Kebahagiaan adalah salah satu tujuan dari kehidupan manusia pada umumnya. Apakah ia beriman maupun tidak dan bahkan terlepas dari pandangannya terhadap kehidupan itu sendiri. Namun demikian, ada diantara manusia yang lupa tentang apa itu makna kebahagiaan dan bagaimana cara memperolehnya. Sebagian terjebak dalam pemahaman bahwa kebahagiaan adalah kepuasan, sehingga kemudian mengerahkan kemampuannya baik waktu, tenaga maupun harta untuk mendapatkannya, karena baginya puas adalah bahagia. Sementara kita sepakat bahwa umumnya kepuasan manusia tidak terbatas. Ia akan mencari dan mencari serta mencari apa yang menjadi keinginannya, manakala tergapai barulah ia puas dan manakala tidak, ia pun kecewa.
Berangkat dari inilah manusia tidak akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki manakala memaknainya dengan kepuasan. Ia akan selalu diiringi dengan keluh kesah terhadap banyak hal. Tentang pekerjaan, tentang keluarga, tentang ini dan itu, sebagaimana Allah berfirman “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah dan apabila mendapat kebaikan dia menjadi kikir.” (QS.Al-ma’arij:19-21).
Orang-orang yang berkeluh kesah bukan golongan hamba yang bersyukur kepada karunia Allah yang begitu luas. Padahal jika direnungkan dengan mendalam, betapa banyak nikmat tercurah. Ada orang bijak berkata, kenapa kita menangis karena tidak memakai kaos kaki, padahal ada orang yang tertawa bahagia bahkan tanpa memiliki kaki. Kita memikirkan kaos kakinya, tanpa melihat nikmat kaki yang kita punya, sedangkan orang lain sudah tidak memikirkan kaki, apalagi kaos kakinya.
Bahagia adalah manakala sudah ridho tentang ketetapan Allah atas dirinya. Apakah ketetapan itu sesuai dengan keinginannya maupun tidak. Mereka yang bisa melakukannya akan mampu menjadi hamba-hamba yang bersyukur manakala keinginannya dikabulkan dengan kehendak Allah lalu menjadi kenyataan. Adapun sebaliknya, manakala tidak menjadi kenyataan, maka ia akan menjadi sosok yang sabar atas ketetapan tersebut, dan pada akhirnya syukur dan sabar adalah kunci dari kebahagiaan. Lihatlah betapa bahagiannya orang yang diuji untuk berkorban oleh orang yang dicintainya, ia menerima ujian itu dengan sabar dan penuh rasa nikmat.
Teringat nasehat yang saat indah, bahwa saat pagi menyapa bersama hangatnya cahaya matahari yang jernih, cuaca yang sejuk dan udara yang bersih, sesekali pandangilah segelas kopi atau teh yang terhidang untuk kita, jangan lekas-lekas kita minum. Pandangi dulu betapa di sana ada nikmat Allah yang luar biasa, warna kopi yang menghitam, atau teh yang menguning, lalu hirup kepulan asap tipis yang terbang dari gelasnya dengan perlahan, pejamkan mata dan berfikirlah, sadarlah betapa banyak orang yang tidak bisa melakukannya. Lalu teguklah sedikit demi sedikit, rasakan kenikmatannya dalam setiap tetes. Jangan terburu-terburu, karena tidak ada kenikmatan dalam terburu-buru.
Kopi ini adalah kopi yang sama dengan yang kemarin, teh ini adalah teh yang sama dengan teh yang kemarin, tetapi sensasi kenikmatannya berbeda manakala kita bisa melakukan caranya. Kehidupanpun demikian kurang lebihnya tentang aktifitas di rumah, di jalan dan di tempat kerja sekalipun. Rumah yang kita tempati masih sama dengan yang kemarin, kendaraan yang kita pakai masih sama dengan yang kemarin, keluarga yang kita miliki adalah keluarga yang sama dengan kemarin. Manakala kita bisa menikmatinya dengan kesyukuran dan kesabaran, maka insya Allah disitulah muara kebahagiaan yang hakiki.
Allah A’lam.