(Lanjutan)*
Kedua, Pernyataan Bung Haidar terkait cinta sebagai basis agama. Bahkan lebih jauh, agama tanpa basis cinta akan menghasilkan sikap yang justru negative atau bertentangan dengan maslahat manusia. Hal ini sejalan dengan apa yang ia sampaikan dalam bedah bukunya di IAIN Ponorogo, bahwa sikap beragama yang baik adalah manakala seorang manusia memanusiakan manusia, atau kalau perlu membuat orang lain bahagia sebagai puncak kebaikan beragama itu sendiri, sehingga aneh jika ada orang yang beragama justru menyusahkan orang lain.
Kedua, Pernyataan Bung Haidar terkait cinta sebagai basis agama. Bahkan lebih jauh, agama tanpa basis cinta akan menghasilkan sikap yang justru negative atau bertentangan dengan maslahat manusia. Hal ini sejalan dengan apa yang ia sampaikan dalam bedah bukunya di IAIN Ponorogo, bahwa sikap beragama yang baik adalah manakala seorang manusia memanusiakan manusia, atau kalau perlu membuat orang lain bahagia sebagai puncak kebaikan beragama itu sendiri, sehingga aneh jika ada orang yang beragama justru menyusahkan orang lain.
Bahwa muslim yang baik adalah mereka yang memanusiakan manusia lainnya kita sepakat. Tetapi menjadikan kebahagiaan manusia sebagai semata-mata tolok ukur kebaikan beragama adalah sesuatu yang tidak bisa disepakati. Ini karena menjadikan manusia sebagai “sumber/pokok kebaikan” akan menjerumuskan pada penghambaan manusia kepada manusia lainnya, padahal agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhan, bukan manusia kepada manusia, ini jelas. Terkecuali daripada itu, memposisikan cinta sebagai asas agama agar manusia terhindar dari sikap beragama yang negatif adalah gegabah, sebab justru cinta-lah yang harus dibangun dengan asas agama. Betapa banyak kehancuran manusia yang disebabkan cinta tanpa kontrol agama. Orang akan sah-sah saja dikemudian hari berselingkuh atas dasar cinta, ber-zina atas dasar cinta, homo dan lesbi atas dasar cinta.
Ketiga, Bung Haidar memalingkan makna ihsan (dalam hadis yang menceritakan dialog antara Jibril dan Muhammad SAW ) menjadi “cinta”, sehingga cinta adalah ihsan dan ihsan adalah cinta, maka tingkatan tertinggi seseorang yang telah berislam dan beriman adalah cinta. Ini tentu saja tidak fair, sebab ta’rif dari lafadz ihsan sudah dijelaskan dalam hadis itu sendiri, yaitu “Penyembahan hamba kepada Allah seolah-olah ia melihatNya, atau jika tidak mampu, maka sesungguhnya Ia selalu melihatnya”, jadi ihsan adalah sampainya posisi seorang manusia dalam penghambaannya kepada Allah sudah sampai ke level muraqabah.
Di sisi lain, Bung Haidar juga tidak konsisten dengan pernyatannya bahwa ihsan adalah cinta, sebab ternyata di lembar yang lain beliau menegaskan bahwa ihsan harus berdasarkan cinta. Ini tentu saja kebingungan berfikir, sebab bagaimana mungkin di satu tempat keduanya adalah satu dan kemudian ia ceraikan di tempat yang lain. Maka tidak heran jika beliau menggagas bahwa cinta adalah tingkatan tertinggi dalam beragama. Allah A’lam.
* Tulisan ini sebagai pelanjut koreksi atas “Buku Islam Tuhan Islam Manusia” namun demikian, perlu difahami bahwa ini adalah semata-mata untuk kebenaran, dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan unsur-unsur kebencian ataupun permusuhan. Terkecuali daripada itu, meski banyak hal yang menjadi persoalan, tapi saya fikir 2 (dua) hal terakhir yang akan terbahas di bawah ini saya kira cukup, tidak elok memperpanjang kata, biarkan para pembaca yang arif dan bijaksana untuk merenungi gagasan-gagasan Bung Haidar.