Perkembangan teknologi terutama bidang media komunikasi memberikan banyak kemudahan. Joni Phon Sen misalnya, setiap hari menyambung rindu dengan Dewi Mejowati, Istri tercintanya. Jauhnya Korea dan Jawa tertembus dengan aplikasi WA dan pulsa internet 1 GB saja. Bertolak jauh dengan zaman Raden Abi Manyu, Raja Hayam Wuruk maupun Kang Paijo si pemilik ternak wedus.
Namun sebenarnya, terkadang cepatnya perputaran informasi justru berakibat buruk bagi kehidupan, atau setidaknya mengurangi kenyamanan. Manusia tersandera oleh kekuatan batery, wifi, kuota internet ataupun makhluk yang bernaman sinyal. Pesan-pesan WA keluarga, teman maupun urusan kerja yang tidak dibuka, atau dibuka tetapi tidak segera dibalas atau tidak dibalas sama sekali akan dinilai semacam tindakan kriminal, minimal kriminal etika. Dus manusia hampir seperti menjadi budak teknologi.
Berita-berita yang sebaiknya diterima saat sudah menjadi “basi”, justru menjadi momok karena terlalu cepat bisa diakses. Akhirnya muncul kesedihan yang bukan “pada waktunya”, atau justru gembira di “waktu yang salah”.
Maka tidak ada salahnya, dengan tanpa mengabaikan amanah kerja, tanggung jawab keluarga dan nilai persahabatan, kita sebagai manusia sesekali membuang itu semua. Jauhi area wifi, hentikan data atau yang ter-radikal lemparkan hape di bawah kolong meja, lalu apa?
Dekaplah anak dan pasangan kita, baca kembali kitab suci kita, nikmati keindahan alam di sekitar kita, atau sekedar berbaring sambil mengingat kebesaran Tuhan. Ada waktunya kita ber uzlah, menyepi, menyendiri dan menikmati itu semua, karena dalam kesunyian ada kesyahduan yang dapat dinikmati.
Allah A’lam.
Namun sebenarnya, terkadang cepatnya perputaran informasi justru berakibat buruk bagi kehidupan, atau setidaknya mengurangi kenyamanan. Manusia tersandera oleh kekuatan batery, wifi, kuota internet ataupun makhluk yang bernaman sinyal. Pesan-pesan WA keluarga, teman maupun urusan kerja yang tidak dibuka, atau dibuka tetapi tidak segera dibalas atau tidak dibalas sama sekali akan dinilai semacam tindakan kriminal, minimal kriminal etika. Dus manusia hampir seperti menjadi budak teknologi.
Berita-berita yang sebaiknya diterima saat sudah menjadi “basi”, justru menjadi momok karena terlalu cepat bisa diakses. Akhirnya muncul kesedihan yang bukan “pada waktunya”, atau justru gembira di “waktu yang salah”.
Maka tidak ada salahnya, dengan tanpa mengabaikan amanah kerja, tanggung jawab keluarga dan nilai persahabatan, kita sebagai manusia sesekali membuang itu semua. Jauhi area wifi, hentikan data atau yang ter-radikal lemparkan hape di bawah kolong meja, lalu apa?
Dekaplah anak dan pasangan kita, baca kembali kitab suci kita, nikmati keindahan alam di sekitar kita, atau sekedar berbaring sambil mengingat kebesaran Tuhan. Ada waktunya kita ber uzlah, menyepi, menyendiri dan menikmati itu semua, karena dalam kesunyian ada kesyahduan yang dapat dinikmati.
Allah A’lam.