Petruk tertatih tatih menyusuri jalanan Karang Kadempel via Amarta, di bawah terik matahari yang menyengat bercampur peluh keringat meluluh di pipi, leher dan punggungnya. Kepanasan, kehausan dan kelelahannya sebenarnya bukan persoalan utama kegeramannya, melainkan tentang betapa "ruwet"nya urusan di negerinya tersebut.
Ia heran, kenapa sudah sekitar 72 Tahun kemerdekaan negerinya, masih saja banyak pegawai yang bermental "londho", yang berprinsip "kalau bisa dibikin susah kenapa harus dibikin mudah". Edan!!!... benar benar edan, katanya dalam hati. Kegeramannya bermula saat ia mengurus administrasi keluarganya, Anjasmoro yang hendak menikah. Pasalnya, Panatagama yang membidangi hal ehwal pernikahan kurang "meridhai" proses nikah yang hendak dilakukan di balairung negara, justru menekankan untuk dilakukan dirumah mempelai.
Petruk berfikir, jika paduka raja sudah memberikan pilihan kepada segenap rakyat untuk menikah di Balairung maupun di rumah, maka dimanapun tempat yang dipilih seharusnya sang panatagama bertindak arif, karena itu titah negara. Usut punya usut ternyata Petruk tahu, kalau proses di Balairung, maka rakyat tidak boleh dipungut tarif, berbeda dengan jika di rumah yang harus ada upetinya. Duh Gusti Ingkang 'Akaryo Jagad, apakah gara-gara "buntelan amplop" itu yang menjadikan perlakuan Panatagama berbeda kepada rakyatnya yang mau menikah.
Akhirnya, tidak adanya kesamaan penulisan antar dokumen yang dimiliki Anjasmoro menjadi "dosa" yang harus dihisab dengan begitu teliti oleh Abdi Negara tersebut. Padahal, hal itu tidak menjadi persoalan besar kecuali memang ingin dipersoalkan. Dus Petruk pun kesana kemari untuk memenuhi syarat-syarat dengan datang ke instansi lainnya yang "diduga" memiliki hubungan terkait. Ia datang ke tempat yang dituju, dan bla-bla-bla, ternyata Juru Tugas yang dia datangi tidak berbeda jauh dengan tempat yang pertama. Malah bersabda ba-bi-bu tanpa dasar hukum negara untuk menyelesaikan hal yang di"masalahkan" oleh sang panatagama.
Para Jama'ah bisa menebak, masalah tidak terurai, melainkan justru bertambah, dari A, ke B, dan ke C, dari tempat satu ke tempat dua, ke tempat satu lagi, ke dua lagi, terus ke tempat tiga, dan...belum terselesaikan. "Edan..Edan!!", Guman Petruk. Kenapa para Abdi negara tidak belajar hukum, padahal persoalan-persoalan bisa merujuk ke sana agar rakyat tidak pontang panting tanpa kejelasan akibat para abdi yang berfatwa tanpa dasar hukum.
Tiba di rumah, Gareng, saudara Petruk pun ikut urun rembug, katanya "Kenapa kamu tidak berdebat dan begini begitu Truk, kamu kan pernah belajar tentang itu di Padepokan Alang-Alang Kumitir, Goblok Kamu Truk".
"Lambemu Reng, mereka itu penguasa, kalau sudah berkuasa enggak perduli fatwanya ngawur ataupun salah, maunya dituruti, Edan tenan poko'e Reng", Jawab Petruk berapi-api.
"lha terus kon arep ngopo truk sak iki?".
"Aku arep mbakar menyan, tak sedakno Reng, tak laknat Reng, tak kutuk Reng...".
"Ha..dilaknat pie Truk".
"Wong-wong sing tugase nulung wong cilik, sing tugase ngayomi kaum cilik, neng malah angel-angelne, lek ra ndang tobat bakal tak sedakno mugo-mugo matine angel, uripe soro".
"Istigfar Truk, Istigfar!!!!.. lha yo po mustajab dongamu, wong modelmu koyo ngono".
"Lamuno dongaku ra kabul, tapi sing ngamini wong jutaan kok Reng, poro kawulo alit sing koyo aku mesti akeh sing ngamini".
"Truk.. eling, eling Truk, elingo dawuhe bapak, bahwa manungso iku kudu berjiwa besar, dan kebesaran jiwa itu tumbuh dari jiwa-jiwa yang bisa memaafkan".
..bersambung.