Tae Guk Gi
(Persaudaraan Perang)
Kesulitan hidup keluarga Tae tidak mengusir kebahagiannya
melihat sang adik bisa sekolah, ibu dan calon istrinya bisa makan, mereka hidup
gembira dalam kesederhanaan sampai pecah perang saudara. Korut melakukan invansi
darat dan udara atas nama “Perang Pembebasan Tanah Air”. Sejumlah 231.000 pasukan dengan peralatan tempur yang memadai berhasil menguasai Kaesŏng,
Chuncheon, Uijeongbu, dan Ongjin.
Perang meletus, suasana mencekam, rumah dibakar, suara bom
dan mesiu menteror, penduduk mengungsi termasuk keluarga Tae. Di tengah
perjalanan, pasukan Korsel menyisir para pengungsi, semua laki-laki dewasa wajib
bela negara. Ibu Tae, Shin, dan kedua adiknya menangis, menghiba, meratap
hingga akhirnya melepas dengan pandangan kosong saat Tae dan Seok dibawa paksa
tentara.
Beban Shin bertambah, kelaparan di depan mata dan pasukan korut
benar-benar menguasai kota, mengusir tentara selatan, memaksa penduduk menjadi
agen-agen propaganda komunis dengan imbalan makan atau hukuman kematian. Pilihan
yang sulit di masa yang sulit bagi mereka, termasuk Shin, bayang-bayang
kematian kedua adiknya membuatnya bertekuk lutut pada kuasa komunis meski tidak
pada idiologinya.
Di sisi lain, usaha Tae agar adiknya dipulangkan sia-sia,
kecuali ia mampu mendapatkan medali perang. Dari sini bermula, Tae melakukan
apa saja agar Seok, adiknya tidak mati. Naluri membunuhnya tumbuh cepat melihat
kekejaman pasukan korut membantai warga sipil tak berdosa. Kebenciannya terhadap
semua bau komunis menyala-nyala. Tetangganya sendiri, mati di tangannya gegara
mau dipaksa jadi penyokong korut. Naluri perang, membunuh atau dibunuh telah bersemayam.
Seok sendiri mulai menyayangkan sikap kakaknya yang awalnya laki-laki sabar dan
sederhana berubah menjadi pembunuh berdarah dingin.
Eskalasi perang berubah saat sekutu mulai membantu korea
selatan, pasukan korut hancur, Pyongyang pun jatuh. Tae akhirnya berkesempatan
mengunjungi keluarganya, malang tak
dapat ditolak, justru saat ia menginjakkan kaki di pelataran rumah, Shin kekasihnya
digelandang kelompok pemuda anti komunis untuk dieksekusi mati bersama puluhan
warga lainnya. Tae dan Seok idak tinggal diam, mereka terlibat perselisihan
dengan kelompok tersebut, jasa mereka dalam peperangan korea tidak menghalangi kematian
Shin, dan mereka berdua ditahan militer karena dianggap pro komunis.
Tae memohon agar adiknya Seok dilepaskan, namun bukannya dilepas,
justru sipir penjara memerintahkan supaya penjara berikut tahanan dibakar
sebelum tentara Tiongkok pro korut tiba. Benih-benih kebencian Tae terhadap
Korea Selatan tumbuh di puing-puing reruntuhan penjara, diantara jasad para tawanan yang sudah menjadi abu. Kekasihnya
di bunuh, adiknya dibakar..maka tidak ada alasan cinta pada negara yang telah
merenggut semua kebahagian hidupnya, sebagai penyemir sepatu, sejatinya dia
juga tidak faham apa itu komunis dan bukan komunis, demokrasi dan bukan, yang
ia tahu bahwa hidup haruslah damai dan kekejaman siapapun tidak boleh dilakukan
oleh siapapun. Akhirnya Ia bergabung dengan pasukan korut untuk melawan
kekejaman rezim Syingman Rhe di divisi pasukan bendera. Dus..Tae didakwa
pengianat negara.
Juli, 1951 di Rumah Sakit Militer Tae Jeon Korea selatan, Seok yang selesai perawatan mendengar kabar
bahwa kakaknya dicap penghianat, rupanya ia selamat dari pembakaran karena
ditolong lolos oleh teman kakaknya ketika kobaran api melahap kamp tahanan. Ia tahu
bahwa Tae tidak faham tentang idiologi, keberpihakannya pada korut tidak ada
kaitannya dengan itu, melainkan kekecewaanya atas kekejaman tentara korsel terhadap
kekasih dan adiknya yang tidak berdosa. Atas dasar itulah Seok bersikeras masuk
area pertempuran Dumillyong, tidak lain dan tidak bukan untuk mengkabarkan
kepada Tae bahwa ia masih hidup dan
membawanya pulang kembali ke korsel.
Seok berlari menyusuri parit pertahanan musuh, menyusup diantara
baku tembak, letusan granat, desingan
peluru, muntahan mortir dan mayat-mayat yang bergelimpangan dari kedua belah pihak.
Usahanya untuk sampai di basis pasukan bendera korut tidak sia-sia. Ia amat hafal
dengan dengan gaya gerakan kakaknya meskipun dibalik baju kotor, penuh debu, darah
dan topi tentara kusamnya itu. Sebaliknya Tae tidak, ia sudah yakin adiknya
tewas terbakar, sejurus kemudian Tae menyerang pemuda yang memandanginya itu
yang tak lain adalah adiknya sendiri sampai-sampai belatinya hampir memenggal
adiknya seandainya sang adik tidak berteriak bahwa dirinya adalah adiknya.
Pergulatan penuh amarah berubah menjadi pelukan rindu, haru
dan tangisan sesenggukan kakak beradik. Tae begitu menyayangi adiknya, dan Seok
pun demikian kepada kakaknya, namun kecamuk perang tidak mungkin membiarkan 2 kubu
tentara berpelukan damai, hanya beberapa saat Tae memaksa adiknya mundur sebab pasukan
korut akan perang habis-habisan meskipun jelas-jelas kalah, ia tak ingin
adiknya mati atas kebengisan kawan-kawannya.
Akhirnya, setelah Tae berjanji untuk selamat, Seok melepas
pelukannya, dengan deraian air mata ia merayap mundur. Tae kakaknya berbalik
menembaki pasukan korea utara yang hendak mengejar adiknya, akibatnya hanya
selang beberapa menit ia menjadi sasaran tembak pasukan korut dan korsel
sekaligus. Tubuhnya yang telah rapuh oleh peperangan menjadi mortir adiknya,
gugur entah sebagai pasukan korea utara, atau korea selatan.
…
…
Berpuluh tahun kemudian, Seok pun telah tua dan menjadi
veteran perang, selama itu pula ia menunggu Tae, kakaknya yang dulu pernah
berjanji untuk hidup dan akan mengunjunginya. Penantiannya tak pernah surut,
harapannya tak pernah padam meski ada sebetik rasa bahwa sang Kakak yang begitu
menyayanginya telah gugur.
..
Semoga menjadi ibrah buat anak-anak muda yang belum
mengerti arti kedamaian dan para pemimpin yang haus kekuasaan.