terhadap perasaan musuh, kecuali musuhmu tidak mempunyai perasaan.
Allah A’lam.